Jumat, 26 Juni 2015

Dibalik Suatu Bencana Geologi

Jika kita mengamati alam dan lingkungan dengan seksama, maka akan dengan mudah kita pahami bahwa alam dilengkapi dengan seperangkat mekanisme hukum alam yang membuat alam itu sendiri dapat tetap lestari. Jika pada suatu tempat terjadi proses alamiah yang bersifat konstruktif, maka di bagian lain akan ada proses yang bersifat destruktif. Jika di suatu bagian terjadi peningkatan tekanan, maka di bagian lain akan terjadi proses pelepasan tekanan. Jika di suatu cekungan terjadi sedimentasi, maka di punggungan lain akan terjadi erosi. Begitu seterusnya hingga bumi terus mengalami proses penyeimbangan. Begitu pula dengan mekanisme bencana. Bencana alam merupakan salah satu mekanisme alamiah yang bertujuan untuk menyeimbangkan kondisi bumi, agar tetap lestari.

Sama juga dengan alam yang mencoba mempertahankan kondisi idealnya, manusia pun begitu. Manusia dilengkapi dengan naluri bertahan diri, mempertahankan eksistensi dirinya. Maka manusia merespon mekanisme alamiah ini dengan mengobservasi dan berusaha memprediksi saat terjadinya bencana alam. Sebagaimana yang dilakukan oleh Zhang Heng, ilmuwan hebat dari Dinasti Han di Cina, pada 132 M ketika merancang suatu alat yang menjadi cikal bakal seismograf, yang ia gunakan untuk mengamati pergerakan gempabumi. Hasil observasi tersebut kemudian dijadikan landasan untuk memprakirakan kemungkinan lokasi terjadinya gempabumi di masa yang akan datang. 

Berbagai macam data pengamatan bencana alam dijadikan referensi untuk memprediksi datangnya bencana alam. Mulai dengan mengamati secara subyektif dengan panca indera manusia, hingga di masa kini dengan data yang direkam oleh satelit, yang mampu mengumpulkan data kondisi atmosfer hingga pergerakan lempeng tektonik. Begitupun yang dilakukan oleh Kongres AS pada 1977 ketika mendirikan NEHRP (National Earthquake Hazards Reduction Program) yang ditujukan untuk mengurangi risiko nyawa dan harta benda akibat gempabumi yang terjadi di masa depan di Amerika Serikat melalui pembentukan dan pemeliharaan program pengurangan bahaya gempa yang efektif. Dengan adanya program ini diperoleh pemahaman yang lebih baik tentang penyebab dan lokasi gempabumi akan terjadi, namun belum dapat diandalkan mengenai tanggal dan waktu gempabumi akan terjadi. Kesimpulannya, observasi dan analisis terhadap fakta yang diperoleh selama ini belum cukup untuk melakukan suatu prakiraan bencana yang akurat.

Tidak berhenti sampai disitu, sebab memprediksi dan memprakirakan terjadinya bencana saja tidak cukup untuk mengurangi jumlah korban jiwa dan harta benda. Harus ada upaya untuk mengantisipasi dampak yang dihasilkan ketika bencana terjadi, maka dibuatlah mitigasi bencana. Dengan memahami cara kerja bencana alam dan memanfaatkan hukum-hukum alam untuk mengurangi efek negatif dari bencana tersebut. Ketika manusia telah memahami cara kerja suatu bencana alam, maka mereka akan selalu waspada dan dengan mudah mencari tempat perlindungan yang aman dari dampak negative bencana alam tersebut. Misalnya, dengan menjauh dari pusat erupsi gunungapi ketika terjadi erupsi, atau dengan berlindung di bawah meja ketika terjadi gempabumi. Begitu pula dengan desain-desain konstruksi yang dibangun dalam rangka mengurangi efek negatif bencana alam, yang tidak mungkin dilakukan jika tidak memahami mekanisme alamiah dari bencana alam tersebut. Misalnya konstruksi sabo, yang berguna untuk melokalisir aliran lahar dari suatu gunungapi, dan konstruksi bangunan tahan gempa yang membuat gedung-gedung dapat bertahan lebih lama ketika terjadi gempabumi sehingga orang di dalamnya masih sempat untuk menyelamatkan diri keluar dari gedung tersebut.

Prakiraan dan mitigasi bencana memperlihatkan pada kita bahwa mekanisme alamiah dari bencana diantisipasi oleh manusia juga dengan memahami dan memanfaatkan hukum-hukum alam. Namun, yang perlu kita pahami, suatu bencana alam tidak dapat terjadi begitu saja. Ia memiliki penyebab-penyebab yang spesifik, suatu kondisi yang menyebabkan suatu bencana geologi layak, yang dalam pengamatan manusia sesuai dengan hukum alam. Yang menjadi pertanyaan ialah mengapa ada penyebab tersebut dan mengapa penyebab itu terjadi pada waktu tertentu? Hal ini yang belum terjawab oleh manusia. Bahkan jika kita bertanya lebih jauh lagi, mengapa harus ada hukum alam? Terhadap pertanyaan ini, manusia hanya dapat menjawab sebatas mekanismenya saja. 

Dengan memahami hakikat bencana alam serta hukum alam yang bekerja pada fenomena tersebut, dapat kita sadari bahwa manusia sesungguhnya merupakan makhluk yang terbatas. Manusia bahkan hanya bagian yang sangat kecil dari komponen alam semesta. Alam semesta yang memiliki keteraturan luar biasa, hingga dapat bertahan sejak Big Bang 14 milyar tahun yang lalu merupakan bukti sahih bahwa hukum alam bukanlah suatu hasil proses acak, sebagaimana yang dijadikan dalih oleh para penganut materialisme.

Bencana dan kondisi geologi mengajari kita, bahwa segala yang ada di alam semesta ini memiliki keteraturan yang sungguh sangat rapi. Dapat kita amati bagaimana persebaran gunungapi serta zona rawan gempabumi tersebar secara rapi di batas-batas lempeng tektonik. Bagaimana pula kekuatan bencana alam yang superdahsyat dapat meluluhlantakkan peradaban manusia, yang bahkan proses yang destruktif ini terjadi dengan sangat teratur. Gempabumi diawali dengan foreshock dan diakhiri dengan aftershock. Erupsi gunungapi yang tiap gunung memiliki karakteristik erupsi yang berbeda-beda. Sehingga manusia pun dapat menemukan suatu pola keteraturan hingga dapat beradaptasi dengan bencana dan meminimalisir dampak negatifnya. Jika kita cermat memahami realitas ini, maka kita akan sampai pada suatu pertanyaan: Siapa yang membuat alam semesta ini sedemikian teraturnya? Jika kita menjawabnya, dengan hukum alam, maka pertanyaannya akan berlanjut, siapa yang memformulasikan hukum alam ini hingga semuanya menjadi sangat pas? Sampai disinilah batas manusia. Manusia tidak dapat menjelaskan jawaban dari pertanyaan itu. Pada kondisi seperti ini, manusia akan memahami bahwa sesungguhnya ada suatu subjek yang mempunyai kewenangan dalam mengatur seluruh mekanisme alamiah ini, yang kita sebut sebagai Sang Pencipta (The Creator). 

Oleh karena itu, adalah suatu kepastian bahwa dalam proses berawalnya alam semesta hingga saat ini bisa kita amati, melibatkan suatu desain yang Mahasempurna dan Mahatepat. Adanya penciptaan yang disengaja dan direncanakan oleh Sang Pencipta. Hal ini menjadi kesimpulan umum para ilmuwan, termasuk ilmuwan yang berpaham materialisme yang tidak mengakui adanya Sang Pencipta. Sebagian materialis bertindak dengan lebih menggunakan akal sehat mengenai hal ini. Materialis Inggris, H. P. Lipson menerima kebenaran penciptaan, meskipun ‘tidak dengan senang hati’, ketika dia berkata:

Jika materi hidup bukan disebabkan oleh interaksi atom-atom, kekuatan alam, dan radiasi, bagaimana dia muncul? …. Namun, saya pikir, kita harus …. Mengakui bahwa satu-satunya penjelasan yang bisa diterima adalah penciptaan. Saya tahu bahwa ini sangat dibenci para ahli fisika, demikian pula saya, namun kita tidak boleh menolak apa yang tidak kita sukai jika bukti ekspiermental mendukungnya”. 

Ini adalah kesimpulan yang seharusnya dibuat oleh manusia ketika mengamati semua fenomena alam yang dapat mereka indera di dunia ini. Ada satu hal yang kita dapat ketika kita menyingkirkan semua kemungkinan jawaban yang ada, walaupun kenyataan ini mungkin sesuatu yang tidak dapat dijelaskan sains: “Sang Pencipta mutlak adanya”. God does exist, or should I say: God must exist!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

be responsible with your comment....