Jumat, 26 Juni 2015

CERDAS MENYIKAPI TRAGEDI CHARLIE HEBDO

Belum genap sepekan umur 2015, Paris berubah menjadi mencekam setelah 2 orang tak dikenal menyerang kantor majalah satir Charlie Hebdo. Pelaku akhirnya ditembak tewas oleh polisi setempat dalam sebuah aksi pengepungan. Aksi ini sontak memicu reaksi keras dari masyarakat Paris. Hari ahad 11/1 lebih dari sejuta orang ke jalanan di kota Paris, menyuarakan solidaritas dan sekaligus menentang penyerangan terhadap kantor charlie hebdo. Mereka mengusung poster bertuliskan “Je Suis Charlie”. Tidak mau ketinggalan, tokoh dan pemimpin negara ikut ambil bagian dalam aksi solidaritas itu.

Jika kita mau mengamati secara objektif, tragedi ini tidak boleh dipandang sebagai peristiwa yang berdiri sendiri. Diduga serangan ini dilatarbelakangi aksi provokasi berupa penistaan Islam dan Nabi Muhammad oleh majalah Charlie Hebdo. Sebagaimana diketahui sejak 2007 Charlie Hebdo rutin merilis karikatur penistaan yang memojokkan nabi muhammad dan Islam.

Penolakan dan penentangan terhadap aksi penistaan Charlie Hebdo tidak sekali dua kali dilakukan. Namun aksi penolakan tersebut bukannya digubris oleh pihak majalah Charlie Hebdo, malah justru mendapatkan dukungan politis dari presiden perancis. Nicholas Sarkozy pada 2007 mengklaim tindakan charlie hebdo merilis karikatur nabi muhammad sebagai wujud kebebasan berekspresi yang harus dilindungi oleh negara. Namun anehnya di satu sisi, wujud protes kaum muslim yang merasa terhina dan terusik dengan karikatur tersebut sama sekali tidak ditanggapi secara positif dan tidak diakomodasi. Bukankah ini merupakan sikap yang berat sebelah dan menunjukkan bahwa doktrin kebebasan berekspresi hanya berlaku bagi kelompok tertentu? Fakta ini pun semakin menguatkan betapa utopisnya cita-cita dari demokrasi yang katanya dapat mengakomodir setiap kelompok, karena pada kenyataannya demokrasi hanya menjadi dalih jika kelompok tertentu teraniaya, sementara sebaliknya jika kelompok yang berseberangan teraniaya maka demokrasi pun seakan tak pernah ada di muka bumi.

Sebagian beropini, ekses dari tragedi ini bisa dibilang justru semakin menyulitkan posisi umat Islam. Serangan terhadap kantor berita Charlie Hebdo jelas tidak bisa menyelesaikan masalah. Serangan itu juga jelas berdampak negatif bagi orang-orang eropa non-muslim, bisa menjauhkan mereka dari usaha mengenal Islam. Serangan itu juga mendatangkan dampak negatif dan kesulitan tersendiri bagi generasi muslim di Eropa. Islamophobia pasca serangan itu terlihat meningkat di Eropa. Di Perancis dan beberapa negara Eropa lainnya, serangan dan pelecehan terhadap masjid dan fasilitas Islam lainnya dikabarkan meningkat. Beberapa masjid yang berada di Perancis menjadi sasaran penyerangan sejumlah kelompok. Kaum muslimah berjilbab di Belgia merasa takut keluar rumah. Mereka khawatir mendapat serangan di jalan.

Jika dikaji lebih jauh, lahirnya tragedi charlie hebdo tidak lepas dari adanya ketidakadilan terhadap kaum minoritas, dalam hal ini Islam, di Eropa. Berkali-kali umat Islam dihina, namun tidak sekalipun kebijakan politik setempat, begitu pula pemimpin negeri-negeri muslim, mendukung mereka. Sehingga muncullah ide untuk melakukan upaya pembelaan diri. Alih-alih melakukan tindakan yang solutif dan komprehensif, sekelompok orang malah menggunakan cara-cara kekerasan yang didorong oleh rasa amarah yang mendalam namun diikuti oleh dampak negatif yang tidak sepele.

Dalam sejarah perjalanan penyebaran Islam tindakan serupa pun pernah terjadi. Di antaranya kisah Sa’ad bin Abi Waqqash yang membunuh orang kafir karena mencoba mengganggunya ketika sedang menjalankan shalat, dan nabi pun mendiamkan. Begitu pula ketika munculnya gerakan nabi palsu selepas wafatnya Rasulullah SAW. Ketika itu khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq RA mengambil kebijakan untuk memerangi gerakan tersebut hingga akar-akarnya.

Dan yang paling terbaru adalah ketika kekhilafahan Utsmani masih tegak. Sekalipun kondisi internal kekhilafahan pada saat itu compang-camping, namun posisi politik khilafah masih disegani bahkan hingga eropa. Terbukti ketika di salah satu kota di inggris berencana menyelenggarakan suatu pementasan yang menistakan Islam, Khalifah Abdul Hamid II mengambil sikap dengan mengeluarkan ultimatum kepada kerajaan Inggris. Akibat ultimatum tersebut, Ratu Inggris sendiri pun ikut melarang penyelenggaraan pementasan tersebut. Dari beberapa cuplikan sejarah tersebut kita dapat melihat dengan jelas bahwa keberadaan suatu institusi dan pemimpin yang betul-betul melindungi Islam dapat menjadi perisai yang paling kuat terhadap penistaan Islam. Bahkan jika posisi politik dan harga diri Islam berada pada posisi yang kuat, tanpa perlu tindakan fisik, hal-hal yang berkaitan dengan penistaan Islam pun dapat lenyap, bahkan dengan kondisi yang compang-camping pun utsmani masih bisa. Atau bisa dibilang tidak mungkin terjadi tragedi Charlie Hebdo apabila umat Islam mau bersatu dibawah pemimpin yang nyata menjadi pelindung umat Islam. Atau bisa dibilang solusi cerdas atas banyaknya penistaan terhadap Islam (Charlie Hebdo, JIL, Ahmadiyah, dll) adalah dengan bersatu di bawah panji Islam dan mengangkat pemimpin yang bisa meninggikan martabat umat Islam di mata dunia, dan menjadi sebab turunnya keberkahan bagi seluruh umat Islam dunia dan akhirat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

be responsible with your comment....