Rabu, 24 Oktober 2012

Khilafah dan Tauhid



Ada sebagian kelompok atau jamaah dakwah yang menyatakan bahwa dakwah yang lebih utama adalah dakwah yang berorientasi pada masalah aqidah, alasannya adalah karena pertama kali Rasulullah berdakwah adalah membahas masalah akhlaq dan aqidah. Salah satu alasannya adalah dengan mengutarakan beberapa ayat al Qur’an dan hadist-hadist.

Semisal mereka berhujjah:

Tujuan utama Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul, dan Menurunkan kitab-kitabNya Allah berfirman, yang artinya: “Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu.” (QS. Adz Dzariyat: 56).

Allah berfirman yang artinya: “Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwa tidak ada sesembahan (yang hak) melainkan Aku. Maka sembahlah Aku!” (QS. Al Anbiya’: 25).
Allah juga berfirman: “Inilah satu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Agar kamu tidak menyembah selain Allah…” (QS. Hud: 1-2).

Ibadah yang dilakukan oleh manusia tidak bisa dinamakan ibadah kepada Allah kecuali dengan meninggalkan pembatal-pembatal ibadah. Diantaranya adalah kesyirikan. Artinya, ketika beribadah manusia dituntut untuk mentauhidkan Allah. Sebagaimana shalat tidak bisa disebut shalat kecuali jika bersih dari pembatal shalat.

Oleh karena itu, makna kata ibadah dalam ayat ini adalah adalah tauhid. Karena hakekat ibadah adalah mentauhidkan Allah dalam setiap menjalakan perintah dan larangan.

Khilafah adalah hadiah dari Allah bagi setiap orang yang bertauhid

Allah berfirman yang artinya: “Dan Allah telah menjanjikan orang-orang yang beriman dan beramal sholeh bahwa Allah sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di muka bumi (baca: mewujudkan khilafah) sebagaimana Allah telah memberikan kekuasaan kepada orang-orang sebelum kalian. Dan sungguh Dia akan meneguhkan bagi mereka agama yang Dia ridhoi untuk mereka (Islam), dan Dia sungguh akan mengganti keadaan mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman. Mereka beribadah kepadaKu dan tidak menyekutukanKu dengan sesuatu apappun.” (QS. An Nur: 55).

Dalam tafsir Al Jalalain dijelaskan bahwa Allah telah mewujudkan janjiNya kepada kaum muslimin (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat) dan Allah memuji mereka dengan firmanNya di akhir ayat di atas: “Mereka beribadah kepadaKu dan tidak menyekutukanKu dengan sesuatu apapun.” Maka ayat ini berstatus sebagai alasan kenapa Allah memberikan kekuasaan kepada mereka (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat).

Oleh karena itu, secara urutan manusia dituntut untuk menegakkan tauhid terlebih dahulu barulah kemudian Allah memberikan hadiah kepada kaum muslimin dengan diwujudkannya kekuasaan (khilafah) bagi mereka. Bukan sebaliknya, khilafah dulu baru semua penyimpangan diselesaikan. Karena sebagaimana yang dijelaskan dalam tafsir di atas bahwa tauhid merupakan syarat mutlak suatu kaum itu mendapatkan khilafah. Dan demikianlah realita yang terjadi pada dakwahnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, setelah belasan tahun beliau mengajak umat kepada tauhid barulah Allah memberikan kekuasaan kepada beliau dan para sahabat tepatnya setelah mereka hijrah ke madinah.

Jadi, menurut sebagian orang ini bahwa hal pertama yang wajib didahulukan adalah perkara tauhid, dan bukan khilafah. Dan mereka juga menyangka bahwa para aktivis yang mendakwahkan tegaknya khilafah membuat pernyataan bahwa dahulukan dakwah pada khilafah baru kemudian dakwah kepada tauhid. Namun sebenarnya pernyataan terakhir ini adalah tidak benar adanya.

Dari ketidaktahuan akan dakwah para aktivis yang mendakwahkan khilafah-lah yang telah membuat para tokoh kelompok itu gampang sekali membuat kesimpulan yang keliru dan seakan ingin membuat opini negatif akan perjuangan para aktivis yang mendakwahkan khilafah dan syariah, semisal kesimpulan yang dibuat oleh sebagian orang ini:

“Menganggap semua oknum yang tidak memiliki andil dalam penegakan khilafah sebagai orang sesat. Jika dia mati maka mati dalam keadaan membawa aqidah jahiliyah. Atau dengan bahasa yang lebih kasar, mati kafir. Diantara dalil yang digunakan untuk menguatkan anggapan ini adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang berpisah dari jama’ah (mereka maknai dengan khilafah) maka dia mati sebagaimana matinya orang-orang jahiliyah.” (HR. Al Bukhari). Karenanya siapa saja yang tidak mau gabung dengan khilafah, atau tidak ikut andil dalam menegakkan khilafah (karena khilafah belum berdiri) maka dia mati seperti matinya orang jahiliyah. Yang benar, hadis ini sama sekali tidak menunjukkan makna di atas. Karena yang dimaksud keluar dari jamaah adalah memberontak kepala negara kaum muslimin yang sah. Sedangkan yang dimaksud mati jahiliyah adalah mati dalam keadaan bermaksiat bukan mati kafir. (lih. Fathul Bari 20/58).”

Koreksi : Tidak pernah ditemukan dalam satu kitab resmi yang di adopsi oleh HT bahwa HT mengatakan orang-orang yang tidak memperjuangkan khilafah adalah sesat. Ini pun adalah tidak benar adanya, kalau tidak ingin disebut sebagai fitnah yang keji yang dilontarkan oleh orang-orang yang belum faham akan aktivitas dan dakwah HT itu sendiri. Jadi kesimpulan di atas adalah kesimpulan sepihak sebagian orang yang memang belum faham akan aktivitas dan dakwah HT. Karena HT sendiri menyimpulkan hadist tersebut seperti ini: “Hadist tersebut menjelaskan keharaman kaum muslimin keluar (memberontak, membangkang) dari penguasa (as sulthan). Berarti keberadaan Khilafah adalah wajib, sebab kalau tidak wajib tidak mungkin Nabi SAW sampai begitu tegas menyatakan bahawa orang yang memisahkan diri dari Khilafah akan mati jahiliyah. Jelas ini menegaskan bahawa mendirikan pemerintahan bagi kaum muslimin statusnya adalah wajib. Dan tidak benar bahwa HT menjadikan hadist ini sebagai dalil bagi penyesatan untuk orang-orang yang tidak memperjuangkan atau tidak bergabung dengan HT, na’udzubillah.

Kemudian apakah benar bahwa para sahabat mendauhulukan perkara tauhid ketimbang perkara khilafah?

Apakah para sahabat Nabi SAW mendakwahkan penegakan daulah ke berbagai negeri ataukah mendahulukan dakwah kepada tauhid?, berikut penjelasannya:

Contoh terbaik dalam dakwah adalah dakwah yang dilakukan oleh Rasul SAW, maka kita harus mengkaji apa saja yang dilakukan Rasul SAW selama dakwah yang beliau lakukan di Makkah, apakah terbatas pada dakwah tauhid atau ada aktifitas yang lainnya. DR. Abdurrahman Al-Baghdadi menjelaskan bahwa selama di Mekkah, Nabi Saw melakukan sejumlah aktifitas antara lain:

a- Pemantapan aqidah Islamiyah: Aqidah dijadikan sebagai asas perbaikan individu, asas pembentukan masyarakat, dan asas penyenggaraan negara.

b- Pergumulan pemikiran: membantah hujjah orang yang memusuhi Islam dan menyerang pemikiran aqidah mereka.

c- Perjuangan politik: menentang para pembesar dan pemimpin yang memusuhi Islam serta membongkar rencana dan konspirasi mereka; seperti yang tertera dalam surat al-Qolam ayat 10-16, surat ath-Thoriq ayat 15-17, surat al Anfal ayat 30, dll.

d- Mengkritik hubungan di antara anggota masyarakat serta adat istiadat yang mengatur mereka yang telah usang dan tidak sesuai dengan Islam. Seperti yang dijelaskan dalam surat Al-Muthafifin ayat 1- 6 yang menjelaskan tentang kecurangan dalam menakar timbangan, lalu pada surat Al-Isra’ ayat 31-34 tentang pembunuhan terhadap anak-anak.

e- Meneguhkan hati Rasul SAW dan orang yang beriman dengan kisah dan janji Allah yang sangat dirindukan berupa kemenangan dan kedudukan di muka bumi, seperti pada surat Hud ayat 120, serta Al-Qoshas ayat 5- 6 (Lihat Dakwah silam dan Masa depan Umat hal. 114 – 119 oleh DR. Abdurrahman Al-Baghdadi). Sebagai perbandingan silahkan mengkaji kitab-kitab sirah yang lain seperti sirah Ibn Hisyam, sirah Ibn Ishaq, sirah Al-Halabiyah, tarikh Ath-Thobari, Bidayah wa Al-Nihayah li Ibn Katsier, Al-Kamil fit tarikh li Ibn Atsier, dan kitab sirah lainnya tentang Bab Dakwah rasul SAW selama berada di Mekkah sebelum Hijrah ke Madinah.

Dari sini kita dapat melihat bahwa aktivitas rasul SAW di Makkah selain dakwah untuk mengajak orang musyrik Mekkah masuk Islam, terdapat aktifitas yang lain seperti pergumulan pemikiran, perjuangan politik, mengganti adat istiadat yang rusak dan bertentangan dengan Islam, dan beberapa aktifitas lainnya.

Sehingga berdasarkan kajian sirah dakwah Rasul SAW, dapat kita simpulkan bahwa dakwah tauhid harus integral dengan dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam, yaitu dakwah untuk mengembalikan seluruh hukum Allah SWT, baik yang menyangkut hubungan individu dengan Rabb-Nya berupa aturan yang menjelaskan tentang masalah sholat, zakat, haji, atau yang menyangkut hubungan individu dengan dirinya sendiri berupa aturan yang menjelaskan tentang masalah pakaian, makanan-minuman, serta akhlaq, atau yang menyangkut hubungan individu yang lain berupa aturan yang menjelaskan masalah ekonomi, pemerintahan, sosial – kemasyarakatan, pidana, dan sebagainya, yang tidak mungkin bisa diemban dan diselenggarakan kecuali oleh sebuah institusi Negara. Inilah konsekuensi logis dari aqidah atau tauhid yang kita yakini. Lagi pula, sejak awal HT telah meletakkan prinsip bahwa aqidah dijadikan sebagai asas perbaikan individu, asas pembentukan masyarakat, dan asas penyelenggaraan Negara.

Tentang sangkaan bahwa pembahasan mengenai masalah aqidah para aktivis yang memperjuangkan khilafah kurang dibanding masalah politik adalah suatu sangkaan yang tidak berdasar pada fakta yang sesungguhnya. Aktivis yang memperjuangkan khilafah telah mengeluarkan dan mentabanni (mengadopsi) sejumlah kitab yang membahas banyak masalah seperti:

Nidzam Iqtishod (Sistem Ekonomi Islam), Al-Anwal fi daulah Al-Khilafah (Sistem Keuangan dalam Daulah Al-Khilafah), Nidzam Uqubat (Sistem Sanksi Islam), Nidzam Al-Hukmi (Sistem Pemerintahan Islam), Nidzam Ijtima’ (Sistem Pergaulan Islam), Daulah Al-Islamiyyah (Kitab Sirah), Syakhsiyah Al-Islamiyah, yang terdiri dari 3 jilid (berisi pembahasan masalah aqidah, hadis, jihad, muamalat, ushul fiqh, dll), Ad-Dussiyah dan Ma’lumat li Asy-Syabab (NB : 2 kitab ini banyak memabahas masalah aqidah dan kritik atas peyimpangan aqidah umat dari aqidah yang shohih yang berdasar kitab dan As-Sunnah), Ahkam Ash-Sholat (Hukum-hukum Sholat), dan berbagai kitab lainnya yang membahas berbagai masalah termasuk di antaranya Afkar Siyasi dan Nadzarat Siyasi li Hizb At-Tahrir (NB : 2 kitab terakhir ini secara spesifik membahas pemikiran kontemporer dan konstalasi politik internasional). Ditambah lagi puluhan bahkan ratusan kitab yang telah ditulis oleh para syabab (aktivis) dengan tema Aqidah, hadis, Fiqh, Ushul Fiqh, Tafsir, Ekonomi, politik, Sejarah, Ilmu sosial, Ilmu Psikologi, sirah, dll. Sekali lagi, telah terbukti bahwa sangkaan sebagian orang ini tidak terbukti dan ini bisa saja menjadi kedustaan – apabila disengajai - yang Allah akan meminta pertanggungan jawab atasnya.

Tentang para shahabat Nabi yang saat itu semuanya sibuk mendakwahkan penegakan daulah ke berbagai negeri ataukah mereka mendahulukan dakwah kepada tauhid. Mari kita tengok dan pelajari sirah Rasul SAW berikut :

Sejak tiba di Madinah, Rasul mulai menjalankan pemerintahan unutk mengurusi urusan umat Islam, mengatur urusan administrasi dan membangun masyarakat Islam. Beliau mulai mengutus sahabat Hamzah ibn Abdul Muthalib, Ubaidah ibn Harits, Sa’ad ibn Abi Waqash sebagai komandan untuk memerangi kafir Quraisy.

Beliau juga mengutus Zaid ibn Haritsah, Ja’far ibn Abi Thalib, dan Abdullah ibn Rawahah untuk menyerang Romawi. Beliau juga mengangkat sahabat ‘Utab ibn Said menjadi gubernur Makkah, Muadz ibn Jabal sebagai gubernur Jaud, Khalid ibn Sa’id ibn Ash menjadi pegawai di Shun’a. Zayad ibn Labid Al-Anshari di Hadramaut, Abu Musa al-Asy’ari sebagai gubernur di Zabid dan And’, Amr ibn Ash sebagai gubernur Oman, Adi ibn Hatim sebagai gubernur di Thayyi’.

Abu Dujanah sebagai pegawai Rasul SAW di Medinah. Beliau juga mengangkat Abdullah ibn Rawahah setiap tahun untuk menghitung hasil pertanian yahudi Khaibar. Rasul SAW juga mengangkat para hakim yaitu Ali ibn abi Thalib sebagai hakim di Yaman, Abdullah ibn Naufal, Muadz ibn Jabal sebagai hakim di Yaman.

Beliau juga menunjuk Harits ibn Auf sebagai petugas yang membubuhkan stempel dengan cincin nabi SAW, Zubair ibn Awwam sebagai pencatat hasil zakat, Mughirah ibn Syu’bah sebagai pencatat hutang-hutang negara dan masalah muamalah, Syuhrabil ibn Hasanah sebagai pencatat penandatanganan perjanjian kepada para raja.

Rasul SAW juga sering bermusyawarah dengan 14 orang sahabat, 7 dr kaum Anshar dan 7 sisanya dari Muhajirin, mereka antara lain : Hamzah, Abu Bakar, Umar, Ali, Ibn Mas’ud, Salman, Ammar, Hudzaifah, Migdad, dan Bilal. Yang kedudukan mereka seperti majelis syuro. Walhasil Rasul SAW sendirilah yang menegakkan struktur daulah, serta menjalankannya dan menyempurnakannya selama masa hidupnya. Negara Khilafah memiliki pemimpin, para muawwin (pembantu), gubernur, hakim, militer, kepala administrasi, dan majelis syuro. Dan semua riwayat ini diriwayatkan secara mutawatir. (Lihat Kitab Ad-Daulah Al-Islamiyyah oleh Imam An-Nabhani, hal. 123-127 \ Bab Jihaz Ad-Daulah Al-Islamiyyah).

Terbukti Para Sahabat ra. tidak pernah membedakan antara dakwah kepada tauhid (mengajak orang kafir masuk ke dalam Islam) dengan dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam dengan keterlibatan mereka dalam berbagai tugas kenegaraan dalam Daulah Khilafah kala itu. Dan kita diperintahkan mencintai para sahabat dan mengikuti apa yang mereka lakukan dengan tidak membedakan antara dakwah kepada tauhid (mengajak orang kafir masuk ke dalam Islam) dengan dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam.

Perhatikan perkataan Imam Al-Barbahari tentang masalah ini. Imam Al Barbahary berkata : “Jika kamu lihat seseorang mencintai Abu Hurairah, Anas bin Malik, dan Usaid bin Hudlair radliyallahu ‘anhum maka ketahuilah bahwa ia pengikut sunnah –Insya Allah– dan jika kamu lihat seseorang mencintai Ayyub, Ibnu ‘Aun, Yunus bin ‘Ubaid, ‘Abdullah bin Idris Al Audi, Asy Sya’bi, Malik bin Mighwal, Yazid bin Zurai, Mu’adz bin Mu’adz, Wahb bin Jarir, Hammad bin Salamah, Hammad bin Zaid, Malik bin Anas, Al Auza’i, dan Zaidah bin Qudamah maka ketahuilah bahwa ia pengikut sunnah begitu pula jika ada seseorang mencintai Ahmad bin Hanbal, Al Hajjaj bin Al Minhal, Ahmad bin Nashr serta menyebut kebaikan mereka dan berpendapat dengan pendapat mereka maka ketahuilah ia adalah seorang Sunni.” (Syarhus Sunnah 119-121).

Karena pada hakekatnya dakwah kepada tauhid dengan dakwah li isti’nafil hayatil islamiyyah (melanjutkan kehidupan Islam), ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain.

Bahkan rasul mengatakan dalam hadisnya yang sering dinukil oleh sebagian orang: “…Dan hendaknya kamu berpegang pada Sunnahku dan Sunnah Para Khulafa’ Ar-rasyidin …..” (HR. At-Tirmidzi dan Al-Hakim). Bukankah dalam hadis ini Rasul memerintahkan kepada umat Islam agar mengikuti sunnah beliau dan sunnah para Khalifah Ar-Rasyidin, bukan diperintahkan untuk mengikuti Abu bakar, Umar, Utsman, dan Ali sebagai individu sahabat. Sementara jabatan Khalifah adalah jabatan kenegaraan tertinggi dalam struktur daulah islamiyyah semenjak masa Nabi SAW. Bahkan mereka, Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali meninggal dengan status sebagai amirul mukminin atau Khalifah umat Islam. Bahkan Umar dan Utsman terbunuh karena jabatan mereka sebagai Khalifah umat Islam.

Tentang perintah rasul SAW untuk mengawali dakwah dengan dakwah tauhid, selanjutnya dakwah kepada syari’at, HT sepakat dan tidak menolak hal ini. Tidak pernah Hizb dalam kitab-kitab mutabanatnya menyatakan dahulukan dakwah pada khilafah baru dakwah kepada tauhid. Dakwah untuk menerapkan syari’at Islam pada hakekatnya dalah tuntutan dan manifestasi tauhid seorang muslim, yang tidak hanya dituntut harus yakin dengan rukun iman, tapi juga harus terikat dengan syariat islam yang terpancar dari aqidah tadi. Oleh karena itulah Hizb menganggap bahwa dakwah tauhid harus integral dengan dakwah untuk menegakkan syari’ah Islam, mulai dari skala individu, masyarakat dan negara. Itulah yang dimaksud dengan konsep tauhid ruhiyyah dan tauhid siyasah.

Tauhid ruhiyyah adalah pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah keakhiratan seperti kiamat, pahala, siksa, peringatan, petunjuk, dorongan untuk memperoleh pahala, dll, sedang tauhid siyasah ialah pemikiran-pemikiran dan hukum-hukum yang berkaitan dengan masalah dunia seperti pembebanan hukum, kebaikan, keburukan, perdagangan, sewa-menyewa, perkawinan, perseroan, warisan, sanksi, jihad, dll. Sehingga pandangan hidup yang lahir dari aqidah Islam didasarkan pada standar halal dan haram. Yang ini merupakan thoriqoh (metode) untuk membangun keterikatan terhadap hukum-hukum syara’. Sehingga perkara apa saja yang halal baik yang hukumnya wajib, sunnah, atau mubah, maka ia akan diambil tanpa ragu. Sedangkan jika perkara itu hukumnya haram atau makruh maka ia akan meninggalkannya tanpa ragu pula (Lihat Kitab Hadis Ash-Shiyam oleh Imam An-Nabhani, Bab Aqidah Ar-Ruhiyah wa Aqidah As-Siyasiyah). Wallahu a'lam.[]