Minggu, 17 Mei 2015

Selamatkan Indonesia

Kamis, 14 mei 2015, Lapangan Gasibu, Kota Bandung. Tepat di depan simbol kebanggaan warga kota Bandung, Gedung Sate, berkumpul sekitar 25.000 orang membawa bendera berwarna hitam dan putih bertuliskan aksara arab. Konon katanya mereka datang dari seluruh penjuru Jawa Barat, dari Banjar hingga Pelabuhan Ratu. Ada pemuda-pemudi, bapak-bapak dan ibu-ibu, ada yang sudah memakai tongkat, bahkan ada yang duduk di atas kursi roda.

Event ini diselenggarakan oleh sebuah partai yang sering dianggap ormas, sebuah partai yang mengaku partai politik namun tidak (belum) pernah mengikuti pesta politik yang diselenggarakan KPU, partai yang menamai dirinya Partai Pembebasan, Hizbut Tahrir, yang bertujuan membebaskan umat manusia dari kehidupan jahiliyah menuju kehidupan yang Islami.

Dalam kegiatan ini para pembicara dan diiyakan oleh para peserta, menyerukan kepada seluruh umat Islam untuk meninggalkan perikehidupan yang sekuler dan kapitalistik, meninggalkan kehidupan yang tidak Islami dan beralih kepada kehidupan yang Islami. Dengan cara mengamalkan syariah Islam dalam lingkup pribadi, keluarga, masyarakat, dan negara. Atau seringkali dirangkum dengan satu kata: “Khilafah”. Iya, kata kuncinya adalah dengan menegakkan khilafah.

Khilafah adalah terminologi yang sangat khas. Tidak dapat diartikan secara literal saja, sebagaimana yang sering terjadi di masyarakat yang mengartikan “khilafah” adalah “kepemimpinan”. Padahal secara istilah yang syar’i, berdasarkan al Qur’an dan Sunnah, khilafah adalah kepemimpinan umum di tengah-tengah umat Islam, yang menjadikan syariah Islam sebagai landasannya, dan mengemban Islam ke seluruh penjuru dunia dengan metode dakwah dan jihad.

"Berarti kalian mau mengubah negara Indonesia? NKRI sudah final! NKRI harga mati!"

Iya, memang betul Indonesia akan diubah sampai ke akar-akarnya. Diubah menjadi lebih baik dan lebih jelas. Tidak seperti saat ini ketika negara ini ingin mengakomodir semua pendapat, maka jadilah negara ini negara yang kadang-kadang. Kadang-kadang sangat relijius, kadang-kadang sangat jahiliyah. Rame-rame masalah prostitusi, secara moral masyarakat menentang, namun tidak ada payung hukum yang secara tegas melarang prostitusi atas dasar suka sama suka. Itu satu contoh sederhana betapa membingungkannya visi negara ini. Maka dari itu harus ada perubahan yang radikal, hingga ke landasan yang paling dasar.

"Tapi kan masih banyak masalah-masalah yang lebih urgen untuk diselesaikan daripada ngurusin dasar negara? Masih banyak kemiskinan, kebodohan, pengangguran, kenakalan remaja, dan sebagainya..."

Iya, memang betul banyak masalah yang lebih dekat kepada kita dibandingkan masalah visi negara yang masyarakat awam mungkin tidak pernah kepikiran tentang hal itu. Saya cuma mau bilang, teruskan perjuangan kawan-kawan yang mau serius menyelesaikan masalah-masalah itu, insyaAllah akan ada balasan yang menarik dari Sang Pemilik Alam Semesta atas kebaikan dan pengorbanan kawan-kawan semua. Namun, jangan sampai lupa, bahwa sejatinya masalah kemiskinan, kebodohan, pengangguran, dan kenakalan remaja itu adalah tugas negara. Kita tetap harus mengusahakan fungsi negara tetap ada. Masalah kemiskinan, kebodohan, dsb hanyalah masalah ekses, masalah turunan yang lahir akibat salah urusnya negara ini. Ibarat analogi bendungan. Ketika sebuah bendungan jebol dan membuat airnya tumpah hingga membanjiri pemukiman penduduk, maka tiap orang pasti akan mengambil tindakan menyelamatkan rumahnya sendiri. Ada yang menutup pintu agar air tidak masuk ke dalam rumah, ada yang menguras air agar keluar dari dalam rumah, ada yang mengungsi, dan lain sebagainya. Namun semua tindakan solutif tersebut tidak akan membuat masalah selesai sebelum akar masalahnya diselesaikan: yaitu jebolnya bendungan. Maka harus ada orang yang berinisiatif untuk mengajak warga yang lain untuk bersama-sama membetulkan bendungan tersebut. Mencegahnya jebol lebih besar lagi. Memperbaikinya agar dapat digunakan seperti sediakala.

Begitulah seharusnya kita bekerja, beraktivitas, beramal. Selesaikan masalah. Jadilah problem solver. Baik itu yang ada di dekat kita, maupun yang berupa akar masalahnya. Mengutip jargon para aktivis lingkungan: think globally, act locally.

"Tapi, apakah dengan menerapkan syariah Islam, kesatuan umat, dan penegakan dakwah dan jihad, masyarakat akan hidup sejahtera?"

Bisa saya bilang, untuk menjadi sejahtera, kita tidak perlu Islam. Bahkan ekstrimnya, kita tidak butuh agama hanya untuk sekadar sejahtera secara ekonomi. Atau bisa dibilang, agama hanya menjadi pelengkap, hanya menjadi “candu” jika kita menginginkan sejahtera, sebagaimana yang pernah diajarkan bapak sosialisme, Karl Marx.

Maka alangkah pentingnya bagi kita untuk merenungkan tujuan hidup ini. Syekh Taqiyuddin An Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, meringkas perenungan ini dalam 3 pertanyaan yang disebutnya Al Uqdatul Kubra, Simpul-simpul Besar. Yang manakala kita bisa memecahkan jawaban dari simpul-simpul tersebut, maka kita akan menemukan suatu jalan yang lapang dalam menjalani hidup, kita akan memperoleh prinsip-prinsip hidup yang akan menuntun kita melalui kehidupan di dunia. 3 pertanyaan tersebut adalah: 1) Darimana kita sebelum kehidupan ini?; 2) Akan kemana setelah kehidupan ini?; 3) Apa yang harus kita lakukan di dalam kehidupan ini?

Bilamana kita telah tuntas menjawab ketiga pertanyaan ini, bagi muslim pasti akan sadar bahwa kehidupannya di dunia tidak sekadar untuk meraih kesejahteraan secara duniawi saja, namun juga sejahtera di akhirat, dalam artian meraih karunia surga yang penuh keindahan dan dialiri oleh sungai-sungai khamr, madu, dan susu. Yang mana karunia ini tidak akan mungkin tercapai jika kita mengabaikan perintah dan larangan Alla azza wa jalla. Oleh karena itu inilah yang harus menjadi visi hidupan bagi seorang muslim. Hidup mulia di dunia, lebih-lebih di akhirat.

Sementara fakta yang kita amati saat ini, negeri yang kita tinggali saat ini tidak mengizinkan kita untuk mengamalkan seluruh perintah dan larangan Allah azza wa jalla. Masih sangat mudah kita temukan pergaulan bebas, perzinaan, minuman keras yang dilegalisasi, belum lagi perekonomian ribawi yang jadi tonggak pembangunan negara ini, membuat kita terus-terusan menginvestasikan dosa bahkan hingga ke anak cucu kita nanti. Bagaimana mungkin ridha Allah akan turun pada negeri ini? Maka fakta ini harusnya menjadi pendorong kita untuk menyelesaikan permasalahan mendasar negeri ini, dunia dan akhirat.

Lantas apakah dengan menerapkan Islam Indonesia akan sejahtera di dunia? Saya hanya bisa bilang insyaAllah akan sejahtera. Bukti berupa sejarah ketika kekhilafahan Islam menjadi negara adidaya di abad 7-14 masehi cukup menjelaskan hal itu. Bahkan kekuasaannya meliputi dua pertiga belahan dunia, dan menguasai pusat perdagangan dunia pada saat itu, Konstantinopel. Ini bukan terjadi secara tidak rasional. Dunia Islam bisa berjaya dan sejahtera itu karena Islam sudah dibekali dengan seperangkat sistem kehidupan yang khas dan kokoh untuk menopang kesejahteraan rakyatnya. Saat ini terbukti dengan diadopsinya sistem ekonomi syariah bahkan hingga ke Eropa, karena kekebalannya terhadap krisis moneter. Itu baru penerapan satu sistem saja. Belum lagi jika kita menerapkan sistem peradilan, sosial, pendidikan, pertahanan, dan lain sebagainya. Namun seandainya saja fakta sejarah itu tidak ada, keimanan pada Allah seharusnya sudah cukup kita untuk mengusahakan penerapan syariah Islam dalam bingkai negara. Sebab janji Allah sudah pasti, janji bukan sembarang janji, janji dari penggenggam jiwa-jiwa manusia, janji dari pengatur alam semesta raya ini.

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat kami itu, Maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. Al A’raf: 96)

Jumat, 15 Mei 2015

Nyaman versus Paham

Seringkali mungkin kita mendengar  orang yang mengeluhkan suatu buku. Dia mengatakan bahwa buku tersebut tidak enak untuk dibaca. Bahasa membingungkan. Atau mungkin bukunya terlalu serius. Atau mungkin bukunya isinya tulisan semua. Sehingga membosankan untuk dibaca. Atau mungkin ada juga yang mengomentari sebuah presentasi, seminar, kuliah, atau ceramah yang katanya membosankan. Karena cara penyampaian dari sang pembicara yang kurang menarik.

Saya akui, saya bukanlah orang seperti itu. Saya cenderung untuk tidak menilai sebuah buku, presentasi, ataupun film. Saya berpikir, bahwa tidak ada buku yang buruk, dalam artian semua buku pasti membawa ide (ide yang benar ataupun salah) dari si penulisnya. Dan kegagalan pembaca menangkap ide dari penulis, bukanlah salah dari si penulis, namun kesalahan dari pembaca sendiri. Bisa jadi si pembaca kurang serius dalam membaca sehingga ide yang disampaikan tidak dapat diserap.

Saya juga berpandangan, gaya kepenulisan ada dua macam. Ada penulis yang berorientasi ingin menyampaikan idenya secara sistematis dan mendalam, dan ada penulis yang ingin menyampaikan idenya secara implisit dan perlahan kepada pembaca dengan memberikan rasa nyaman. Begitu pula dengan orientasi pembaca. Ada pembaca yang sengaja membaca buku karena ingin memahami suatu ilmu atau ide, entah gaya bahasanya membuat jenuh pembacanya atau tidak. Ini biasanya hadir dalam dunia akademik. Dan ada pula pembaca yang sengaja membaca buku karena ingin relaksasi, refreshing, rekreasi, melepaskan kepenatannya, sehingga tidak terlalu peduli dengan ide apa yang dibawa oleh penulis, yang terpenting adalah hadirnya rasa nyaman.

Dua jenis ini sebenarnya sama-sama baik, selama ide yang ingin disampaikan dapat ditangkap oleh sang pembaca. Namun ada penulis yang mampu menggabungkan kedua gaya kepenulisan tersebut. Itulah penulis yang terbaik. Ia ibarat koki yang mempu membuat makanan bergizi, namun awalnya tidak enak untuk dinikmati menjadi suatu makanan yang lezat dan juga bergizi. Ilmu yang dimiliki oleh penulis sejenis itu adalah ilmu retorika. Atau dalam ilmu sastra Arab disebut ilmu balaghah, yang konon katanya ilmu tertinggi dalam sastra Arab. Ilmu inilah yang mampu membuat pembaca atau pendengar merasa betah dan nyaman menikmati penjelasan dan penjabaran suatu ide hingga ke sisi yang paling detilnya. Membuat pembaca mau membaca sebuah buku dari daftar isi hingga daftar pustakanya. Ilmu retorika pula yang membuat pembaca dapat dengan mudah memahami isi suatu buku namun tidak mengurangi rasa nyamannya dalam melahap habis isi buku tersebut.

Selasa, 12 Mei 2015

BBM Naik, Takdir dan Rezeki, Amar Ma’ruf dan Nahi Munkar

Oleh: Felix Siauw

“jangan panik, saat BBM naik, Allah sudah mengatur rezeki pada hamba-Nya”

“tenang saja, Allah tidak akan menimpakan beban lebih daripada yang mampu kita tanggung”

Kita tentu menemui pernyataan serupa diatas, terlepas apapun maksudnya, kita coba menangkap baik sajalah. Maksudnya mungkin, kenaikan BBM ini sudah terjadi, yang berlalu ya sudah, yang penting bagaimana kita menyikapinya. Namun, sebagai seorang Muslim, kita pun khawatir ada pemahaman yang salah mengenai konsep rezeki yang dicampuradukkan pemahamannya dengan konsep dakwah, amar ma’ruf dan nahi munkar, khawatir dengan logika semisal ini ummat jadi berpikir seperti kaum fatalis jabariyyah atau murji’ah yang menganggap bahwa kemunkaran dan kedzaliman pun sudah ditakdirkan Allah.

Pertama, keyakinan seorang Muslim terhadap jatah rezeki tentu bagian daripada keimanan, bahwa bila dia masih hidup, maka Allah pasti akan mencukupinya, pasti masih ada jatah perutnya. Ini bagian keyakinan yang harus dimiliki oleh seorang Muslim, karena dalam Al-Qur’an Allah hanya menisbatkan rezeki pada diri-Nya yang menanggungnya.

Namun berbeda dengan menyikapi kemunkaran, ini pun bagian daripada kewajiban kaum Muslim yang telah diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, termasuk menasihati pemimpin, ini adalah bagian daripada perintah agama. “Rasulullah bersabda, “Agama adalah nasihat”, kami bertanya : “Bagi siapa?” Rasulullah menjawab : “bagi Allah, bagi kitabNya, bagi Rasul-Nya, bagi para pemimpin kaum Muslimin dan kaum muslimin pada umumnya” (HR Muslim).

Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim” (HR Abu Dawud). Artinya saat kita menasihati penguasa bahwa kenaikan BBM ini adalah kedzaliman dan bertentangan dengan cara Islam mengatur sumberdaya alam, dan menyusahkan ummat, bukan berarti kita tidak beriman dengan rezeki Allah, namun melaksanakan sebagian kewajiban dari Allah dan Rasulullah, yaitu menasihati penguasa.

Maka dalam konteks kenaikan BBM lalu meminta agar rakyat beriman pada takdir Allah, agaknya kurang pas. Karena hal ini akan diterima sebagai “menerima kedzaliman” bukan “menerima takdir”, karena yang harus dilakukan tatkala melihat kemunkaran hanya 3 hal: 1) mengubah dengan tangan (kekuasaan), 2) menasihati dengan lisan, atau 3) mengingkari dengan hati.

Inilah jalan para salafus salih saat menghadapi kemunkaran. Maka mendiamkan kemunkaran padahal kita tahu dan mampu untuk menyampaikan dakwah adalah perbuatan yang tidak dicontohkan para sahabat dan ulama salaf. Hanya saja, memang penting sekali bagi para penyampai ayat Allah dan peringatan ini untuk berucap santun dan bijak, menasihati dengan penuh kelembutan dan kasih sayang bukan malah mencela, melaknat, berkata kotor dan menghina yang justru menjauhkan para pemimpin ini dari mendengar nasihat.

Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun, sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut” (QS 20: 43-44). “Qaulan layyina” menurut Ibnu Katsir adalah “perkataan yang lemah lembut, santun, mudah dimengerti, dan bersahabat, agar lebih mudah meresap ke dalam jiwa serta lebih tepat dan pas”.

Kita berdakwah bukan karena tidak beriman pada takdir, bukan pula memprovokasi, tapi inilah kewajiban menasihati penguasa, yang Allah wajibkan saat kita melihat kemunkaran, termasuk kemunkaran yang jelas saat BBM naik seperti ini. Kita berdakwah bukan tersebab benci tapi karena peduli, bukan karena berang namun karena kasih sayang.

Maka kita pun menyampaikan kepada penguasa, nasihat Nabi saw, dalam doanya, doa Nabi saw, “Ya Allah, siapa saja yang mengurus urusan umatku ini, yang kemudian ia menyayangi mereka, maka sayangilah ia. Dan siapa saja yang menyusahkan mereka, maka susahkanlah ia” (HR Muslim)

Senin, 11 Mei 2015

Cara Islam Menjaga Kekayaan Negara Dari Tangan Asing

Oleh: Hafidz Abdurrahman

Khilafah Negara Ideologis

Negara Khilafah adalah negara ideologis. Negara yang dibangun berdasarkan ideologi. Keberadaannya untuk menerapkan, menjaga, dan menyebarkan ideologinya ke seluruh dunia. Itulah negara Khilafah. Ideologinya adalah Islam. Sebagai ideologi, Islam bukan hanya berisi akidah, tetapi juga sistem kehidupan. Islam tidak saja menggariskan konsep (pemikiran), seperti akidah dan solusi atas berbagai problematika kehidupan, tetapi juga menggariskan metode yang khas dan unik.

Metode untuk menerapkan, menjaga dan mengemban ideologi tersebut ke seluruh dunia. Dengan ideologi Islam yang sempurna, didukung dengan sumber daya manusia yang mumpuni, baik di bidang politik, intelektual, ijtihad dan leadership, maka Khilafah akan menjadi negara adidaya baru, menggantikan Amerika, Uni Eropa, Inggris, dan Rusia.

Dengan modal yang sama, didukung dengan wilayah yang terbentang luas, meliputi 2/3 dunia, dan jumlah demografi yang sangat besar, yaitu 1,5 milyar jiwa, maka Khilafah bisa mandiri, tidak bergantung kepada negara-negara tersebut. Dengan potensi tersebut, tentu negara-negara kafir penjajah tidak akan membiarkan Khilafah mewujudkan misinya.

Mereka pasti akan berusaha mati-matian mempertahankan cengkraman, paling tidak kepentingan mereka, di negeri kaum Muslim. Karena mereka sangat bergantung kepada dunia Islam, baik dari segi supplay energi, bahan mentah, sampai pasar. Namun, dengan ideologinya, dan kualitas sumber daya manusianya, Khilafah sanggup melepaskan diri dari setiap strategi yang mereka rancang.

Kekayaan Umat Islam

Negara Khilafah, sebagai satu-satunya negara kaum Muslim di seluruh dunia, akan menjaga agama, darah, harta, jiwa, akal, kehormatan, keturunan, negara, termasuk setiap jengkal wilayahnya. Karena itu, tak ada satupun pelanggaran yang dilakukan terhadap agama, darah, harta, jiwa, akal, kehormatan, keturunan, negara, termasuk wilayah, kecuali pasti akan ditindak oleh Khilafah.

Khusus terkait dengan kekayaan kaum Muslim, bisa dipilah menjadi tiga kategori. Pertama, kekayaan milik pribadi. Kedua, kekayaan milik umum. Ketiga, kekayaan milik negara. Seluruh kekayaan ini akan dijaga oleh negara, dan apapun bentuk pelanggaran terhadap kekayaan ini tidak akan dibiarkan. Cara Khilafah menjaga kekayaan ini adalah dengan menerapkan sistem Islam, bukan hanya di bidang ekonomi, tetapi juga yang lain.

Di bidang ekonomi, Islam menetapkan, bahwa hukum asal kekayaan adalah milik Allah, yang dikuasakan kepada manusia. Manusia mendapatkan kuasa, dengan cara menerapkan hukum-Nya. Dari sana, lahir hukum tentang kepemilikan. Karena itu, kepemilikan didefinisikan sebagai “izin pembuat syariat (Allah)”. Dengan izin pembuat syariat, seseorang bisa memiliki kekayaan, baik secara pribadi, bersama-sama, maupun melalui perantara negara, jika terkait dengan kekayaan milik negara.

Dengan cara seperti itu, maka seluruh kekayaan kaum Muslim tidak akan bisa dimiliki oleh siapapun, kecuali dengan izin pembuat syariat. Dengan cara yang sama, kekayaan milik pribadi tidak akan bisa dinasionalisasi, kecuali dengan izin pembuat syariat. Begitu juga, kekayaan milik umum tidak akan bisa diprivatisasi, karena tidak adanya izin dari pembuat syariat.

Begitu pula, kekayaan milik negara bisa diberikan kepada individu juga karena adanya izin dari pembuat syariat, yang diberikan kepada Khalifah, melalui mekanisme iqtha’, dan lain-lain.

Cara Menjaga dan Mengembalikan

Selain mekanisme syariah di atas, Khilafah juga akan melakukan edukasi kepada rakyatnya tentang nilai kekayaan mereka, serta menerapkan sanksi yang tegas bagi siapa saja yang melanggar ketentuan syariah dalam hal kepemilikan, pengelolaan dan pendistribusian kekayaannya. Edukasi bisa dilakukan, termasuk dengan mengangkat wali (pengurus) khusus bagi siapa saja yang mempunyai harta, namun tidak bisa mengelola dan mendistribusikannya dengan benar. Setiap orang satu wali.

Mereka akan dibayar oleh negara. Kebijakan satu orang satu wali ini berlaku untuk: (1) Orang-orang yang termasuk dalam kategori safih (bodoh/lemah akal). Di dalamnya termasuk orang idiot, tidak waras, termasuk anak yang belum sempurna akalnya. (2) Orang-orang yang dianggap muflis (bangkrut), di mana utangnya lebih besar ketimbang asetnya.

Dengan kebijakan satu orang satu wali, maka seluruh tindakan mereka bisa diurus dengan baik. Harta mereka terjaga, tidak dihambur-hamburkan, termasuk berpindah tangan kepada orang yang tidak berhak. Ini terkait dengan kekayaan milik individu. Karena kekayaan ini pengelolaan dan distribusinya kembali kepada individu.

Sedangkan kekayaan milik umum dan negara, pengelolaan dan distribusinya kembali kepada negara. Negaralah satu-satunya yang berhak untuk mengelola dan mendistribusikannya sesuai dengan kebijakan yang dianggap tepat. Namun, dalam hal ini, negara tidak boleh melanggar ketentuan syariah. Seperti melakukan privatisasi kekayaan milik umum kepada individu, baik domestik maupun asing.

Untuk menjaga kekayaan ini tugas dan fungsi penguasa, yang mempunyai otoritas sebagai pembuat kebijakan, sangat vital. Karena itu, mereka disyaratkan harus Muslim, adil (tidak fasik), laki-laki, baligh, berakal, merdeka dan mampu menjalankan tugas dan fungsinya sebagai penguasa. Karena ini akan menjadi jaminan dasar bagi penguasa dalam mengambil kebijakan.

Tidak hanya itu, Khilafah juga mempunyai sistem yang sempurna untuk menjaga kekayaannya. Tidak hanya bertumpu pada jaminan penguasanya, tetapi juga kepada yang lain. Ketika kebijakan penguasa dalam mengelola dan mendistribusikan kekayaan milik umum dan negara tersebut menyimpang, maka umat, baik langsung maupun melalui Majelis Umat, bisa mengoreksi tindakan penguasa.

Bisa juga melalui partai politik Islam yang ada. Jika kebijakan di atas tidak diindahkan oleh penguasa, maka kasus ini bisa diajukan kepada Mahkamah Madzalim. Mahkamah Madzalim bisa membatalkan kebijakan penguasa yang menyimpang tersebut, dan mengembalikannya. Jika kekayaan ini dimiliki oleh individu, korporasi atau negara lain, maka penguasaan atas kekayaan tersebut harus dibatalkan oleh Mahkamah Madzalim, lalu dikembalikan kepada pemiliknya. Jika milik individu, dikembalikan kepada individu.

Jika milik umum, dikembalikan kepada milik umum. Jika milik negara, dikembalikan kepada negara. Termasuk Khilafah akan menutup rapat-rapat pintu investasi asing dan utang luar negeri yang bisa berdampak pada penguasaan kekayaan milik umum dan negara oleh pihak asing. Investasi asing ini selama ini bisa dilakukan langsung, G to G (government to government), P to P (people to people), maupun melalui Bursa Efek. Semuanya harus ditutup.

Untuk itu, diberlakukan kebijakan hubungan dengan pihak asing harus melalui satu pintu, yaitu Departemen Luar Negeri. Demikian juga dengan utang luar negeri. Utang ini selama ini dibalut dengan berbagai istilah, seperti hibah, donor dan pinjaman. Intinya sama, yaitu utang. Kebijakan utang luar negeri ini seolah sudah menjadi kewajiban, karena rezim APBN yang digunakan meniscayakan itu.

Karenanya, harus dirombak, mulai dari sistem penyusunan APBN-nya. Dengan begitu, semua celah utang ini bisa ditutup rapat-rapat, kecuali dalam satu kondisi, darurat. Dengan ditutupnya seluruh pintu yang bisa berdampak pada mengalirnya kekayaan Khilafah keluar tadi, maka kekayaan umat ini akan terjaga. Dan dengan kebijakan sebelumnya, apa yang ada di tangan asing pun bisa dikembalikan.