Minggu, 26 Desember 2010

Jalan Mencari Tuhan


-Apabila kita melihat kepada segala sesuatu yang bersifat terbatas, akan kita simpulkan bahwa semuanya berawal dan berakhir-

Melihat fenomena di muka bumi kita akan mendapati bahwa, seseorang apabila menganut satu agama, maka itulah yang dianggap normal, entah agama apa yang ia anut. Sementara,sebagian orang, mekipun tidak begitu banyak terdata (setidaknya di Indonesia) tidak mengakui adanya agama, yang isinya ritual-seremoni.

Satu pertanyaan, yang biasanya cukup membingungkan bagi yang ditanya. “mengapa anda beragama?”, atau “mengapa anda beragama X?”. Pertanyaan-pertanyaan tadi kebanyakan dijawab dengan tidak tegas, atau jawaban yang paling banyak muncul ialah, “yaa, karena bapak ibu saya juga beragama X”, dan jawaban sejenis.

Jika kita pikir secara mendalam, untuk apa kita beragama (bagi yang beragama), dan kenapa pula ada yang tidak beragama? Dalam tulisan ini penulis hendak membeberkan garis-garis besar tahapan menuju jawaban pertanyaan yang barusan.

Naluri Manusia

Pertama saya akan mengajak Anda berpikir mulai dari level manusia. Kita adalah manusia. Kita sering mendengar istilah “fitrah manusia”. Sebenarnya apa yang dimaksud dengan “fitrah” itu? Saya sependapat dengan orang yang mengatakan bahwa fitrah ialah potensi yang telah ada pada diri setiap manusia sejak ia lahir.

Di antara fitrah manusia ialah naluri. Naluri manusia salah yang menyebabkan manusia bisa tetap hidup. Berkembang biak itu pun naluri. Makan-minum juga naluri. Berolahraga, mempelajari sesuatu yang baru, bersosialisasi, berkasih sayang, juga naluri.

Nah, lebih detail tentang naluri, salah satu naluri manusia ialah naluri untuk bertuhan, atau naluri untuk mengakui sesuatu yang lebih hebat di antara semuanya.

Ada seorang mahasiswa yang dengan bangganya mengakui bahwa dia adalah seorang ateis. Pada suatu hari, sehabis ujian, dia ditanya oleh salah seorang temannya, “gimana ujian tadi?”. Ia menjawab, “yah, semoga hasilnya bagus”. Tiba-tiba temannya langsung menimpali, “lha, tadi memohon ‘semoga’ sama siapa?”. Si ateis terdiam. Dari sini kita bisa lihat bahwa orang yang mengaku ateis-pun tetap mengakui bahwa ada kekuatan yang maha super yang bisa mengabulkan segala permintaan.

Bukti Ilmiah

Salah satu hal yang menjadi pembenar atas argumen bahwa tuhan itu ada,ialah didasarkan dari adanya hukum-hukum alam. Kita lihat contoh air. Air jika dipanaskan akan mendidih. Pada suhu berapa? Pada tekanan 1 atm akan mendidih pada 373 kelvin.

Kita juga tahu ada yang disebut diagram fasa air, yang menunjukkan fasa air pada suhu dan tekanan tertentu. Sehingga, apabila kita menginginkan fasa air dalam bentuk cair pada suhu 380 kelvin, maka kita tinggal menyesuaikan tekanannya.

Sebenarnya siapa yang membuat diagram fasa tersebut? Yang membuatnya manusia. Dan siapa yang membuat diagram fasa tersebut tetap, tak berubah-ubah? Tentu manusia tidak bisa. Manusia hanya bisa memanfaatkan sifat tersebut.

Sains ada karena manusia. Karena manusia yang mencatat kejadian-kejadian di alam ini, dan manusia merumuskannya sehingga mudah untuk dipahami.

Sekitar bulan September 2010, Stephen Hawking, ilmuwan fisika asal Inggris, merilis buku barunya yang berjudul The Grand Design. Ia mengatakan bahwa,

Alam semesta tercipta tanpa campur tangan Tuhan. Ia menulis Teori M yang dapat menjelaskan penciptaan alam semesta karena adanya hukum gravitasi.

Karena adanya hukum gravitasi, alam semesta bisa dan akan tercipta dengan sendirinya. Penciptaan yang spontan itu adalah alasan mengapa sesuatu itu ada, mengapa alam semesta itu ada, mengapa kita ada.”

Saya hanya mengetahui kabar ini dari teman dan dari berita-berita yang beredar di internet. Sejauh ini yang saya pahami dari pernyataan Hawking ialah, ia menyimpulkan bahwa alam semesta ada karena adanya hukum gravitasi. Padahal gravitasi itu hanyalah hukum alam. Dan ia pun tidak dapat memutuskan siapa/sebenarnya yang merancang hukum alam tesebut.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa eksistensi Tuhan tidak terbantahkan dari sudut pandang ilmiah.

Umat Islam Tidak Toleran?


Oleh Adian Husaini

Pada 1 Juli 2009, Dr. Marwa El-Sherbini, seorang Muslimah yang sedang hamil tiga bulan dibunuh oleh seorang non-Muslim di Pengadilan Dresden Jerman. Dr. Marwa dibunuh dengan sangat biadab. Ia dihujani tusukan pisau sebanyak 18 kali, dan meninggal di ruang sidang.

Dr. Marwa hadir di sidang pengadilan, mengadukan seorang
pemuda Jerman bernama Alex W yang menjulukinya sebagai “teroris” karena ia mengenakan jilbab. Pada suatu kesempatan, Alex juga pernah berusaha melepas jilbab Marwa, Muslimah asal Mesir. Di persidangan itulah, Alex justru membunuh Dr. Marwa dengan biadab. Suami Marwa yang berusaha membela istrinya justru terkena tembakan petugas.

Mungkin karena korbannya Muslim, dan pelakunya warga asli non-Muslim, peristiwa besar itu tidak menjadi isu nasional, apalagi internasional. Tampaknya, kasus itu bukan komoditas berita yang menarik dan laku dijual!

Bandingkan dengan kasus terlukanya seorang pendeta Kristen HKBP di Ciketing Bekasi, akibat bentrokan dengan massa Muslim. Meskipun terjadi di pelosok kampung, dunia ribut luar biasa. Menlu AS Hilary Clinton sampai ikut berkomentar. Situs berita Kristen www.reformata.com, pada 20 September 2010, menurunkan berita: “Menlu AS Prihatin soal HKBP Ciketing”.

Menyusul kasus Ciketing tersebut, International Crisis Group (ICG), dalam situsnya, (www.crisisgroup.org) juga membuat gambaran buruk terhadap kondisi toleransi beragama di Indonesia: “Religious tolerance in Indonesia has come under increasing strain in recent years, particularly where hardline Islamists and Christian evangelicals compete for the same ground.”

Banyak orang Muslim terbengong-bengong dengan fenomena ketidakdilan informasi yang menimpa mereka. Saat menemani Presiden Barack Obama melihat-lihat Masjid Istiqlal, Prof. KH Ali Musthafa Ya’qub menyampaikan titipan kaum Muslim Washington yang sudah tujuh tahun menunggu izin pendirian Masjid. Padahal, tanah sudah tersedia. Izin sudah diajukan dan belum kunjung keluar.

Masalahnya, yang jadi korban Muslim! Mungkin, oleh berbagai pihak, kasus yang menimpa kaum Muslim dianggap bukan komoditas berita yang menarik dan layak jual.

Kasus-kasus penyerangan tempat ibadah dan orang-orang Muslim di dunia Barat sangat melimpah datanya. Kebencian terhadap Muslim meningkat setelah peristiwa 11 September 2001. Berbagai laporan menunjukkan terjadinya vandalisme di banyak masjid dan kuburan Muslim hampir di seluruh Eropa. Pelecehan terhadap Islam seperti dilakukan oleh politisi Belanda Geert Wilders, juga tidak menjadi isu internasional tentang pelecehan Islam.

Pada 12 Februari 2010, Forum Komunikasi Kristiani Jakarta (FKKJ) menyebarluaskan data perusakan gereja di Indonesia. Kata mereka, hingga awal tahun 2010 telah ada hampir sekitar 1200 buah gereja yang dirusak dan ditutup. Berita ini tersebar ke seluruh dunia.

Fantastis! Ada 1200 gereja dirusak di Indonesia, sebuah negeri Muslim terbesar di dunia! Wajar jika dari ekspose angka itu akan muncul persepsi negatif terhadap Indonesia dan kaum Muslim. Setidaknya, bisa muncul opini, betapa biadab dan tidak tolerannya orang Muslim di Indonesia! Jika kasus satu gereja di Ciketing Bekasi saja sampai ke telinga Hillary Clinton, bagaimana dengan kasus 1.200 perusakan gereja!

Sayang, tidak ada analisis komprehensif dan jujur mengapa dan jenis kerusakan apa yang dialami gereja-gereja itu. Data Badan Litbang Kementerian Agama menunjukkan, pertumbuhan gereja Protestan di Indonesia pada periode 1977-2004, menunjukkkan angka yang fantastis, yakni 131,38 persen. Gereja Katolik lebih fantastis, 152 persen. Sedangkan pertumbuhan rumah ibadah umat Islam meningkat 64,22 persen pada periode yang sama.

Angka pertumbuhan gereja di Indonesia yang fantastis itu mestinya juga diekspose oleh lembaga-lembaga Kristen ke dunia internasional, agar laporan mereka lebih berimbang dan fair terhadap kondisi keberagamaan di Indonesia! Itu jika ada keinginan untuk membangun Indonesia sebagai rumah bersama, agar lebih adil, makmur, dan sejahtera.

Dalam soal toleransi beragama, antara opini dan fakta memang bisa jauh berbeda. Umat Islam sudah kenyang dengan rekayasa semacam itu. Dunia Barat bepuluh tahun tertipu oleh opini yang diciptakan kaum Zionis, bahwa negeri Palestina adalah tanah kosong, tanpa penduduk. Bertahun-tahun banyak orang Barat percaya, bahwa Israel adalah “David” sedangkan negara-negara Arab adalah “Goliath”. Kini, banyak yang sudah terbuka matanya, apa yang sebenarnya terjadi.

Dalam beberapa kali mengikuti perjalanan jurnalistik ke luar negeri, antara tahun 1996-1997, saya melihat bagaimana masalah Islamisasi di Timtim itu kadangkala diangkat oleh wartawan Barat dalam acara jumpa pers dengan pejabat-pejabat pemerintah RI. Mereka termakan oleh kampanye Uskup Belo selama bertahun-tahun bahwa telah terjadi Islamisasi di Timtim yang antara lain difasilitasi oleh ABRI.

Padahal, fakta bicara lain. Yang terjadi di masa integrasi Timtim dengan Indonesia adalah Katolikisasi! Bukan Islamisasi! Hasil penelitian Prof. Bilver Singh dari Singapore National University, menunjukkan, pada 1972, orang Katolik Timtim hanya berjumlah 187.540 dari jumlah penduduk 674.550 jiwa (27,8 persen). Tahun 1994, jumlah orang Katolik menjadi 722.789 dari 783.086 jumlah penduduk (92,3 persen). Tahun 1994, umat Islam di Timtim hanya 3,1 persen. Jadi dalam tempo 22 tahun di bawah Indonesia, jumlah orang Katolik Timtim meningkat 356,3%. Padahal, Portugis saja, selama 450 tahun menjajah Timtim hanya mampu mengkatolikkan 27,8% orang Timtim.

Melihat pertambahan penduduk Katolik yang sangat fantastis itu, Thomas Michel, Sekretaris Eksekutif Federasi Konferensi para Uskup Asia yang berpusat di Bangkok, menyatakan, “Gereja Katolik di Timtim berkembang lebih cepat dibanding wilayah lain mana pun di dunia.” (Lihat, Bilveer Singh, Timor Timur, Indonesia dan Dunia, Mitos dan Kenyataan (Jakarta: IPS, 1998).

Itu fakta. Tapi, opini di dunia internasional berbeda. Sejumlah kasus Islamisasi di Timtim diangkat dan dibesar-besarkan sehingga menenggelamkan gambar besar kondisi keagamaan di Timtim saat itu.

Ini kepiawaian mencipta opini! Perlu diacungi jempol. Tokoh agama menjalankan fungsinya sebagai juru kampanye, bahwa umatnya tertindas, terancam, dan perlu pertolongan dunia internasional. Dan, kampanye itu menuai hasil yang mengagumkan! Dunia diminta percaya bahwa kaum Kristen terancam dan tertindas di Indonesia; bahwa tidak ada toleransi, tidak ada kebebasan beragama di negeri Muslim ini. Berbagai LSM di Indonesia sibuk mengumumkan hasil penelitian bahwa kondisi kebebasan beragama di Indonesia sangat buruk.

Cara eksploitasi kasus di luar batas proporsinya ini sangat merugikan citra bangsa. Padahal, lihatlah fakta besarnya! Muslim Indonesia sudah terbiasa dengan keberagaman dalam kehidupan beragama. Umat Muslim terbiasa menerima pejabat-pejebat non-Muslim duduk di posisi-posisi penting kenegaraan. Umat Muslim sangat biasa melihat tayangan-tayangan acara agama lain di stasiun televisi nasional. Hari libur keagamaan pun dibagi secara proporsional.

Tengoklah, berapa gelintir orang Muslim yang diberi kesempatan untuk menjadi pejabat tinggi di negara-negara Barat, sampai saat ini. Tengoklah, apakah kaum Muslim di sana bebas mengumandangkan azan, sebagaimana kaum Kristen di Indonesia bebas membunyikan lonceng gereja. Apa ada hari libur untuk kaum Muslim saat berhari raya, sebagaimana kaum Kristen menikmati libur Natal dan Paskah?

Tengoklah pusat-pusat pembelanjaan dan televisi-televisi Indonesia saat perayaan Natal! Apakah kaum Kristen dihalang-halangi untuk merayakan Natal dan hari besar lainnya? Justru yang terjadi sebaliknya. Di Indonesia, sebuah negeri Muslim, suasana Natal begitu bebas merambah seluruh aspek media massa.

Dalam kondisi maraknya ritual Kristen dan Kristenisasi di Indonesia, sungguh suatu “kecerdikan yang luar biasa” dalam bidang teknik pencitraan, bahwa Indonesia dicitrakan sebagai sebuah negeri yang tidak memberikan toleransi beragama kepada minoritas Kristen. Seolah-olah mereka adalah umat yang tertindas dan teraniaya. Adanya kasus-kasus tertentu diangkat dan dieksploitasi begitu dahsyat sehingga Indonesia dicitrakan sebagai negeri yang tidak ada kebebasan beragama.

Tentu, adilnya, jika ingin menikmati kecantikan wajah seorang gadis, lihatlah seluruh wajahnya! Jika hanya satu dua jerawat yang diteropong dan dipelototi habis-habisan, maka wajah cantik itu akan hilang dari pandangan mata!

Kaum Muslim pasti sangat mencintai negeri ini. Muslim pasti mencintai toleransi, kerukunan, dan perdamaian. Hanya saja, tokoh Islam Indonesia M. Natsir, pernah memohon: “…kalaulah ada suatu harta yang kami cintai dari segala-galanya itu ialah agama dan keimanan kami. Itulah yang hendak kami wariskan kepada anak cucu dan keturunan kami. Jangan tuan-tuan coba pula memotong tali warisan ini!”

Kaum Muslim perlu terus mengambil hikmah dan pelajaran dari berbagai kasus yang menimpa mereka. Juga, kaum Muslim, terutama para aktivis dakwah, perlu terus meningkatkan kualitas dan kemampuan dakwahnya, agar mereka tidak mudah dikelabui dan diperdayakan. Toleransi umat Islam di negeri ini tidak dihargai, justru umat Islam dicitrakan sebagai umat yang tidak toleran, padahal secara umum, mereka sudah berbuat begitu baik kepada kalangan non-Muslim dalam berbagai bidang kehidupan. (17 Desember 2010***)

Sabtu, 09 Oktober 2010

Yang Namanya Seni


Seni pada mulanya adalah proses dari manusia, dan oleh karena itu merupakan sinonim dari ilmu. Manusia menciptakan ilmu seni untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memang sangat mencintai keindahan dan keelokan.

Namun, akhirnya manusia menemukan tujuan yang lebih fungsional dari diciptakannya seni, yaitu untuk mempermudah manusia dalam melakukan segala aktivitasnya, sehingga lahirlah apa yang dikenal dengan ilmu desain, yaitu ilmu yang digunakan untuk mendesain suatu barang agar lebih berguna dan lebih elok untuk dipandang.


Dewasa ini, seni bisa dilihat dalam intisari ekspresi dari kreatifitas manusia. Sehingga seni tidak melulu berhubungan dengan barang-barang karya seni, tapi juga dalam bentuk koreografi dan sajak kata-kata.

Dengan itu, seni pun menjadi alat untuk berekspresi dan mengungkapkan sesuatu dengan cara yang berbeda, ya seperti dengan koreografi ataupun syair. Artinya, seni menjadi bagian dari cara hidup manusia, karena semakin modern, seni menjadi alat untuk berekspresi dan semakin sulit untuk memisahkan kehidupan manusia dengan seni.

Makanya tidak heran kita mengetahui ada semacam motto, " tanpa seni hidup tak akan bermakna".
Seiring dengan semakin modernnya kehidupan, tentunya peradaban dan keberadaban manusia pun harus meningkat, meninggalkan segala jenis ketidakberadaban yang pernah manusia lakukan pada masa sebelum sekarang.

Namun, kenyataan yang sering terlihat sekarang, begitu banyak hal-hal yg justru dalam acuan norma kesopanan dan kesusilaan tergolong tidak baik begitu sering ditampilkan dan diapresiasi dengan sangat baik.
Tidak terhitung entah berapa banyak karya-karya seni yang mengandung unsur pornografi sejenis patung-patung yang dibuat tidak berbusana begitu mudah untuk dibanggakan dan tanpa penentangan dari orang-orang sekitar dipajang untuk menjadi pemandangan umum.

Dengan hanya bermodalkan argumentasi bahwa itu adalah karya seni yang seharusnya diapresiasi. Juga dengan alasan bahwa dunia seni adalah dunia yang tanpa garis yang jelas, semua karya seni adalah benar, tergantung cara pandang.
Jika kita kembali kepada awalnya, bahwa seni juga digunakan untuk berekspresi dan menuangkan gagasan, berarti karya seni yang diproduksi merupakan ekspresi dari gagasan yang ingin disampaikan oleh seorang seniman.

Berarti pula, apabila ada karya seni yang mengandung unsur pornografi, maka kita bisa mengambil kesimpulan bahwa si seniman memang berpikiran jorok. Atau kalo misalkan karya seni itu kita konversi menjadi bentuk kata-kata, maka si seniman sedang mengeluarkan kata-kata jorok.

Bah, di mana keberadaban manusia yang konon katanya adalah makhluk yang bijak?
Belum lagi dengan bermacam-macam kasus tentang tarian erotis di panggung hiburan dan media massa, nyanyian-nyanyian dengan kata-kata vulgar tanpa malu-malu, dan foto model dengan serba aurat terbuka, dengan hanya berargumentasi, "itu karya seni".

Saya tidak mau berpanjang lebar lagi. Yang ingin saya ungkapkan adalah, Seni itu hanyalah ilmu alat/pelengkap untuk memudahkan kehidupan dan berekspresi. Sekadar alat, dan bukan menjadi tujuan hidup manusia. Maka jangan sekali-kali menjadikan seni sebagai tuhan yang bisa membenarkan apapun demi seni itu sendiri. Karena kita telah punya Tuhan Yang Maha Esa.

Yang Namanya Seni

Seni pada mulanya adalah proses dari manusia, dan oleh karena itu merupakan sinonim dari ilmu. Manusia menciptakan ilmu seni untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memang sangat mencintai keindahan dan keelokan. Namun, akhirnya manusia menemukan tujuan yang lebih fungsional dari diciptakannya seni, yaitu untuk mempermudah manusia dalam melakukan segala aktivitasnya, sehingga lahirlah apa yang dikenal dengan ilmu desain, yaitu ilmu yan digunakan untuk mendesain suatu barang agar lebih berguna dan lebih elok untuk dipandang.

Dewasa ini, seni bisa dilihat dalam intisari ekspresi dari kreatifitas manusia. Sehingga seni tidak melulu berhubungan dengan barang-barang karya seni, tapi juga dalam bentuk koreografi dan sajak kata-kata. Dengan itu, seni pun menjadi alat untuk berekspresi dan mengungkapkan sesuatu dengan cara yang berbeda, ya seperti dengan koreografi ataupun syair. Artinya, seni menjadi bagian dari cara hidup manusia, karena semakin modern, seni menjadi alat untuk berekspresi dan semakin sulit untuk memisahkan kehidupan manusia dengan seni. Makanya tidak heran kita mengetahui ada semacam motto, " tanpa seni hidup tak akan bermakna".

Seiring dengan semakin modernnya kehidupan, tentunya peradaban dan keberadaban manusia pun harus meningkat, meninggalkan segala jenis ketidakberadaban yang pernah manusia lakukan pada masa sebelum sekarang. Namun, kenyataan yang sering terlihat sekarang, begitu banyak hal-hal yg justru dalam acuan norma kesopanan dan kesusilaan tergolong tidak baik begitu sering ditampilkan dan diapresiasi dengan sangat baik.

Tidak terhitung entah berapa banyak karya-karya seni yang mengandung unsur pornografi sejenis patung-patung yang dibuat tidak berbusana begitu mudah untuk dibanggakan dan tanpa penentangan dari orang-orang sekitar dipajang utnuk menjadi pemandangan umum. Dengan hanya bermodalkan argumentasi bahwa itu adalah karya seni yang seharusnya diapresiasi. Juga dengan alasan bahwa dunia seni adalah dunia yang tanpa garis yang jelas, semua karya seni adalah benar, tergantung cara pandang.

Jika kita kembali kepada awalnya, bahwa seni juga digunakan untuk berekspresi dan menuangkan gagasan, berarti karya seni yang diproduksi merupakan ekspresi dari gagasan yang ingin disampaikan oleh seorang seniman. Berarti pula, apabila ada karya seni yang mengandung unsur pornografi, maka kita bisa mengambil kesimpulan bahwa si seniman memang berpikiran jorok. Atau kalo misalkan karya seni itu kita konversi menjadi bentuk kata-kata, maka si seniman sedang mengeluarkan kata-kata jorok. Bah, di mana keberadaban manusia yang konon katanya adalah makhluk yang bijak?

Belum lagi dengan bermacam-macam kasus tentang tarian erotis di panggung hiburan dan media massa, nyanyian-nyanyian dengan kata-kata vulgar tanpa malu-malu, dan foto model dengan serba aurat terbuka, dengan hanya berargumentasi, "itu karya seni".

Saya tidak mau berpanjang lebar lagi. Yang ingin saya ungkapkan adalah, Seni itu hanyalah ilmu alat/pelengkap untuk memudahkan kehidupan dan berekspresi. Sekadar alat, dan bukan menjadi tujuan hidup manusia. Maka jangan sekali-kali menjadikan seni sebagai tuhan yang bisa membenarkan apapun demi seni itu sendiri. Karena kita telah punya Tuhan Yang Maha Esa.

Minggu, 29 Agustus 2010

Sains Modern


Oleh: Syamsuddin Arif

Kehidupan di muka bumi ini bermula sekitar 3½ miliar tahun yang lalu. Sejak itu pelbagai organisme bersaing satu sama lain untuk bertahan hidup, dengan begitu ber‘evolusi’ menghasilkan aneka ragam spesies baru yang semakin lama semakin canggih. Sampai kemudian muncul spesies baru bernama manusia yang dengan akalnya mulai mencari asal-usul kehidupan. Ribuan bahkan jutaan tahun berlalu tak seorangpun konon berhasil memberi jawaban memuaskan. Baru pada tahun 1735 Carolus Linnaeus dari Swedia menjadi ‘manusia pertama’ yang membuat klasifikasi berdasarkan kemiripan dan memberikan ‘nama saintifik’ bagi tiap-tiap spesies. Dan baru pada tahun 1859 teka-teki biologi tersebut berhasil dipecahkan oleh saintis Inggris bernama Charles Darwin. Manusia, sebagaimana spesies lain, ‘muncul’ (evolved) dengan sendirinya dari proses seleksi alam.

Jika dipikirkan kembali, dongeng evolusi ini tidak hanya sarat dengan khayalan tetapi juga berunsur penghinaan. Pertama, kendati berangkat dari kajian empiris selama pelayarannya di Amerika Selatan, penyimpulan Darwin lebih bersifat dugaan (conjecture) ketimbang kepastian. Dalam konstruk epistemologi Islam, pengetahuan semacam ini disebut zhann atau sangkaan. Validitasnya hanya sedikit lebih tinggi dari keragu-raguan dan kira-kira (wahm). Pengetahuan yang dibangun diatas teori serupa ini tidak sampai derajat yakin. “Mereka sekadar mengikuti sangka belaka, padahal sangkaan itu tidak bisa menggantikan kebenaran,” firman Allah dalam al-Qur’an (53:28). Kedua, cerita evolusi itu juga mengesankan seolah-olah bangsa kulit putih sajalah yang paling hebat. Tak salah jika banyak yang menyebutnya ‘heroisme kolonial’.

Anehnya, khayalan Darwin itu menjelma jadi dogma. “Susah, pak, menolak teori evolusi kalau ingin menjadi ahli biologi sekarang ini,” ujar sahabat saya dari Unibraw, Malang. Ia ibarat rukun iman bagi biolog modern. Tapi justru di sinilah letak persoalannya. Ilmu-ilmu alam (natural sciences) yang kita pelajari dan kita ajarkan kepada siswa dan mahasiswa adalah ilmu pengetahuan yang dikembangkan oleh bangsa-bangsa Eropa sejak 500 tahun terakhir. Mulai dari ilmu-ilmu alam hingga ilmu-ilmu sosial atau humaniora. Tak mungkin dipungkiri, ilmu-ilmu tersebut jelas diwarnai oleh akidah alias Weltanschauung ilmuwan bersangkutan. Secara sadar ataupun tidak, pelbagai disiplin ilmu yang kita konsumsi sekarang ini mengandung unsur-unsur halus naturalisme, materialisme, dan sebagainya.

Tak jauh beda khayalan ilmiah mengenai alam semesta. Konon, kata para saintis, alam semesta ini ‘muncul’ akibat ledakan mahadahsyat (Big Bang) yang terjadi sekitar 13.700 juta tahun silam. Kalau tidak percaya silakan hitung sendiri, kata seorang teman setengah berguyon. Ledakan tersebut melontarkan materi dalam jumlah sangat besar ke segala penjuru. Materi-materi itulah yang mengisi alam semesta ini, yang kemudian dinamakan bintang, planet, debu kosmis, asteroid, meteor, energi, dan sebagainnya. Maka dikhayalkan bahwa alam semesta ini terbentuk dengan sendirinya dan akan terus menerus ada. Gambaran ini jelas memantulkan pandangan materialistis yang menafikan kewujudan Tuhan.

Namun sayang sekali kebanyakan ilmuwan kita seperti tidak berkutik di hadapan sains modern. Jauh dilubuk hati mengakui Allah sebagai pencipta dan berkuasa atas segala sesuatu dari partikel terkecil hingga galaksi dan jagat raya. Tetapi dalam pikiran bertahta saintisme beserta hulu-balangnya. Disaat kaum Muslim berlomba-lomba mengejar mantan penjajah mereka dalam bidang sains dan teknologi, seruan ‘islamisasi’ memang terdengar aneh. Apakah kaum Muslim harus menolak sains modern? Oh, bukan itu maksudnya.

Islamisasi bermula dari kerangka berpikir, ‘worldview’ yang terdiri dari gugusan konsep-konsep Islami berkenaan dengan Tuhan, Wahyu, Nabi, Ilmu dan seterusnya. Ia berfungsi sebagai filter penyaring dan penepis elemen-elemen yang tidak sesuai atau bertolak-belakang dengan konsep-konsep Islami tersebut. Ini karena sesungguhnya cara kerja pikiran kita tak ubahnya bagaikan sistem metabolisme badan. Meminjam ucapan Seyyed Hossein Nasr, penulis buku Science and Civilization in Islam: “Tidak pernah ada sains yang diserap ke dalam sebuah peradaban tanpa penolakan sedikit pun. Mirip dengan tubuh kita. Kalau kita cuma makan saja, tetapi badan kita tidak mengeluarkan sesuatu, maka dalam beberapa hari saja, kita akan mati. Sebagian makanan perlu diserap, sebagian lagi harus dibuang (No science has ever been integrated into any civilization without some of it also being rejected. It’s like the body. If we only ate and the body did not reject anything we would die in a few days. Some of the food has to be absorbed, some of the food has to be rejected).” Artinya, kita hanya perlu bersikap lebih kritis dan selektif terhadap sains modern.

Selasa, 27 Juli 2010

Puisi Taufik Ismail tentang Merokok

Puisi Taufik Ismail

Di sebuah ruang sidang ber-AC penuh,
duduk sejumlah ulama terhormat menunjuk kitab kuning dan mempersiapkan sejumlah fakta
mereka ulama ahli hisap
haasaba yuhasibu hisaban
Bukan ahli kitab ilmu falak tapi ahli hisap rokok
Diantara jari telunjuk dan jari tengah mereka terselip berhala-berhala kecil sembilan senti panjangnya
putih warnanya
ke mana-mana dibawa dengan setia
Satu kantong dengan kalung tasbih 99 butirnya
Mengintip kita dari balik jendela ruang sidang
tampak kebanyakan mereka memang memegang rokok dengan tangan kanan,
Cuma sedikit yang memgang dengan tangan kiri
Inikah gerangan pertanda
yang terbanyak kelompok ashabul yamin dan yang sedikit golongan ashabul syimaal?

Asap rokok mereka mengepul-epul diruangan AC penuh itu
Mammuut tadkhiin ya ustadz laa tasyrabud dukhaan ya ustadz
Kiai ini ruangan ber-AC penuh
Hadziihi al ghurfati maliiatun bi mukayyafii al hawai
Kalau tak tahan diluar sajalah merokok
Laa taqtuluu anfusakum. Min fadliik ya ustadz
25 penyakit ada di dalam khamr. Khamr diharamkan
15 penyakit ada di dalam daging khinzir (babi). Daging khinzir diharamkan
4000 zat kimia beracun ada pada sebatang rokok. Patutnya rokok diapakan?

Tak perlu dijawab sekarang, ya ustadz. Wa yuhariomu alayhimul khabnaaith
Mohon ini direnungkan tenang-tenang
Karena pada zaman rasulullah dahulu
Sudah ada alcohol; suidah ada babi tapi belum ada rokok
Jadi ini PR untuk para ulama
Tapi jangan karena ustadz ketagihan rokok, lantas hukumnya jadi dimakruh-makruhkan, jangan


Berhala-berhala itu sangat berkuasa di negeri kita
Jutaan jumlahnya
Bersembunyi di dalam kantung baju dan celana
Dibuingkus dengan kertas berwarni dan berwarna diiklankan dengan indah dan cerdasnya
Tidak perlu wudhu atau tanyamum untuk mensucikan diri
Dtidak perlu rukuk dan sujud untuk taqorrub pada tuhan-tuhan ini
Karena orang akan dengan khusyuk dan fana dalam nikmat lewat upacara menyalakan api dan sesajen asap-asap tuhan ini,
Rabbana beri kami kekuatan menghadapi berhala-berhala ini.

Senin, 26 Juli 2010

“Gott Ist Tot”?


Oleh Muhammad Syauqi


Prolog

Judul tulisan ini mungkin sangat provokatif bagi orang-orang yang sudah banyak mengkaji agama. Yah, ga perlu yang rutin mengkaji agama ajah sih, yang masih punya kesadaran untuk beribadah meski jarang ikut pengajian juga bisa-bisa ngeluarin golok terus saya langsung dipenggal.. -_-

Ungkapan ini memang sering dinyatakan oleh “Sang Pembunuh Tuhan”. Tapi, kebanyakan orang yang telah antipati duluan terhadap filsafat banyak sekali salah kaprah. Akibatnya, hanya berujung pada fitnah dan salah paham.

Di sini saya ingin membahas suatu kajian filsafat yang sangat populer, dan sangat berani, serta memiliki momen penting dalam perjalanan hidup manusia di seluruh dunia. Yah, motivasinya gara-gara ada senior yang masih salah paham dengan kalimat dalam judul tulisan ini sehingga nanya yang bener emang kayak gimana. Tapi selain itu, saya juga memang lagi senang-senangnya dengan filsafat eksistensialisme.

Pembahasan singkat tentang pemikiran dalam kalimat “Gott Ist Tott” ini pernah saya sampaikan ke anak-anak baru HATI pas lanjutan kajian industri selasa malam pekan lalu. Lumayan, ada yang nyambung juga soalnya dengan pengembangan konsep Industri Islam.

Oke kita mulai saja pembahasannya.

Realita Peradaban Awal Manusia

Sejak peradaban manusia paling pertama, bisa dibilang ada sebuah institusi yang selalu mewarnai jalannya peradaban tersebut. Institusi itu adalah institusi AGAMA. Hampir tidak ada kebudayaan yang ditemukan tidak memiliki intitusi agama. Dan, seringkali institusi agama ini memiliki pengaruh yang sangat besar di masyarakat. Mulai dari Kaisar Aztec yang selalu berkonsultasi dengan shaman sukunya untuk mengatasi bencana, Ratu Mesopotamia yang bersama Pendetanya memimpin persetubuhan berjamaah, Archimides yang memberikan persembahan 100 ekor sapi kepada para dewa setelah dia menemukan ide tentang massa jenis, Pemahkotaan Charlemagne oleh Paus, hingga para Khalifah Islam yang memerintah atas mandat hukum langit (syariat).

Institusi agama telah menjadi sandaran hidup kemanusiaan sejak lama. Pandangan hidup yang paling mendasar dari sebuah peradaban berasal dari institusi-institusi agama ini. Peradaban yang gemilang sejak zaman kuno hingga zaman pertengahan selalu memiliki institusi agama yang menjadi keyakinan dan pandangan hidup masyarakatnya. Di Zaman Kuno (para ahli sejarah membagi sejarah peradaban manusia yaitu sebelum kehancuran Romawi Barat sebagai ‘zaman kuno’), acara-acara besar kenegaraan banyak dilakukan untuk hal-hal yang superstitious. Pejabat Pontifex Maximus memimpin dan mengatur pembangunan kuil-kuil besar di Romawi. Raja dan pendeta mesir membangun pramida-piramida raksasa. Sementara di abad pertengahan, perubahan paling penting yang memiliki pengaruh sejarah sangat besar terjadi akibat konsolidasi yang dilakukan institusi Gereja yang menyerukan orang-orang Eropa bersatu dan menyerbu Holy Land dan merebutnya dari kaum Muslim.

Dari sini dapat dipahami bagaimana di abad-abad tersebut manusia hidup dan beraktivitas sehari-hari dengan kesadaran transendental terhadap Tuhan danAgama. Agama telah menjadi panutan setiap anggota masyarakat dan menjawab setiap permasalahan masyarakat. Manusia memaknai hidup mereka dengan kesadaran transendental ini.

Perkembangan Eropa setelah Abad Pertengahan

Perang Salib membawa perkembangan baru di Eropa. Masyarakat Eropa yang selama ini hidup terkungkung dalam komunitas-komunitas feodal mengenal bahwa terdapat dunia yang luas di luar Eropa dengan peradaban dan ide-ide yang gemilang. Akhirnya semakin berkembanglah ide-ide baru di masyarakat Eropa, mulai dari pemikiran model kosmologi, hingga penjelajahan ke dunia baru. Abad ke-13 sampai abad ke-14 ini, disebut sebagai zaman Rennaisance.

Ide-ide yang baru bagi masyarakat Eropa ini tentu saja juga merupakan ide-ide yang baru bagi institusi yang menjadi panutan mereka: Gereja. Namun pada zaman ini pekembangan ide tersebut tidak membawa penentangan terhadap institusi Gereja. Ide-ide baru yang masuk ke masyarakat Eropa sama sekali tidak mengganggu kesadaran transendental mereka terhadap iman Kristen. Sebaliknya, justru semakin mengembangkan agama dan teologi Kristen itu sendiri. Misalnya, Thomas Aquinas seorang pendeta dan filosof di daerah Italia menyerap filsafat-filsafat Avvicenian Logic untuk mengembangkan filsafat dan teologi Kristen, yang merupakan pengembangan Aristotelian logic oleh para ahli kalam Islam.

Pada abad ke-15 sampai ke-16, dimulailah tanda-tanda di mana Gereja kurang siap dalam menerima perkembangan kemanusiaan di Eropa saat itu. Periode ini sering disebut sebagai zaman Reformasi Gereja. Namun, dalam periode ini pun penentangan yang terjadi tetap tidak mengganggu kesadaran transendental masyarakat Eropa terhadap iman Kristen. Kristen tetap menjadi panutan masyarakat Eropa. Hanya saja, banyak pihak-pihak yang berusaha melakukan reformasi terhadap gereja sehingga muncul aliran-aliran kristen yang memisahkan diri dari supremasi Vatikan, seperti yang dilakukan oleh John Calvin dan Martin Luther. Perkembangan ini terjadi dengan pesat di Inggris dan Jerman.

Aufklärung

Abad ke-17 sampai 18 disebut sebagai Age of enlightenment (bahasa Jerman-nya:Aufklärung). Pada masa ini perkembangan ide dalam masyarakat Eropa semakin kuat sehingga menekan Gereja dan Kristen. Zaman Reformasi Gereja yang melahirkan perpecahan di antara penganut Kristen membawa obat buruk bagi masyarakat Eropa. Peperangan dan kejahatan kemanusiaan terjadi karena perselisihan antar aliran-aliran Kristen ini; pembantaian oleh Raja Luois IV terhadap para penganut Protestan di Perancis, pengusiran orang-orang Katolik dari Inggris.

Selain itu, muncul juga ide-ide yg bertentangan secara frontal dengan teologi gereja. Misalnya, Materialisme dari para filosof Empirisme seperti David Hume. Dan dalam ranah sosial politik, John Milton di Inggris semakin merongrong Otoritarianisme Gereja dan Parlemen. John Locke dalam A Letter Concerning Toleration-nya mengemukakan ide awal sekularisme, bahwa tidak ada institusi keyakinan transendental yang berhak mencampuri kehidupan sipil.

Bisa dikatakan, pada periode ini Kristen dan Gereja semakin kehilangan pengaruhnya sebagai panutan dan makna hidup masyarakat Eropa. Meskipun begitu, masih banyak para filosof dan pemikir yang begitu “sholeh”. Ide-ide yg mereka kembangkan revolusionis. Namun, seperti pada abad awal Rennaisance, ide-ide tersebut mereka gunakan untuk semakin mengokohkan Kristen dan Gereja.

Filosof seperti Descartes tetap teguh pada keyakinan Katolik-nya, meski penguasa Inggris merongrong untuk menghancurkan setiap penganut selain Protestan. Kemudian Immanuel Kant dalam Critique of Pure Reason-nya mengemukakan sebuah argumen yang mungkin anak-anak rohis SMA sering gunakan sebagai argumen seperti: akal manusia terbatas, sedangkan Tuhan tidak terbatas, sehingga Tuhan-lah yang pasti benar. Kira-kira seperti itu yang ada dalam bukunya Kant, bahwa manusia tidak bisa sepenuhnya mengandalkan Empirisme maupun Rasionalisme untuk mencapai akal budi yang sempurna. Hanya yang transenden-lah yang pasti benar.

Filosof lain seperti Hegel mengemukakan ide lain yang agak “menyimpang”, namun sebenarnya dia menekankan supremasi yg transenden.

Titik Balik: Ideologi Versus Kristen

Setelah mengalami Aufklärung, perkembangan kemanusiaan di Eropa menjadi semakin kompleks. Mulai dari revolusi Industri, perkembangan teori-teori Ekonomi, sampai politik pemerintahan. Permasalahan manusia semakin besar dan menjadi-jadi. Perkembangan strata masyarakat akibat kapitalisme mengakibatkan alienasi dan eksploitasi. Kelas borjuis yang menindas kelas proletar melahirkan pemikiran Marxisme.

Dalam keadaan ini, Gereja dan Kristen benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Tradisi politik kuno dalam masyarakat Eropa zaman dahulu semakin ditinggalkan dan digantikan dengan demokrasi dan parlemen. Begitu juga tradisi ekonomi masyarakat feodal kuno semakin ditinggalkan dan digantikan pemikiran-pemikiran Ekonomi Klasik. Kaum Atheis pun bermunculan dan tidak ragu-ragu lagi menonjolkan diri di publik.

Gereja dan Kristen benar-benar sudah habis. Masyarakat Eropa telah mengalihkan makna hidup mereka dari keyakinan transenden kepada Sekularisme, Liberalisme, dan Marxisme. Gereja tidak mampu menjawab permasalah manusia yang semakin berkembang saat itu.

Søren Aabye Kierkegaard yang mungkin merupakan filosof “sholeh” terakhir di masaAufklärung mengungkapkan keadaan ini dengan pernyataan berikut:

I ask: what does it mean when we continue to behave as though all were as it should be, calling ourselves Christians according to the New Testament, when the ideals of the New Testament have gone out of life? The tremendous disproportion which this state of affairs represents has, moreover, been perceived by many. They like to give it this turn: the human race has outgrown Christianity.

Terjemahnya: “Aku bertanya: apa artinya ketika kita terus bersikap seolah-olah semua itu sebagaimana mestinya, menyebut diri kita Kristen berdasarkan Perjanjian Baru, ketika cita-cita Perjanjian Baru telah hilang dari kehidupan? Suatu ketimpangan luar biasa di mana situasi dan peristiwa saat ini telah menunjukkan, yang apalagi, telah banyak dipersepsikan. Mereka ingin menunjukkan perubahan ini: manusia telah melampaui Kristen.

Pengejawantahan Nietzsche

Okeh, kita mulai ke masalah pokoknya.. (udah panjang lebar gini malah baru mau masuk masalah pokoknya.. -_- )

Friedrich Wilhelm Nietzsche adalah seorang eksistensialis seperti Kierkegaard, sehingga fokus filsafatnya adalah eksistensi manusia. Perkembangan Eropa terakhir masa Aufklarung dan ditinggalkannya keyakinan transendental sangat mengganggu batin Nietzsche. Permasalahannya adalah manusia-manusia Eropa yang baru, mereka menyandarkan makna hidupnya pada pemikiran-pemikiran yang berbasiskan materialisme dan tidak ada ruang transenden sedikitpun.

Maka jika demikian, dengan menggunakan pemikiran Kant sebelumnya, dapatkah manusia mendapatkan pemecahan masalah kehidupan dengan sempurna? Dapatkah manusia mencapai akal budi yang paripurna? Bukannya malah yang akan terjadi dalam kehidupan fana ini hanyalah benturan-benturan kepentingan materi yang tidak ada habisnya?

Nietzsche takut dengan menyandarkannya manusia dalam kehidupan fana, masihkah ia menyisakan makna atas hidup manusia? Yang akan terjadi justru manusia akan jatuh kedalam jurang Nihilisme.

Untuk catatan, Nihilisme adalah pemikiran filsafat yang menegasikan setiap makna hidup manusia. Contoh pemikiran Nihilisme: “Buat apa hidup? kalo mati cuman jadi tanah!?” (mungkin ada rekan2 yg pernah mendengar kalimat ini.. -_- )

Oleh karena itu, Nietzsche akhirnya menyimpulkan bahwa mau tidak mau manusia harus memiliki pemecahan kehidupan yang menyelamatkan manusia dari Nihilisme.

Gott Ist Tot

Gott Ist Tot adalah kalimat dalam bahasa Jerman yg jika diterjemahkan dalam bahasa Inggris artinya adalah “God Is Dead” dan dalam bahasa Indonesia artinya adalah “Tuhan telah Mati”. Seperti yang saya singgung di prolog, kalimat ini terlalu vulgar. Bisa-bisa orang yang mengucapkannya langsung dipenggal oleh orang-orang religius anti-filsafat. -_-

Namun, kesalahan besar jika memahami ungkapan Nietzsche secara harfiah. Dalam usaha menyelamatkan manusia dari Nihilisme, Nietzsche melihat penghalang utama untuk mencapai hal tersebut; yaitu, Kristen itu sendiri. Meski telah ditinggalkan, Kristen tetap menjadi pengejawantahan yang lazim atas keyakinan transendental. Sementara itu, Humanity has outgrown Christianity, Kemanusiaan telah melampaui Kristen. Kristen, meskipun sebuah pengejawantahan keyakinan transendental, tidak bisa lagi mengurus kehidupan manusia. Oleh karena itu, untuk mencapai ranah transendental baru yang bisa menyelamatkan manusia dari Nihilisme, semua teleologi dan teologi kristen harus disingkirkan.

Di sinilah Nietzsche menggunakan ungkapannya untuk mencapai maksud tersebut: Gott Ist Tott. Bahwasannya Tuhan tidak lagi dapat menjadi sumber moral dan teleologi kemanusiaan. Manusia harus menyelamatkan diri dari ke-”fana”-an, dan memulainya dengan menghancurkan Iman kepada Tuhan sebagai konsep Kristen, untuk mencapai ranah transenden yang baru; dan menjadi Übermensch, seorang manusia paripurna yang telah selamat dari Nihilisme.

Jadi, Gott Ist Tott adalah ungkapan Nietzsche yang digunakan untuk menggambarkan kehidupan masyarakat Eropa yang telah meninggalkan keyakinan transendental dalam memaknai hidupnya. Juga sebagai senjata untuk mencapai Übermensch.

Paragraf lengkap yang menjelaskan pemikiran Nietzsche tentang ungkapan ini dalam bukunya Gay Science sebagai berikut:

Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri? Yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri. Siapakah yang akan menyapukan darah kita? Dengan air apakah kita dapat menyucikan diri kita? Pesta-pesta penebusan apakah, apa perlu permainan-permainan suci yang kita ciptakan? Bukankah kebesaran dari perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi tuhan-tuhan semata-mata supaya layak akan hal itu [pembunuh Tuhan]?

Dalam paragraf di atas, Nietzsche ingin menggugat kaum atheis atas pemikiran dan pandangan hidup mereka: bahwa mereka meninggalkan keyakinan transendental, namun tidak memiliki pemecahan kehidupan yang keluar dari nihilistik.

Jadi, secara singkat, filsafat eksistensialisme Nietzsche adalah bahwa manusia yang saat itu telah keluar dari agama (keyakinan transendental) dan menyandarkan hidupnya pada ideologi-ideologi yang berbasiskan ke-”fana”-an (materi), akan kehilangan makna hidupnya. Oleh karena itu, manusia harus mencari konsep transendental baru di luar agama, dan menjadi manusia purna-Übermensch.

Perkembangan Setelah Nietzsche

Bagaimanakah perkembangan kemanusiaan setelah Nietzsche? Apakah manusia telah berhasil menjadi Übermensch?

Nampaknya angan-angan Nietzsche hanya menjadi utopia saja. Bukan kemanusiaan yang menjadi paripurna dan keluar dari nihilistik, tetapi konflik-konflik berbasiskan kepentingan fana (materi) semakin menjadi-jadi. Dua Perang Dunia berlangsung sebagai bencana kemanusiaan terdahsyat. Kematian akibat kelaparan dan pembantaian politik terjadi di Afrika dan Asia. Krisis-krisis ekonomi terus berulang tanpa solusi.

Selain itu, manusia-manusia yang kehilangan motivasi hidupnya, mereka bunuh diri, baik yang kebutuhan hidupnya sekarat maupun berlebih. Orang-orang menjadi sakit jiwa setelah mengalami konflik dalam hidupnya. Bisa dikatakan: manusia benar-benar terjebak dalam nihilistik.

Filosof eksistensialis abad ke-20 seperti Sartre mengungkapkan pemikirannya yang malah cenderung menerima ke-”fana”-an: bahwa kehidupan manusia itu tidak mengandung arti, bahkan tidak masuk akal. Tetapi, manusia dapat hidup dengan aturan-aturan, keluhuran budi, dan keberanian; dan dia dapat membentuk masyarakat. Ini adalah sebuah pemikiran yang menggunakan Materialisme untuk mengatasi Nihilisme itu sendiri, padahal Nietzsche sebelumnya beranggapan bahwa Materialisme hanya mengantarkan kepada Nihilisme.

Ide-ide Nietzsche masih sering diapresiasi khalayak di abad ke-20 ini. Misalnya, majalah Time dalam salah satu sampulnya “Is God Dead?“. Kemuidan, syair lagu dari The Dandy Warhols yg berbunyi, “Aku menginginkan Tuhan yang tetap mati.. bukan yang pura-pura mati..”

Namun, meskipun begitu, kapankah Übermensch dapat diraih? Sehingga manusia terlepas dari ke-”fana”-an?

Penutup

Nietszche telah menjadi guru besar di Basel pada umur 25 tahun. Sepuluh tahun berikutnya dia diberhentikan karena sakit parah. Kemudian, 10 tahun berikutnya ia habiskan dengan menggelandang keliling Italia dan Perancis. Dan 10 tahun berikutnya, dia mengalami sakit jiwa hingga meninggal dunia.

Terlepas dari akhir hidupnya yang cukup memperihatinkan, perkembangan seorang Nietzsche adalah suatu kewajaran dalam kekonyolan. Bagaimana tidak, ketika perkembangan hidup manusia begitu pesat, mulai dari revolusi Industri yang mengubah tatanan sosio-kultur masyarakat, revolusi Politik yang mengubah tatanan kekuasaan di masyarakat, dan revolusi Ekonomi yang mengubah pengelolaan kebutuhan hidup masyarakat, sehingga memunculkan permasalahan-permasalahan kemanusiaan yang begitu pelik dan kompleks. Dan pada keadaan seperti ini, agama Kristen sebagai suatu ranah ilahiyah – yang divine — yang berasal dari Tuhan yang omnipotent, tidak mampu memberikan solusi atas permasalahan manusia yang mortal dan terbatas?

Maka cukup wajar bagi Nietzsche untuk menyingkirkan “Tuhan” yang tidak berguna seperti itu.

Manusia pada akhirnya beralih kepada ideologi-ideologi hasil pemikiran mortal mereka. Dan dengan ideologi-ideologi tersebut, mereka menjalankan dan memaknai kehidupan mereka dalam ke-”fana”-an, yang akhirnya menjebak mereka dalam konflik-konflik materi yang tidak ada habisnya, yang menggulirkan masalah-masalah baru yang tidak pernah bisa diselesaikan. Meskipun begitu, kehidupan manusia yang telah melepaskan dirinya dari ikatan transendental (ilahiyah) ini telah dianggap sebagai kehidupan yang maju dan modern.

Itulah perkembangan kemanusiaan yang berpusat pada perkembangan masyarakat Eropa.

Lantas bagaimana dengan Umat Islam? Sayangnya, ketika agama Kristen semakin kehilangan supremasinya, umat islam malah semakin menjauh dari agama mereka sendiri. Mereka tidak lagi mencari penyelesaian masalah mereka dari sumber-sumber agama mereka, dikarenakan kebodohan mereka sendiri. Umat Islam pun secara resmi meninggalkan ikatan transendental-nya dengan keruntuhan khilafah.

Sehingga, pada akhirnya terjadilah anggapan umum di masyarakat yg men-generalisasi ketidakberdayaan “Tuhan”. Seringkali kita mendengar bahwa menerapkan syari’at maka kembali ke zaman batu. Padahal, apakah benar demikian adanya?

Kita lihat lagi krisis finansial global tahun 2009. Ketika pemikiran-pemikiran ekonomi manusia tidak mampu menyelesaikan permasalahan mereka sendiri, lalu surat kabar Vatikan L'Osservatore Romano merekomendasikan dunia untuk mengadopsi sistem keuangan Islam. Terlihat dari institusi-institusi keuangan syariah yang tidak terpengaruh oleh krisis tersebut.

Dari fakta tersebut, apakah memang Islam tidak mampu memberikan solusi atas kemanusiaan? APAKAH AJARAN ALLAH DAN RASULNYA SAW. TELAH USANG??

Orang-orang boleh mengatakan Humanity has outgrown Christianity, TAPI JANGAN BAWA-BAWA ISLAM! HUMANITY HAS NOT OUTGROWN ISLAM!! [baca sambil teriak2 orasi.. ^.^ ]

Tidak satupun orientalis yang telah berhasil men-desakralisasi-kan Al-Qur’anKalamullah. Tidak satupun karya-karya manusia yang menyerupai barisan ayat-ayat Al-Qur’an. Maka, BAGAIMANA MUNGKIN KEMANUSIAAN TELAH MELAMPAUI ISLAM?! [orasi lagi.. ^^ ]

Oleh karena itu, di sinilah tugas teman-teman HATI (khususnya, -red.) untuk meluruskan anggapan masyarakat: bahwa salah besar jika agama tidak memiliki ide atas perkembangan kemanusiaan yang modern. ISLAM-LAH YANG AKAN MENYELAMATKAN KEMANUSIAAN! [orasi lagi..]

Orang-orang mungkin akan merasa aneh jika mendengar “Sistem Industri Islam”; “Hah, ada gituh? Macam apa pula itu??,” seperti itu mungkin gumam mereka. Tapi, kita perlu menunjukkan kepada orang-orang bahwa anggapan mereka itu salah besa. Dengan izin Allah, kita akan mengembalikan kemanusiaan dari ideologi-ideologi kufur yang menafikkan ranah transendental, kepada petunjuk dan ajaran dari Allah dan Rasul-Nya Saw.

SELAMAT BERJUANG!

(Sumber: milis HATI ITB)