Minggu, 17 Mei 2015

Selamatkan Indonesia

Kamis, 14 mei 2015, Lapangan Gasibu, Kota Bandung. Tepat di depan simbol kebanggaan warga kota Bandung, Gedung Sate, berkumpul sekitar 25.000 orang membawa bendera berwarna hitam dan putih bertuliskan aksara arab. Konon katanya mereka datang dari seluruh penjuru Jawa Barat, dari Banjar hingga Pelabuhan Ratu. Ada pemuda-pemudi, bapak-bapak dan ibu-ibu, ada yang sudah memakai tongkat, bahkan ada yang duduk di atas kursi roda.

Event ini diselenggarakan oleh sebuah partai yang sering dianggap ormas, sebuah partai yang mengaku partai politik namun tidak (belum) pernah mengikuti pesta politik yang diselenggarakan KPU, partai yang menamai dirinya Partai Pembebasan, Hizbut Tahrir, yang bertujuan membebaskan umat manusia dari kehidupan jahiliyah menuju kehidupan yang Islami.

Dalam kegiatan ini para pembicara dan diiyakan oleh para peserta, menyerukan kepada seluruh umat Islam untuk meninggalkan perikehidupan yang sekuler dan kapitalistik, meninggalkan kehidupan yang tidak Islami dan beralih kepada kehidupan yang Islami. Dengan cara mengamalkan syariah Islam dalam lingkup pribadi, keluarga, masyarakat, dan negara. Atau seringkali dirangkum dengan satu kata: “Khilafah”. Iya, kata kuncinya adalah dengan menegakkan khilafah.

Khilafah adalah terminologi yang sangat khas. Tidak dapat diartikan secara literal saja, sebagaimana yang sering terjadi di masyarakat yang mengartikan “khilafah” adalah “kepemimpinan”. Padahal secara istilah yang syar’i, berdasarkan al Qur’an dan Sunnah, khilafah adalah kepemimpinan umum di tengah-tengah umat Islam, yang menjadikan syariah Islam sebagai landasannya, dan mengemban Islam ke seluruh penjuru dunia dengan metode dakwah dan jihad.

"Berarti kalian mau mengubah negara Indonesia? NKRI sudah final! NKRI harga mati!"

Iya, memang betul Indonesia akan diubah sampai ke akar-akarnya. Diubah menjadi lebih baik dan lebih jelas. Tidak seperti saat ini ketika negara ini ingin mengakomodir semua pendapat, maka jadilah negara ini negara yang kadang-kadang. Kadang-kadang sangat relijius, kadang-kadang sangat jahiliyah. Rame-rame masalah prostitusi, secara moral masyarakat menentang, namun tidak ada payung hukum yang secara tegas melarang prostitusi atas dasar suka sama suka. Itu satu contoh sederhana betapa membingungkannya visi negara ini. Maka dari itu harus ada perubahan yang radikal, hingga ke landasan yang paling dasar.

"Tapi kan masih banyak masalah-masalah yang lebih urgen untuk diselesaikan daripada ngurusin dasar negara? Masih banyak kemiskinan, kebodohan, pengangguran, kenakalan remaja, dan sebagainya..."

Iya, memang betul banyak masalah yang lebih dekat kepada kita dibandingkan masalah visi negara yang masyarakat awam mungkin tidak pernah kepikiran tentang hal itu. Saya cuma mau bilang, teruskan perjuangan kawan-kawan yang mau serius menyelesaikan masalah-masalah itu, insyaAllah akan ada balasan yang menarik dari Sang Pemilik Alam Semesta atas kebaikan dan pengorbanan kawan-kawan semua. Namun, jangan sampai lupa, bahwa sejatinya masalah kemiskinan, kebodohan, pengangguran, dan kenakalan remaja itu adalah tugas negara. Kita tetap harus mengusahakan fungsi negara tetap ada. Masalah kemiskinan, kebodohan, dsb hanyalah masalah ekses, masalah turunan yang lahir akibat salah urusnya negara ini. Ibarat analogi bendungan. Ketika sebuah bendungan jebol dan membuat airnya tumpah hingga membanjiri pemukiman penduduk, maka tiap orang pasti akan mengambil tindakan menyelamatkan rumahnya sendiri. Ada yang menutup pintu agar air tidak masuk ke dalam rumah, ada yang menguras air agar keluar dari dalam rumah, ada yang mengungsi, dan lain sebagainya. Namun semua tindakan solutif tersebut tidak akan membuat masalah selesai sebelum akar masalahnya diselesaikan: yaitu jebolnya bendungan. Maka harus ada orang yang berinisiatif untuk mengajak warga yang lain untuk bersama-sama membetulkan bendungan tersebut. Mencegahnya jebol lebih besar lagi. Memperbaikinya agar dapat digunakan seperti sediakala.

Begitulah seharusnya kita bekerja, beraktivitas, beramal. Selesaikan masalah. Jadilah problem solver. Baik itu yang ada di dekat kita, maupun yang berupa akar masalahnya. Mengutip jargon para aktivis lingkungan: think globally, act locally.

"Tapi, apakah dengan menerapkan syariah Islam, kesatuan umat, dan penegakan dakwah dan jihad, masyarakat akan hidup sejahtera?"

Bisa saya bilang, untuk menjadi sejahtera, kita tidak perlu Islam. Bahkan ekstrimnya, kita tidak butuh agama hanya untuk sekadar sejahtera secara ekonomi. Atau bisa dibilang, agama hanya menjadi pelengkap, hanya menjadi “candu” jika kita menginginkan sejahtera, sebagaimana yang pernah diajarkan bapak sosialisme, Karl Marx.

Maka alangkah pentingnya bagi kita untuk merenungkan tujuan hidup ini. Syekh Taqiyuddin An Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, meringkas perenungan ini dalam 3 pertanyaan yang disebutnya Al Uqdatul Kubra, Simpul-simpul Besar. Yang manakala kita bisa memecahkan jawaban dari simpul-simpul tersebut, maka kita akan menemukan suatu jalan yang lapang dalam menjalani hidup, kita akan memperoleh prinsip-prinsip hidup yang akan menuntun kita melalui kehidupan di dunia. 3 pertanyaan tersebut adalah: 1) Darimana kita sebelum kehidupan ini?; 2) Akan kemana setelah kehidupan ini?; 3) Apa yang harus kita lakukan di dalam kehidupan ini?

Bilamana kita telah tuntas menjawab ketiga pertanyaan ini, bagi muslim pasti akan sadar bahwa kehidupannya di dunia tidak sekadar untuk meraih kesejahteraan secara duniawi saja, namun juga sejahtera di akhirat, dalam artian meraih karunia surga yang penuh keindahan dan dialiri oleh sungai-sungai khamr, madu, dan susu. Yang mana karunia ini tidak akan mungkin tercapai jika kita mengabaikan perintah dan larangan Alla azza wa jalla. Oleh karena itu inilah yang harus menjadi visi hidupan bagi seorang muslim. Hidup mulia di dunia, lebih-lebih di akhirat.

Sementara fakta yang kita amati saat ini, negeri yang kita tinggali saat ini tidak mengizinkan kita untuk mengamalkan seluruh perintah dan larangan Allah azza wa jalla. Masih sangat mudah kita temukan pergaulan bebas, perzinaan, minuman keras yang dilegalisasi, belum lagi perekonomian ribawi yang jadi tonggak pembangunan negara ini, membuat kita terus-terusan menginvestasikan dosa bahkan hingga ke anak cucu kita nanti. Bagaimana mungkin ridha Allah akan turun pada negeri ini? Maka fakta ini harusnya menjadi pendorong kita untuk menyelesaikan permasalahan mendasar negeri ini, dunia dan akhirat.

Lantas apakah dengan menerapkan Islam Indonesia akan sejahtera di dunia? Saya hanya bisa bilang insyaAllah akan sejahtera. Bukti berupa sejarah ketika kekhilafahan Islam menjadi negara adidaya di abad 7-14 masehi cukup menjelaskan hal itu. Bahkan kekuasaannya meliputi dua pertiga belahan dunia, dan menguasai pusat perdagangan dunia pada saat itu, Konstantinopel. Ini bukan terjadi secara tidak rasional. Dunia Islam bisa berjaya dan sejahtera itu karena Islam sudah dibekali dengan seperangkat sistem kehidupan yang khas dan kokoh untuk menopang kesejahteraan rakyatnya. Saat ini terbukti dengan diadopsinya sistem ekonomi syariah bahkan hingga ke Eropa, karena kekebalannya terhadap krisis moneter. Itu baru penerapan satu sistem saja. Belum lagi jika kita menerapkan sistem peradilan, sosial, pendidikan, pertahanan, dan lain sebagainya. Namun seandainya saja fakta sejarah itu tidak ada, keimanan pada Allah seharusnya sudah cukup kita untuk mengusahakan penerapan syariah Islam dalam bingkai negara. Sebab janji Allah sudah pasti, janji bukan sembarang janji, janji dari penggenggam jiwa-jiwa manusia, janji dari pengatur alam semesta raya ini.

Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Pastilah kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat kami itu, Maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. Al A’raf: 96)

1 komentar:

be responsible with your comment....