Jumat, 15 Mei 2015

Nyaman versus Paham

Seringkali mungkin kita mendengar  orang yang mengeluhkan suatu buku. Dia mengatakan bahwa buku tersebut tidak enak untuk dibaca. Bahasa membingungkan. Atau mungkin bukunya terlalu serius. Atau mungkin bukunya isinya tulisan semua. Sehingga membosankan untuk dibaca. Atau mungkin ada juga yang mengomentari sebuah presentasi, seminar, kuliah, atau ceramah yang katanya membosankan. Karena cara penyampaian dari sang pembicara yang kurang menarik.

Saya akui, saya bukanlah orang seperti itu. Saya cenderung untuk tidak menilai sebuah buku, presentasi, ataupun film. Saya berpikir, bahwa tidak ada buku yang buruk, dalam artian semua buku pasti membawa ide (ide yang benar ataupun salah) dari si penulisnya. Dan kegagalan pembaca menangkap ide dari penulis, bukanlah salah dari si penulis, namun kesalahan dari pembaca sendiri. Bisa jadi si pembaca kurang serius dalam membaca sehingga ide yang disampaikan tidak dapat diserap.

Saya juga berpandangan, gaya kepenulisan ada dua macam. Ada penulis yang berorientasi ingin menyampaikan idenya secara sistematis dan mendalam, dan ada penulis yang ingin menyampaikan idenya secara implisit dan perlahan kepada pembaca dengan memberikan rasa nyaman. Begitu pula dengan orientasi pembaca. Ada pembaca yang sengaja membaca buku karena ingin memahami suatu ilmu atau ide, entah gaya bahasanya membuat jenuh pembacanya atau tidak. Ini biasanya hadir dalam dunia akademik. Dan ada pula pembaca yang sengaja membaca buku karena ingin relaksasi, refreshing, rekreasi, melepaskan kepenatannya, sehingga tidak terlalu peduli dengan ide apa yang dibawa oleh penulis, yang terpenting adalah hadirnya rasa nyaman.

Dua jenis ini sebenarnya sama-sama baik, selama ide yang ingin disampaikan dapat ditangkap oleh sang pembaca. Namun ada penulis yang mampu menggabungkan kedua gaya kepenulisan tersebut. Itulah penulis yang terbaik. Ia ibarat koki yang mempu membuat makanan bergizi, namun awalnya tidak enak untuk dinikmati menjadi suatu makanan yang lezat dan juga bergizi. Ilmu yang dimiliki oleh penulis sejenis itu adalah ilmu retorika. Atau dalam ilmu sastra Arab disebut ilmu balaghah, yang konon katanya ilmu tertinggi dalam sastra Arab. Ilmu inilah yang mampu membuat pembaca atau pendengar merasa betah dan nyaman menikmati penjelasan dan penjabaran suatu ide hingga ke sisi yang paling detilnya. Membuat pembaca mau membaca sebuah buku dari daftar isi hingga daftar pustakanya. Ilmu retorika pula yang membuat pembaca dapat dengan mudah memahami isi suatu buku namun tidak mengurangi rasa nyamannya dalam melahap habis isi buku tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

be responsible with your comment....