Selasa, 15 Maret 2011

Sudah Siapkah Konsekuensinya?


Pohon itu memiliki batang yang meliuk-likuk. Saya pandangi bunga-bunganya yang jatuh (saya menyebutnya jatuh sebab bunga itu terlalu berat sehingga tidak bisa dikatakan melayang). Ada yang jatuh di atas ijuk gubuk yang menaungi saya; di atas gundukan tanah; adapula yang terbawa alunan kali kecil berwana kehijauan.

Bunga itu berwarna kuning di intinya dan putih pada pertengahan ujung kelopaknya. Bunga yang sering diselipkan muda-mudi di pura, bunga yang menjadi perlambang kematian.

Pekuburan ini memberikan suasana yang nyaman, tidak seperti lapangan yang saya tinggalkan begitu saja. Lapangan yang biasa dijadikan sebagai tempat bermain sepak bola setiap sore atau sebagai arena ketangkasan ketika rombongan sirkus datang memasang komedi putar, atraksi motor-motor pada papan kayu; atau pun bazaar pakaian dan makanan di lain waktu.

Lapangan, tempat ke 9 teman saya diharuskan berdiri tegak selama beberapa jam untuk mendengarkan pidato yang saya yakin itu-itu juga. Dari kejauhan suara speaker sampai di teliga saya. Upacara dimulai. Penaikan bendera di hari kemerdekaan Indonesia dilangsungkan.

Sementara teman-teman saya dan penduduk dipanggang terik matahari (padahal baru jam 08.00 pagi), saya enak saja tidur-tiduran, membaui wangi bunga kemboja di tempat orang-orang lain sering kesurupan.

Saya memang seperti ini, sewaktu SMA saya lebih memilih melompati pagar seperti maling dan mencari tempat yang aman untuk meminum kopi, bermain judi (sekarang saya anti judi lho) ketimbang mengikuti upacara bendera yang membuat lengan saya pegal karena hormat terlalu lama.

Saya malas untuk melihat ke arah tiang bendera yang dapat membuat keringat saya keluar deras sebab arah pancangnya berada di timur, searah dengan terbitnya matahari pagi.

Ingatan itu, selalu membuat saya tergelitik. Apa yang saya lakukan di masa-masa puber –karena sering mangkir upacara bendera—dianggap oleh seorang teman KKN lain desa, sebagai tindakan yang tidak nasionalis. Ketika dia memberikan diorama rentetan peluru seliweran; pemuda-pemudi yang bertelanjang kaki membawa senapan dan bambu runcing; para pejuang yang mengorbankan kambing piaraan dan lelehan darah untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, maka saya tidak mungkin menyangkalnya.

Bagaimana bisa membantah seorang teman --yang saya ketahui, hampir dalam setiap upacara bendera selalu dijadikan komandan upacara?! (sebab dia anggota pasukan pengibar bendera semenjak SD hingga SMA). Lagipula, pada faktanya saya memang tidak nasionalis.

Jangan dahulu membenci, jangan dahulu menjatuhkan vonis terhadap apa yang saya lakukan. Sebelum kalian bertanya “Apakah saya tidak memiliki alasan apapun untuk mengikuti upacara bendera selain malas?”. Baiklah, mari sini berkumpul. Mari anggap, di sekeliling kita ini bukan beton kamar tapi perkebunan kurma.

Nah, saya akan berperan seperti halnya Mush’ab bin Umair ketika membawa missi propaganda dari baginda Rasulullah Muhammad saw. “Apabila engkau anggap, hal yang saya utarakan di depan adalah baik untuk kesehatan pikiran maka silahkan terima; dan jika tidak baik, maka engkau boleh meninggalkannya”.

“…”

Masih mau mendengarkan? Masih ber-syak wa sangka? Tidak?! O…kalau begitu terima kasih. Mari saya utarakan, apa sebab saya bertindak-tanduk tidur di kuburan, ketimbang mengikuti upacara bendera di hari kemerdekaan yang gempita. Untuk jelasnya saya akan utarakan mengenai definisi Nasionalisme.

Harap dimaklumi jika penjelasan saya ini sedikit membosankan karena membutuhkan konsentrasi yang tinggi.

Mulai!.

Pada mula rupanya (nasionalisme) diawali dari keruntuhan imperium Romawi. Semula, dinyatakan Ensiklopedi Pustaka Time Life, berjudul Kelahiran Eropa, Romawi merupakan kesatuan utuh yang tidak terbagi. Namun dalam perjalanannya, imperium tersebut senantiasa direpotkan oleh serangan-serangan bangsa “Barbar” dari Jerman (suku bangsa Visigoth, Ostrogoth, Vandal, Goth).

Bangsa-bangsa Barbar yang para lelakinya gemar menggunakan mentega di rambutnya --agar keliatan ganteng--; bangsa barbar yang wanitanya memiliki mata biru dan berambut pirang itu, melakukan serangan gencar dengan formasi acak tak takut mati (baji) ke arah imperium Romawi bagian Barat.

Karena Romawi Barat merasakan desakan bangsa barbar semakin menguat dan membahayakan, maka Konstantinus sang kaisar membuat manuver politik: membagi Romawi menjadi dua, Romawi Barat dan Timur demi membagi kekuatan militer untuk mejaga kesatuan wilayah.

Sayangnya, pembagian itu tidaklah menguatkan kembali. Tetapi malah, menimbulkan dampak merugikan untuk imperium Romawi.

Kekaisaran Romawi bagian Barat melemah!. Terobosan militer bangsa-bangsa Jerman, yang memang memiliki kegemaran berperang, akhirnya menimbulkan dampak kekisruhan yang membawa dampak keruntuhan. Romawi secara keseluruhan hancur, tetapi wilayah timurnya perlahan-lahan mengasingkan diri dan membuat peradaban baru yang dikenal dengan peradaban Byzantium dengan ibukota Konstantinopel selama lebih dari seribu tahun ke depan.

Usai menghancurkan Romawi, suku bangsa Jerman merubah geopolitik di bekas kekuasaan Romawi Barat. Peta imperium Romawi digantikan dengan peta-peta baru yang pemisahan wilayahnya (teritorial) didasarkan pada asal bangsa, kesamaan bahasa yang melakukan ekspansi.

Pemetaan inilah yang memunculkan Eropa baru, Eropa yang semula dalam bentuk imperium besar menjadi bentuk-bentuk negara suku bangsa (nation state).

Setiap konsep yang ada di dunia ini pasti memiliki alur sejarah yang memiliki tonggaknya sendiri. Mengenai nasionalisme, bisa jadi telah muncul sebelum keruntuhan imperium Romawi. Akan tetapi, tonggak kemunculan-nya adalah ketika Romawi Barat dikuasai suku-bangsa Jerman hingga dianggap sebagai awal kemunculan nasionalisme.

Apa kaitan sejarah nasionalisme dengan saya yang tidak nasionalis?! Untuk mempermudah pembahasan yang nantinya akan saya lantaikan (floor-kan, maksudnya) saya harus mengorek-ngorek fakta pada zaman yang sama ketika Kekhilafahan (negara Islam) muncul di jazirah Arabia, bersanding dengan kemunculan negara nasionalis di bekas imperium Romawi Barat.

Pada saat Eropa dipeta-petakan ke dalam negara-negara suku-bangsa, masyarakat negara Islam yang dipimpin oleh Rasulullah terdiri dari beraneka ragam keyakinan, ras dan bangsa. Masyarakat dalam negara Islam tidak dibedakan berdasarkan suku bangsanya, tidak dibedakan berdasarkan bahasanya.

Selama berada di dalam kekuasaan negara Islam, maka mereka adalah masyarakat negara Islam.

Menjelang Rasulullah wafat, kekuasaan kekhilafahan Islam menyebar menuju reruntuhan Romawi. Di masa Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali hingga sampai pada penaklukan sekaligus penyatuan wilayah konstantinopel (negara Byzantium) melalui serangan Muhammad Al-Fatih pada tahun 1453.

Tak peduli penduduknya berbahasa apa, dan bersuku bangsa apa, pokoknya disatukan dalam Kekhilafahan.

Dari sini saya mengambil kesimpulan bahwa negara Islam bahkan konsep Islam tidak mengenal paham negara kebangsaan (nasionalisme). Masuknya nasionalisme ke dalam dunia Islam berawal ketika pusat Kekhilafahan di Turki --yang memang sudah lemah untuk mengontrol wilayahnya,-- mengalami kegoncangan yang –salah satu di antaranya-- diakibatkan oleh gerakan Turki Mudanya Kemal Pasha yang nantinya dikenal dengan nama Attaturk.

Kemal Pasha mengawali revolusinya dengan memberi baju kebangsaan dan mengakhirinya dengan melenyapkan Kekhilafahan. Dan pada tanggal 3 Maret 1924 hancurlah sistem pemerintahan Islam yang sudah berdiri merentang selama lebih dari 13 abad , setelah Kemal Pasha mengeluarkan maklumat Komite Nasional. yang berisi : penghapusan Kekhilafahan, mengusir Khalifah dan menetapkan pemisahan agama dari negara (2000:313).

Sejak keruntuhan Kekhilafahan, satu-persatu negeri-negeri Islam membebaskan diri dari cengkraman penjajahan dengan mengatasnamakan kekuatan bangsa. Siria, Iraq, Libanon, Palestina, Mesir, Indonesia, Arab yang semula berada dalam wilayah Kekhilafahan, memerdekakan diri dan memproklamirkan diri sebagai negara bangsa.

Negeri-negeri Islam yang semula satu kini menjadi terpecah menjadi puluhan negara bangsa. Jadi, menurut pemahaman saya, nasionalisme itu tidak ada di dalam pemahaman Islam, sebab berdasarkan telusur sejarah memang negara Islam (Kekhilafahan tidak mengenal negara bangsa).

“Interupsi!”

“Silahkan”

“Bukankah di dalam Al Quran terdapat ayat yang menceritakan kita diciptakan bersuku-suku bangsa?!”.

Ya, tetapi apakah ayat itu menitahkan manusia untuk membentuk suatu negara bangsa? Tidak kan?! Ayat tersebut hanya mengutarakan fakta bahwa manusia berasal dari beragam suku bangsa. Dan keanekaragamaan tersebut merupakan keindahan agar manusia saling memahami dan mengerti arti keindahan Allah yang dituangkan dalam keanekaragaman penciptaan suku bangsa.”

“Ya… bagaimana ya…? Tapi kan ada istilah yang mengatakan hubbul wathan minal Iman? bahwa mencintai tanah air merupakan sebagian dari iman? Bukankah Rasulullah mencintai tanah airnya?”.

Rasulullah Muhammad memang mecintai tanah airnya. Bahkan, dalam hijrah menuju Madinah beliau merasa berat untuk meninggalkan kota kelahirannya: Mekah. Tetapi apa yang dilakukan Rasulullah tidak bisa dijadikan justifikasi diadopsinya negara yang didasarkan pada paham kebangsaan dalam konsep kenegaraan Islam.

Semua manusia berhak menyatakan kecintaannya pada tanah air, semua berhak menyatakan dirinya berasal dari suku bangsa tertentu. Saya berhak mengatakan abdi teh urang Sunda (saya orang Sunda), Tulang dari Batak, sampeyan dari Jawa Timur, kaban dari Palembang.

Kita berhak mengakui asal bangsa dan dan mencintainya. Akan tetapi, ketika paham kesuku-bangsaan tersebut dijadikan pengikat antar manusia dalam sebuah negara, maka yang akan terjadi adalah chauvinistic terselubung yang secara gamblang di pertontonkan oleh negara fasis Jerman, Italia, dan Jepang pada perang Dunia ke-II.

Lagipula, jika kita melihat fakta saat ini, ternyata nasionalisme kontraproduktif dengan kekuatan umat Islam. Nasionalisme dalam dunia Islam membuat satu muslim dengan muslim lain --yang memiliki kebangsaan berbeda—bisa saling berseteru. Bukankah pertikaian antara Indonesia dan Malaysia pada tahun 1960-an terjadi karena Nasionalisme yang juga dipicu oleh anggapan bahwa Malaysia merupakan antek imperialis, negara boneka Inggris dan Amerika?!

Nasionalisme merupakan biang keladi atas matinya empati penderitaan kaum muslimin di berbagai belahan dunia. Hanya karena kita berbeda teritori, apa yang terjadi di Palestina dianggap sebagai permasalahan luar negeri Indonesia. Meski ada simpati, tetapi simpati itu hanya berupa kecaman belaka, tidak sampai pada tindak nyata.

Orang Islam dalam negara nasionalisme disuruh memikirkan diri sendiri, bangsa sendiri, bukan penderitaan yang terjadi dan dialami oleh darah dagingnya sendiri!

Betapa sakitnya jika dunia terbalik kemudian kita berada di Palestina kemudian mendengar bahwa saudara kita sendiri yang ada di Indonesia mengatakan “ah, itu urusan Timur Tengah, bukan urusan dalam negeri kita”. Betapa sakithatinya bukan?! Padahal, sewaktu kesatuan kaum muslimin dalam Kekhilafahan ada sebuah contoh yang mengagumkan mengenai solidaritas umatnya Muhammad.

Di masa Mu’tashim Billah menjabat sebagai Khalifah, ada seorang muslimah yang dizalimi. Ia ditarik kerudung dan diperkosa kehormatannya oleh penduduk Amuriyah. Diceritakan, setelah mendengar kabar pelecehan itu Khalifah segera mengirimkan surat pada raja Amuriyah.

Bahwa. ia akan mengirimkan pasukan yang kepalanya ada di Amuriyah dan ekornya ada di Baghdad. Ancaman itu dibuktikan, sementara kepala pasukannya sudah sampai di Amuriyah, iring iringan pasukan lainnya masih berada di Baghdad. Muslimah yang dizalimi dibebaskan. Amuriyah segera ditundukkan oleh Kekhilafahan Islam.

Hanya untuk menjaga kehormatan satu orang muslimah saja Khalifah sampai mengomandoi penyerangan besar. Lantas, apa yang dilakukan berpuluh-puluh pemimpin negeri Islam? Apa yang dilakukan pemimpin Arab Saudi? Apa yang dilakukan pemimpin Yordania? Apa yang dilakukan pemimpin Brunei Darussalam? Apa yang dilakukan pemimpin Indonesia? Apa yang dilakukan pemimpin Malaysia? Apa yang dilakukan pemimpin Mesir dan lain sebagainya ketika galonan juta darah kaum muslimin ditumpahkan di seluruh penjuru dunia?

Di Uzbekistan, saat aktivis Islam ditangkap dan diperlakukan tidak manusiawi; di Chechnya ketika pembantaian dilakukan oleh Slobodan Milosevik; di Palestina ketika Ariel Sharon membombardir Shabra dan Shatilla hingga penembakan Muhammad Aldurra; pembunuhan ratusan santri pesantren di Poso; Pelecehan kaum muslimin di Amerika Serikat, Australia, Inggris sejak tragedi World Trade Center terjadi, pemimpin mana yang bersikap seperti Mutasim Billah???

Jutaan pembantaian tidak membuat satu pemimpin negeri Muslim pun berani mengangkat senjata (kecuali sebagian kecil kaum muslimin yang tergabung dalam komunitas-komunitas politik kaum muslim --yang pada kenyataannya justru dimusuhi oleh pemerintahan nasional negerinya sendiri).

Jika kaum muslim mengambil pemahaman nasionalisme sebagai ikatan, maka kerugianlah yang akan terus terjadi. Contoh yang jelas nampak adalah keharusan seorang muslim untuk membayar passport dan visa Saudi Arabia untuk mengunjungi dan melakukan tawaf (beribadah) di tanah haram: Mekah.

Padahal, di masa Kekhilafahan Islam berdiri seluruh kaum muslimin berhak keluar-masuk wilayah Islam manapun termasuk untuk beribadah menuju Mekah (tanpa mengeluarkan sepeser uangpun untuk karcis masuk ke dalamnya).

“Tapi kan, nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme yang bermartabat?”

Jika ada orang yang menganggap bahwa nasionalisme Indonesia adalah nasionalisme bermartabat karena nasionalisme Indonesia tidak merugikan bangsa lain; karena nasionalisme Indonesia memiliki egalitarian dan berprinsip pada kesamaan hak antar bangsa untuk saling menghormati, maka hal itu adalah sebuah upaya pemelintiran!

Sebab, paham nasionalisme merugikan umat manusia dalam masalah distribusi kekayaan.

Dalam kebaikannya sekalipun, nasionalisme tidak memberikan pemerataan distribusi kekayaan untuk umat manusia. Dalam kemartabatannya pun, tidak ada satupun negara bangsa mau melakukan pemerataan sumber daya alam. Negara miskin seperti Ethiophia, Zimbabwe, Rwanda, tetaplah miskin dalam kesendiriannya.

Sedangkan penduduk Brunei Darussalam, Malaysia, tetap kaya dengan kekayaan alamnya.

Dimana letak nasionalisme yang bermartabat seandainya pertolongan negara-negara yang memiliki kekayaan besar hanya berkisar pada penyaluran sedikit bahan pangan bukannya pembagian distribusi kekayaan alam yang merata?

Padahal, tidak ada manusia yang memilih dilahirkan dalam sebuah teritori yang memiliki sumber daya alam yang miskin atau kaya. Bagi saya, nasionalisme bukanlah ide yang fair bagi umat manusia.

“…”

Bagaimana? apakah penjelasan saya cukup mumpuni dijadikan sebagai landasan untuk mengatakan saya tidak ikut upacara bendera karena malas? Tidak kan?! Bahkan lebih dari itu, kini kalian mengetahui landasan pemikiran yang akhirnya menjadikan saya tidak mengikuti upacara 17 Agustusan di lapangan desa.

Bahwa saya tidak mau menghormati bendera, sebab saya tidak mau menghormati sesuatu selain Allah dan yang Allah perintahkan untuk menghormatinya (semisal orang tua).

Beginilah saya.

Nah, sekarang adakah kalian mendapatkan kecerahan seperti halnya Saad bin Muadz ketika mendapatkan pencerahan dari Mushab bin Umair ketika berada di kebun kurma?.

“..”

Ah, saya tidak begitu mau memikirkannya, toh definisi pencerahan pun berbeda di tiap kepala. Saya mengatakan apa yang saya utarakan sebagai pencerahan, sementara –bisa jadi—kalian mengatakan apa yang saya utarakan bukanlah pencerahan. Silahkan memilih, toh manusia dikarunia kemampuan untuk memilih oleh Allah (tentu diembel-embeli oleh konsekuensinya).


Apakah kalian sudah siap dengan konsekuensi atas pilihan kalian? Kalau saya?. … Demi Allah, saya siap!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

be responsible with your comment....