Rabu, 26 Januari 2011

Jalan Menuju Allah


Apabila kita melihat kepada segala sesuatu yang bersifat terbatas, akan kita simpulkan bahwa semuanya tidak azali. Jika bersifat azali (tidak berawal dan tidak berakhir), tentu tidak mempunyai keterbatasan. Dengan demikian segala yang terbatas pasti diciptakan oleh “sesuatu yang lain”.

Kita telah membuktikan bahwa keberadaan Tuhan itu ialah suatu kepastian. Nah, sekarang, siapakah Sang Pencipta yang tak terbatas tersebut? Bagaimana wujudnya? Apa yang membuatnya ridha dan apa yang membuatnya murka?

Kendati wajib atas manusia menggunakan akalnya dalam mencapai iman kepada Tuhan, namun tidak mungkin ia menjangkau apa yang di luar batas kemampuan indera dan akalnya. Sebab akal manusia terbatas. Terbatas pula kekuatannya sekalipun meningkat dan bertambah sampai batas yang tidak dapat dilampauinya, terbatas pula jangkauannya.

Melihat kenyataan ini, maka perlu diingat bahwa akal tidak mampu memahami zat Tuhan dan hakekat-Nya. Sebab, Tuhan berada di luar alam semesta, manusia, dan kehidupan. Sedangkan akal manusia tidak mampu memahami apa yang ada di luar jangkauannya (alam semesta, manusia, dan kehidupan).

Tetapi bukan berarti dapat dikatakan “bagaimana mungkin orang dapat beriman kepada Tuhan sedang akalnya sendiri tidak mampu memahami zat Tuhan?” Tentu kita tidak mengatakan demikian, karena pada hakekatnya iman itu ialah percaya pada keberadaan Tuhan.

Sedangkan keberadaan-Nya dapat diketahui melalui ciptaan-ciptaan-Nya, yaitu alam semesta, manusia, dan kehidupan. 3 unsur ini berada dalam batas jangkauan akal. Usaha manusia untuk memahami hakekat Tuhan merupakan perkara yang mustahil untuk dicapai.

Sebab, zat Tuhan berada di luar unsur alam semesta, manusia, dan kehidupan. Dengan kata lain berada di luar jangkauan kemampuan akal. Akal tidak mungkin memahami hakekat yang ada di luar batas kemampuannya, karena perannya amat terbatas.

Memang benar, iman kepada adanya Pencipta Yang Maha Pengatur merupakan hal yang fitri pada setiap manusia. Hanya saja, iman yang fitri ini muncul dari perasaan yang berasal dari hati nurani belaka. Cara seperti ini bila dibiarkan begitu saja, tanpa dikaitkan dengan akal, sangtalah riskan akibatnya serta tidak dapat dipertahankan lama.

Dalam kenyataannya, perasaan tersebut sering menambah-nambah apa yang diimani, dengan sesuatu yang tidak ada hakikatnya. Bahkan ada yang mengkhayalkannya dengan sifat-sifat tertentu yang dianggap lumrah terhadap apa yang diimaninya.

Tanpa sadar, cara tersebut justru menjerumuskannya ke arah peribadatan-peribadatan yang tidak jelas asal-usul argumennya dan tidak logis karena tidak bisa dibuktikan kebenarannya. Entah dengan menyembah benda-benda tertentu, berkeyakinan ini, itu. Mengkhayalkan wujud Tuhan, dan sebagainya.

Oleh karena itu dibutuhkan suatu instrumen yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas tadi. Karena akal kita terbatas, dan Tuhan tidak terbatas, maka jawaban pertanyaan tadi hanya dapat dijawab oleh Tuhan. Sehingga kita hanya bersandar pada jawaban Tuhan.

Kita mengetahui, di kalangan umat bergama ada istilah ‘wahyu’ yang sering diartikan sebagai kabar dari Tuhan. Berhubung acuan wahyu untuk tiap agam berbeda-beda, kita coba cek ke salah satu agama, yaitu Islam (jika membahas ke seluruh agama akan terlalu panjang).

Dalam agama Islam, sumber wahyu yang diyakini ialah al Qur’an. Al Qur’an diyakini oleh orang yang beragama Islam ialah kumpulan wahyu Tuhan yang tetap terjaga dan belum pernah mengalami perubahan sejak pertama kali diturunkan pada Nabi Muhammad.

Sekarang, mari kita buktikan apakah al Qur’an betul-betul wahyu Tuhan. Ada 3 pilihan yang mungkin sebagai sumber al Qur’an. 1) Dari Tuhan, sebagaimana disampaikan oleh Nabi Muhammad; 2) Nabi Muhammad sendiri; 3) Orang arab selain Nabi Muhammad, berhubung al Qur’an yang kita temukan adalah berbahasa arab sejak awalnya.

Nah, kemungkinan nomor 3, dibuktikan salah karena banyak orang arab yang hidup di masa Nabi muhammad tidak mampu membuat hal yang serupa dengan al Qur’an. Kemungkinan nomor 2, juga salah karena nabi Muhammad mengaku tidak membuatnya. Jika dilihat juga gaya bahasa nabi Muhammad dalam ribuan hadis, tidak satupun yang mirip dengan gaya bahasa al Qur’an.

Nah, kemungkinan nomor 1 dibuktikan benar karena kemungkinan 2 dan 3 salah, dan ditambah lagi beberapa pembuktian-pembuktian (ilmiah) yang tidak bisa dibuktikan pada zaman nabi Muhammad, dan baru bisa dibuktikan pada zaman modern. Menunujukkan bahwa isi al Qur’an memang berasal dari suatu zat Maha Tahu dan Maha Kuasa.

Sebagai konsekuensi fitrah kita yang mencari Tuhan, maka setelah membuktikan bahwa al Qur’an adalah jawaban tuhan dari pertanyaan kita, maka kita harus memnuhi segala isi al Qur’an untuk meraih ridha dan menghindarkan dari murka Tuhan kita, Allah azza wa jalla.


Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa

(QS. Al Ikhlash ayat 1)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

be responsible with your comment....