Belum genap sepekan umur 2015, Paris berubah
menjadi mencekam setelah 2 orang tak dikenal menyerang kantor majalah satir Charlie Hebdo. Pelaku akhirnya ditembak tewas oleh polisi setempat dalam sebuah aksi pengepungan. Aksi ini
sontak memicu reaksi keras dari masyarakat Paris. Hari ahad 11/1 lebih dari
sejuta orang ke jalanan di kota Paris, menyuarakan solidaritas dan sekaligus
menentang penyerangan terhadap kantor charlie hebdo. Mereka mengusung poster
bertuliskan “Je Suis Charlie”. Tidak mau ketinggalan, tokoh dan pemimpin negara
ikut ambil bagian dalam aksi solidaritas itu.
Jika kita mau mengamati secara objektif,
tragedi ini tidak boleh dipandang sebagai peristiwa yang berdiri sendiri. Diduga
serangan ini dilatarbelakangi aksi provokasi berupa penistaan Islam dan Nabi
Muhammad oleh majalah Charlie Hebdo. Sebagaimana diketahui sejak 2007 Charlie Hebdo rutin merilis karikatur penistaan yang memojokkan nabi muhammad dan
Islam.
Penolakan dan penentangan terhadap aksi
penistaan Charlie Hebdo tidak sekali dua kali dilakukan. Namun aksi penolakan
tersebut bukannya digubris oleh pihak majalah Charlie Hebdo, malah justru
mendapatkan dukungan politis dari presiden perancis. Nicholas Sarkozy pada 2007
mengklaim tindakan charlie hebdo merilis karikatur nabi muhammad sebagai wujud
kebebasan berekspresi yang harus dilindungi oleh negara. Namun anehnya di satu
sisi, wujud protes kaum muslim yang merasa terhina dan terusik dengan karikatur
tersebut sama sekali tidak ditanggapi secara positif dan tidak diakomodasi.
Bukankah ini merupakan sikap yang berat sebelah dan menunjukkan bahwa doktrin
kebebasan berekspresi hanya berlaku bagi kelompok tertentu? Fakta ini pun
semakin menguatkan betapa utopisnya cita-cita dari demokrasi yang katanya dapat
mengakomodir setiap kelompok, karena pada kenyataannya demokrasi hanya menjadi
dalih jika kelompok tertentu teraniaya, sementara sebaliknya jika kelompok yang
berseberangan teraniaya maka demokrasi pun seakan tak pernah ada di muka bumi.
Sebagian beropini, ekses dari tragedi ini bisa
dibilang justru semakin menyulitkan posisi umat Islam. Serangan terhadap kantor
berita Charlie Hebdo jelas tidak bisa menyelesaikan masalah. Serangan itu juga
jelas berdampak negatif bagi orang-orang eropa non-muslim, bisa menjauhkan
mereka dari usaha mengenal Islam. Serangan itu juga mendatangkan dampak negatif
dan kesulitan tersendiri bagi generasi muslim di Eropa. Islamophobia pasca
serangan itu terlihat meningkat di Eropa. Di Perancis dan beberapa negara Eropa
lainnya, serangan dan pelecehan terhadap masjid dan fasilitas Islam lainnya
dikabarkan meningkat. Beberapa masjid yang berada di Perancis menjadi sasaran
penyerangan sejumlah kelompok. Kaum muslimah berjilbab di Belgia merasa takut
keluar rumah. Mereka khawatir mendapat serangan di jalan.
Jika dikaji lebih jauh, lahirnya tragedi
charlie hebdo tidak lepas dari adanya ketidakadilan terhadap kaum minoritas,
dalam hal ini Islam, di Eropa. Berkali-kali umat Islam dihina, namun tidak
sekalipun kebijakan politik setempat, begitu pula pemimpin negeri-negeri
muslim, mendukung mereka. Sehingga muncullah ide untuk melakukan upaya
pembelaan diri. Alih-alih melakukan tindakan yang solutif dan komprehensif,
sekelompok orang malah menggunakan cara-cara kekerasan yang didorong oleh rasa
amarah yang mendalam namun diikuti oleh dampak negatif yang tidak sepele.
Dalam sejarah perjalanan penyebaran Islam
tindakan serupa pun pernah terjadi. Di antaranya kisah Sa’ad bin Abi Waqqash
yang membunuh orang kafir karena mencoba mengganggunya ketika sedang menjalankan
shalat, dan nabi pun mendiamkan. Begitu pula ketika munculnya gerakan nabi
palsu selepas wafatnya Rasulullah SAW. Ketika itu khalifah Abu Bakar Ash
Shiddiq RA mengambil kebijakan untuk memerangi gerakan tersebut hingga
akar-akarnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
be responsible with your comment....