Demokrasi telah menjadi istilah
yang sangat diagungkan dalam sejarah pemikiran manusia tentang tatanan
sosio-politik yang ideal. Bahkan, mungkin untuk pertama kali dalam
sejarah, demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar
untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh
pendukung-pendukungnya yang ‘berpengaruh’. Kedudukan yang sentral dari
demokrasi ini telah meluluhlantakkan teori-teori lainnya mengenai
tatanan kekuasaan baik yang pernah ditawarkan oleh kalangan filsuf, ahli
hukum, dan pakar ilmu politik hingga awal millennium ketiga ini.
Kepercayaan yang kuat atas sempurnanya teori politik demokrasi belum dapat tergoyahkan secara sosiologis, filisosofis, maupun dalam format yuridis ketatanegaraan. Kedudukan sentral ini bahkan semakin menguat diiringi konsep-konsep lain, seperti human rights, civil society, maupun konsep good governance, yang pada akhirnya menegaskan posisi teori demokrasi sebagai konsep terbaik yang pernah dicapai oleh pemikiran manusia.
Demokrasi dipercayai sebagai gagasan universal yang dapat diterima oleh ragam perspektif. Demokrasi telah menjadi obsesi sejumlah masyarakat non-Barat sejak awal abad ke-20. Banyak wilayah jajahan Barat di Asia dan Afrika mulai bergerak untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi di dalam masyarakat. Dengan “senjata” demokrasi yang diperoleh melalui pendidikan Barat, para pemuka masyarakat wilayah jajahan ingin mengembangkan nilai demokrasi yang akan digunakan untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Di (zaman) Hindia Belanda, gejala seperti ini dinamakan Kebangkitan Nasional.
Gambaran ini tidak hanya terjadi dalam sejarah kebangkitan Indonesia. Hampir di seluruh belahan dunia, gerakan demokratisasi kehidupan politik telah menjadi fenomena yang tak terelakkan dalam mengubah persepsi sejarah tentang bagaimana menyelenggarakan kekuasaan secara etis, rasional, dan bertanggung jawab. Jelas bahwa demokrasi mempunyai potensi untuk memberikan yang terbaik bagi manusia, terutama dalam melindungi hak-hak individu dalam menghadapi kekuasaan-kekuasaan yang lebih perkasa, seperti kekuasaan Negara dan pemerintah, misalnya.
Legitimasi dan Kedaulatan
Filsafat politik pada hakikatnya menuntut agar segala klaim (legitimate authority) atas hak untuk menata masyarakat (yang dimiliki oleh pemerintah Negara), dapat dipertanggungjawabkan di hadapan akal dan hati kemanusiaan. Tanpa legtimasi yang rasional dan objektif, suatu pemerintahan Negara tidak akan mungkin berjalan efektif. Dalam hal ini rezim pemerintahan yang memiliki etika politik sudah semestinya berdiri tegak di atas legitimasi yang kokoh. Legitimasi yang kokoh ini tidak hanya bersifat sosiologis – dalam arti mendapat pengakuan masyarakat – dan bersifat yuridis, dalam arti berlaku sebagai hukum positif dalam format yuridis ketatanegaraan tertentu, melainkan lebih dalam lagi: legitim (absah) secara etis-filosofis.
Demokrasi sebagai tatanan politik memiliki sejarah yang amat panjang. Keberadaan ide demokrasi telah berlangsung sejak 508 tahun sebelum masehi dan hingga kini masih diyakini terus akan berevolusi sesuai dengan perkembangan zaman. Survei tentang demokrasi meliputi kawasan di seluruh dunia, model-model demokrasi telah dibukukan serta pola-pola yang memungkinkan berkembangnya demokrasi telah diuraikan, namun teori politik yang dipercayai sebagai etika politik mdern ini masih terus mengalami perkembangan serius dalam penafsiran dan implementasi dari prinsip-prinsip dasarnya.
Pembahasan mengenai demokrasi akan menyentuh apa yang disebut kedaulatan rakyat. Teori kedaulatan rakyat lahir secara kontroversial dalam panggung politik sejarah kekuasaan Negara. Ide dasarnya sangat sederhana, bahwa rakyatlah yang harus menjadi sumber kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara – yang lain, tidak. Rakyat berkuasa independen atas dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ‘rakyat’ dapat berkuasa atas dirinya sendiri dan dapat memerintah sendiri? Dalam suatu zaman yang hanya dilingkupi oleh kekuasaan para penguasa yang menyebut dirinya sebagai raja atau kaisar, pikiran untuk menempatkan rakyat sebagai penguasa tertinggi atau pemegang kedaulatan adalah suatu pikiran yang gila dan mustahil. Namun demikian, gagasan kedaulatan rakyat ini kemudian terus berkembang dalam diskusi teori kenegaraan dan juga praktik trial and error baik di Perancis, Amerika, hingga akhirnya diikuti oleh hampir seluruh Negara di dunia. Arus deras demokrasi sebagai istilah yang menunjukkan kekuasaan rakyat telah merombak struktur monarki, minimal menjadi monarki parlementer atau menjadi hancur sama sekali digantikan dengan sistem Republik Demokrasi.
Timbulnya teori kedaulatan rakyat ini jelas sebagai reaksi atas teori kedaulatan raja yang kebanyakan menghasilkan monopoli dan penyimpangan kekuasaan yang akhirnya menyebabkan tirani dan kesengsaraan bagi rakyat. Ada indikasi kuat bahwa paham kedaulatan rakyat atau ide demokrasi itu telah membawa secara inheren semangat sekularisme dan antroposentrisme. Hal ini disebabkan oleh paradigma baru yang dibawa oleh demokrasi adalah suatu pembangkangan terhadap legitimasi kedaulatan Tuhan yang diatasnamakan oleh raja sebagai pendasaran kekuasaannya, sehingga tak luput untuk dimengerti bahwa sekularisme dan antroposentrisme merupakan ciri yang melekat pada demokrasi, khususnya demokrasi ‘barat’.
Kebebasan Berpartisipasi
Pada awal sejarahnya demokrasi hanya dimengerti lewat model partisipasi politik langsung yang melibatkan seluruh warga yang sudah dewasa dalam suatu proses politik. Proses politik penataan kehidupan bersama ini dikelola secara bersama, dan inilah yang dinamakan oleh Aristoteles sebagai bentuk Negara ideal ‘politeia’, atau yang secara modern disebut oleh Robert A. Dahl sebagai ‘polyarchy’ sebagai ganti dari istilah yang kemudian lebih popular dengan sebutan demokrasi yang meluas. Jadi, ciri utama demokrasi purba itu adalah adanya pengelolaan bersama oleh seluruh warga polis (Negara kota/city state) yang jumlah penduduknya relatif kecil.
Pelibatan hampir seluruh warga polis dalam proses penataan Negara ini belum melahirkan suasana kebebasan dan kesamaan yang menyeluruh bagi seluruh warga Negara Yunani purba pada waktu itu. Hal ini terbukti dengan masih adanya diskriminasi politik yang meminggirkan hak kaum perempuan dan kalangan budak, maupun anak-anak. Perempuan dan budak dianggap tidak memiliki hak dalam partisipasi politik pengelolaan Negara. Mereka tidak memiliki kebebasan yang penuh dan tidak dipandang sama statusnya baik di hadapan hukum maupun ‘pemerintahan bersama’ waktu itu. Naum demikian, nilai kebebasan dan kesamaan (persamaan) hak mengeluarkan pendapat itu dipraktikkan secara relatif baik pada seluruh warga polis yang dewasa, walaupun ada pengecualian bagi perempuan dan budak. Perempuan, budak, dan anak-anak serta orang asing tidak memiliki hak politik di dalam pengelolaan polis tersebut.
Adanya gerakan pembela hak-hak politik kaum perempuan dan adanya gerakan antiperbudakan yang terus bergulir sepanjang sejarah telah mengubah format politik. Format politik partisipatoris yang menjunjung tinggi kebebasan dan kesamaan yang menyeluruh, nondiskriminatif, telah lahir mejadi ciri dari sistem politik modern yang lebih egaliter dan beradab. Inilah yang dinamakan persemaian nilai demokrasi.
Dalam hubungannya dengan sistem politik, kebebasan politik dalam demokrasi berhubungan dengan kekuasaan ekonomi. Demokrasi adalah hasil dari perkembangan pasar bebas yang dijalankan oleh sistem kapitalis. Dengan demikian, kalau mau mendapatkan sistem politik yang demokratis, syarat yang perlu dipenuhi adalah pengembangan lembaga-lembaga ekonomi yang kapitalistis. Munculnya sistem politik yang demokratis tergantung pada taraf perkembangan kapitalismenya. Ketika kapitalisme masih belum kuat, dibutuhkan bantuan Negara untuk “menciptakan” orang-orang yang memiliki modal kuat. Baru setelah kapitalisme menjadi kuat dan mapan, Negara menjadi liberal dan kurang mencampuri kehidupan ekonomi. Kehidupan ekonomi dibiarkan diatur oleh pasar bebas. Negara hanya ikut campur bila terjadi ekses negatif yang bisa mengancam eksistensi kehidupan tersebut. Jadi, bantuan dan intervensi Negara diperlukan untuk membangun demokrasi dari tahap awal, namun setelah itu campur tangan Negara diminimalisir sesedikit mungkin, terutama dalam lapangan ekonomi.
Metodologi Demokrasi
Adapun dinamika Negara dalam bentuk demokrasi terletak pada adanya pertentangan dan pertemuan pendapat dalam masyarakat, sehingga segala keputusan berdasar pada kebenaran yang relatif bukan pada kebenaran yang mutlak. Hal inilah yang menurut pendapat E. H. Carr menunjukkan tidak adanya pegangan/pedoman yang tegas dalam demokrasi, sehingga mengakui adanya paham lain yang mungkin bertentangan dengan paham demokrasi. Bagi para sarjana aliran kebenaran relatif, bentuk demokrasi yang berdasar pada kebenaran absolut akan bersifat statis dan tidak berbeda dengan bentuk Negara monarki. Sedangkan bentuk demokrasi yang berdasar pada kebenaran relatif akan melahirkan demokrasi parlementer yang bersifat dinamis. Aliran kebenaran relatif ini ternyata lebih diterima oleh Negara-negara Eropa Barat.
Dalam mengungkapkan nilai ‘kebenaran’ dari eksistensi demokrasi, dibutuhkan metodologi. Samuel P.Huntington dalam meneliti mengenai transisi menuju sistem demokrasi antara tahun 1974 hingga tahun 1990 sampai pada kesimpulan bahwa definisi yang paling sahih dewasa ini untuk menjelaskan makna demokrasi adalah dalam pengertian yang prosedural. Sementara itu Michael Walzer juga mengatakan bahwa yang memerintah dalam demokrasi adalah orang yang de facto memenangkan persetujuan lebih besar rakyat (suara mayoritas rakyat). Inilah satu-satunya cara memperoleh dan melegitimasikan kekuasaan dalam demokrasi. Terlihat disini, legitimasi sosial-politis adalah dari rakyat terbesar (mayoritas) melalui pemungutan suara (voting) sebagai ukuran yang paling sahih dalam metode demokrasi.
Demokrasi sebagai gagagsan (ide) dan sebagai pelembagaan kekuasaan politik yang paling rasional telah nyata menawarkan suatu metode untuk menyingkirkan keragu-raguan dalam pengambilan keputusan politik. Dalam ide demokrasi, keputusan politik yang pasti hanya dapat diukur lewat prinsip suara terbanyak (majority principle). Metode kuantitatif inilah yang diharapkan dapat menghilangkan keragu-raguan dan ketidakpastian proses politik dan hukum ketatanegaraan dalam kehidupan bernegara. Walaupun demokrasi menawarkan pula nilai-nilai musyawarah, kompromi, dan konsensus (kemufakatan), tetapi hal tersebut tidaklah menjadi hal yang khas bagi demokrasi. Musyawarah sebagai medan diskusi bukanlah suatu penentu, melainkan sekadar brainstorming (curah pendapat) untuk melihat pandangan lain yang mungkin ada. Sedangkan kompromi dan konsensus, merupakan titik temu yang juga eksis karena adanya kekuatan dominan yang memengaruhi semua untuk tunduk pada satu pilihan kemungkinan.
Nilai Moral dalam Demokrasi
Adanya anggapan bahwa demokrasi sudah memiliki nilai moral bukanlah anggapan yang salah. Ukuran adanya persamaan hak dan kebebasan menentukan nasib sendiri untuk diperintah dan “memerintah” dalam struktur bernegara adalah nilai moral yang tidak dapat dipungkiri. Demokrasi juga telah memungkinkan rakyat untuk “berkuasa atas dirinya sendiri”, dalam konteks modern melalui perwakilan, tanpa melalui pemaksaan despotis dan tindakan otoriter. Di sinilah letak nilai moral dari teori politik demokrasi itu secara umum. Namun demikian, nilai di sini pada akhirnya hanya dalam batas-batas rasional kedaulatan rakyat saja, yaitu rakyat mayoritas yang memiliki hak untuk menetukan kebenaran (majority rule) dalam setiap mekanisme pengambilan keputusan. Apa yang dikehendaki oleh suara mayoritas rakyat itulah yang mesti berlaku sebagai ‘kebenaran’ yang akan diimplementasikan dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingan seluruh warga, termasuk kalangan minoritas rakyat.
Beberapa hal penting yang dapat diungkap sebagai kelemahan (vulnerabilities) prinsipil dari demokrasi adalah sebagai berikut: (1) Secara paradoksal dapat dicermati bahwa ada ketegangan kontinu antara prinsip kebebasan dan kesetaraan (kesamaan). Prinsip kesamaan berpotensi untuk merusak dan mematikan prinsip kebebasan. Sebaliknya, prinsip kebebasan juga berpotensi untuk merusak prinsip kesetaraan (persamaan); (2) Pelaksanaan prinsip kebebasan dapat merusak dan mematikan prinsip-prinsip baik lainnya yang berpotensi untuk mengembangkan kehidupan yang sehat dan beradab bagi masyarakat; (3) Metodologi demokrasi telah menempatkan faktor sosiologis kehendak mayoritas lebih signifikan daripada faktor moral. Metode tersebut membawa pada situasi kompetitif yang mengutamakan kemenangan daripada kesadaran untuk mengkonstruksi keadilan dan kebenaran yang seutuhnya. Artinya, demokrasi sangat mungkin untuk secara potensial, berkonflik dengan etika. Keabsahan secara demokratis dapat bertentangan dengan keabsahan dalam pandangan moral. Sesuatu yang demokratis tidak dapat dikatakan debagai putusan yang bermoral. Disini fenomena kekuasaan melakukan infiltrasi terhadap fenomena moral yang mencoba menjadi dasar dari tindakan dan putusan untuk berkuasa.
Akhirnya, dapat disimpulkan secara umum keluaran dari proses demokrasi tidak pernah secara pasti menjanjikan untuk mengkonstruksi kebenaran dan keadilan hakiki. Kebenaran dan keadilan yang diproduksi oleh proses demokrasi hanyalah kebenaran dan keadilan versi mayoritas. Sehingga, pelaksanaan dan implementasi selanjutnya hanyalah penyelenggaraan dari sudut kepentingan mayoritas suara.
Suara mayoritas rakyat bagaimanapun juga bukan suara Tuhan dan tidak mungkin bisa menggantikan suara Tuhan (vox populi est non vox dei), serta tidak identik pula dengan suara moral (filosofis). Mayoritas suara rakyat adalah suara awam – bukan kualitas suara kearifan intelektual atau filosofikal. Mayoritas suara awam tidak pernah bisa menghasilkan kearifan atau kebijaksanaan (wisdom). Mayoritas suara awam yang dibawa oleh elite-oligarkis yang terpilih bisa distortif. Karena pendekatan kuantitatif dan keberpihakan kepada mayoritas awam adalah prosedur tetap demokrasi, maka disinilah letak kelemahan mendasar dari demokrasi.
Demokrasi mengandung kontradiksi bawaan dalam prinsip-prinsipnya. Prinsip persamaan politik (kesetaraan) akan selalu mengancam kebebasan individu. Demikian pula sebaliknya. Kebebasan demokratis juga selalu mengancam nilai-nilai moral yang dapat membunuh peradaban.
Bagaimanapun juga, demokrasi merupakan suatu sistem politik hasil karya manusia yang sejauh ini hingga abad ke-21 dianggap paling dekat menghampiri hakikat keadilan dan kebenaran dalam masyarakat. Namun sayangnya masih saja menyisakan celah kelemahan yang sangat besar yang justru dapat menghancurkan kemanusiaan. Hal ini menunjukkan betapa rendah dan lemahnya manusia dalam merancang sesuatu, sekalipun itu sudah dimulai semenjak 26 abad yang lalu. Sehingga menjadi kewajiban bagi kita untuk merumuskan kembali pemikiran yang baru, pemikiran yang dapat membebaskan manusia pada kebebasan dan keadilan hakiki, pemikiran yang terikat pada kesadaran transendental setelah sekian lama terjebak dalam nihilisme dan kefanaan.
(Disarikan dari Filsafat Demokrasi, oleh Hendra Nurtjahjo)
Kepercayaan yang kuat atas sempurnanya teori politik demokrasi belum dapat tergoyahkan secara sosiologis, filisosofis, maupun dalam format yuridis ketatanegaraan. Kedudukan sentral ini bahkan semakin menguat diiringi konsep-konsep lain, seperti human rights, civil society, maupun konsep good governance, yang pada akhirnya menegaskan posisi teori demokrasi sebagai konsep terbaik yang pernah dicapai oleh pemikiran manusia.
Demokrasi dipercayai sebagai gagasan universal yang dapat diterima oleh ragam perspektif. Demokrasi telah menjadi obsesi sejumlah masyarakat non-Barat sejak awal abad ke-20. Banyak wilayah jajahan Barat di Asia dan Afrika mulai bergerak untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi di dalam masyarakat. Dengan “senjata” demokrasi yang diperoleh melalui pendidikan Barat, para pemuka masyarakat wilayah jajahan ingin mengembangkan nilai demokrasi yang akan digunakan untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Di (zaman) Hindia Belanda, gejala seperti ini dinamakan Kebangkitan Nasional.
Gambaran ini tidak hanya terjadi dalam sejarah kebangkitan Indonesia. Hampir di seluruh belahan dunia, gerakan demokratisasi kehidupan politik telah menjadi fenomena yang tak terelakkan dalam mengubah persepsi sejarah tentang bagaimana menyelenggarakan kekuasaan secara etis, rasional, dan bertanggung jawab. Jelas bahwa demokrasi mempunyai potensi untuk memberikan yang terbaik bagi manusia, terutama dalam melindungi hak-hak individu dalam menghadapi kekuasaan-kekuasaan yang lebih perkasa, seperti kekuasaan Negara dan pemerintah, misalnya.
Legitimasi dan Kedaulatan
Filsafat politik pada hakikatnya menuntut agar segala klaim (legitimate authority) atas hak untuk menata masyarakat (yang dimiliki oleh pemerintah Negara), dapat dipertanggungjawabkan di hadapan akal dan hati kemanusiaan. Tanpa legtimasi yang rasional dan objektif, suatu pemerintahan Negara tidak akan mungkin berjalan efektif. Dalam hal ini rezim pemerintahan yang memiliki etika politik sudah semestinya berdiri tegak di atas legitimasi yang kokoh. Legitimasi yang kokoh ini tidak hanya bersifat sosiologis – dalam arti mendapat pengakuan masyarakat – dan bersifat yuridis, dalam arti berlaku sebagai hukum positif dalam format yuridis ketatanegaraan tertentu, melainkan lebih dalam lagi: legitim (absah) secara etis-filosofis.
Demokrasi sebagai tatanan politik memiliki sejarah yang amat panjang. Keberadaan ide demokrasi telah berlangsung sejak 508 tahun sebelum masehi dan hingga kini masih diyakini terus akan berevolusi sesuai dengan perkembangan zaman. Survei tentang demokrasi meliputi kawasan di seluruh dunia, model-model demokrasi telah dibukukan serta pola-pola yang memungkinkan berkembangnya demokrasi telah diuraikan, namun teori politik yang dipercayai sebagai etika politik mdern ini masih terus mengalami perkembangan serius dalam penafsiran dan implementasi dari prinsip-prinsip dasarnya.
Pembahasan mengenai demokrasi akan menyentuh apa yang disebut kedaulatan rakyat. Teori kedaulatan rakyat lahir secara kontroversial dalam panggung politik sejarah kekuasaan Negara. Ide dasarnya sangat sederhana, bahwa rakyatlah yang harus menjadi sumber kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara – yang lain, tidak. Rakyat berkuasa independen atas dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ‘rakyat’ dapat berkuasa atas dirinya sendiri dan dapat memerintah sendiri? Dalam suatu zaman yang hanya dilingkupi oleh kekuasaan para penguasa yang menyebut dirinya sebagai raja atau kaisar, pikiran untuk menempatkan rakyat sebagai penguasa tertinggi atau pemegang kedaulatan adalah suatu pikiran yang gila dan mustahil. Namun demikian, gagasan kedaulatan rakyat ini kemudian terus berkembang dalam diskusi teori kenegaraan dan juga praktik trial and error baik di Perancis, Amerika, hingga akhirnya diikuti oleh hampir seluruh Negara di dunia. Arus deras demokrasi sebagai istilah yang menunjukkan kekuasaan rakyat telah merombak struktur monarki, minimal menjadi monarki parlementer atau menjadi hancur sama sekali digantikan dengan sistem Republik Demokrasi.
Timbulnya teori kedaulatan rakyat ini jelas sebagai reaksi atas teori kedaulatan raja yang kebanyakan menghasilkan monopoli dan penyimpangan kekuasaan yang akhirnya menyebabkan tirani dan kesengsaraan bagi rakyat. Ada indikasi kuat bahwa paham kedaulatan rakyat atau ide demokrasi itu telah membawa secara inheren semangat sekularisme dan antroposentrisme. Hal ini disebabkan oleh paradigma baru yang dibawa oleh demokrasi adalah suatu pembangkangan terhadap legitimasi kedaulatan Tuhan yang diatasnamakan oleh raja sebagai pendasaran kekuasaannya, sehingga tak luput untuk dimengerti bahwa sekularisme dan antroposentrisme merupakan ciri yang melekat pada demokrasi, khususnya demokrasi ‘barat’.
Kebebasan Berpartisipasi
Pada awal sejarahnya demokrasi hanya dimengerti lewat model partisipasi politik langsung yang melibatkan seluruh warga yang sudah dewasa dalam suatu proses politik. Proses politik penataan kehidupan bersama ini dikelola secara bersama, dan inilah yang dinamakan oleh Aristoteles sebagai bentuk Negara ideal ‘politeia’, atau yang secara modern disebut oleh Robert A. Dahl sebagai ‘polyarchy’ sebagai ganti dari istilah yang kemudian lebih popular dengan sebutan demokrasi yang meluas. Jadi, ciri utama demokrasi purba itu adalah adanya pengelolaan bersama oleh seluruh warga polis (Negara kota/city state) yang jumlah penduduknya relatif kecil.
Pelibatan hampir seluruh warga polis dalam proses penataan Negara ini belum melahirkan suasana kebebasan dan kesamaan yang menyeluruh bagi seluruh warga Negara Yunani purba pada waktu itu. Hal ini terbukti dengan masih adanya diskriminasi politik yang meminggirkan hak kaum perempuan dan kalangan budak, maupun anak-anak. Perempuan dan budak dianggap tidak memiliki hak dalam partisipasi politik pengelolaan Negara. Mereka tidak memiliki kebebasan yang penuh dan tidak dipandang sama statusnya baik di hadapan hukum maupun ‘pemerintahan bersama’ waktu itu. Naum demikian, nilai kebebasan dan kesamaan (persamaan) hak mengeluarkan pendapat itu dipraktikkan secara relatif baik pada seluruh warga polis yang dewasa, walaupun ada pengecualian bagi perempuan dan budak. Perempuan, budak, dan anak-anak serta orang asing tidak memiliki hak politik di dalam pengelolaan polis tersebut.
Adanya gerakan pembela hak-hak politik kaum perempuan dan adanya gerakan antiperbudakan yang terus bergulir sepanjang sejarah telah mengubah format politik. Format politik partisipatoris yang menjunjung tinggi kebebasan dan kesamaan yang menyeluruh, nondiskriminatif, telah lahir mejadi ciri dari sistem politik modern yang lebih egaliter dan beradab. Inilah yang dinamakan persemaian nilai demokrasi.
Dalam hubungannya dengan sistem politik, kebebasan politik dalam demokrasi berhubungan dengan kekuasaan ekonomi. Demokrasi adalah hasil dari perkembangan pasar bebas yang dijalankan oleh sistem kapitalis. Dengan demikian, kalau mau mendapatkan sistem politik yang demokratis, syarat yang perlu dipenuhi adalah pengembangan lembaga-lembaga ekonomi yang kapitalistis. Munculnya sistem politik yang demokratis tergantung pada taraf perkembangan kapitalismenya. Ketika kapitalisme masih belum kuat, dibutuhkan bantuan Negara untuk “menciptakan” orang-orang yang memiliki modal kuat. Baru setelah kapitalisme menjadi kuat dan mapan, Negara menjadi liberal dan kurang mencampuri kehidupan ekonomi. Kehidupan ekonomi dibiarkan diatur oleh pasar bebas. Negara hanya ikut campur bila terjadi ekses negatif yang bisa mengancam eksistensi kehidupan tersebut. Jadi, bantuan dan intervensi Negara diperlukan untuk membangun demokrasi dari tahap awal, namun setelah itu campur tangan Negara diminimalisir sesedikit mungkin, terutama dalam lapangan ekonomi.
Metodologi Demokrasi
Adapun dinamika Negara dalam bentuk demokrasi terletak pada adanya pertentangan dan pertemuan pendapat dalam masyarakat, sehingga segala keputusan berdasar pada kebenaran yang relatif bukan pada kebenaran yang mutlak. Hal inilah yang menurut pendapat E. H. Carr menunjukkan tidak adanya pegangan/pedoman yang tegas dalam demokrasi, sehingga mengakui adanya paham lain yang mungkin bertentangan dengan paham demokrasi. Bagi para sarjana aliran kebenaran relatif, bentuk demokrasi yang berdasar pada kebenaran absolut akan bersifat statis dan tidak berbeda dengan bentuk Negara monarki. Sedangkan bentuk demokrasi yang berdasar pada kebenaran relatif akan melahirkan demokrasi parlementer yang bersifat dinamis. Aliran kebenaran relatif ini ternyata lebih diterima oleh Negara-negara Eropa Barat.
Dalam mengungkapkan nilai ‘kebenaran’ dari eksistensi demokrasi, dibutuhkan metodologi. Samuel P.Huntington dalam meneliti mengenai transisi menuju sistem demokrasi antara tahun 1974 hingga tahun 1990 sampai pada kesimpulan bahwa definisi yang paling sahih dewasa ini untuk menjelaskan makna demokrasi adalah dalam pengertian yang prosedural. Sementara itu Michael Walzer juga mengatakan bahwa yang memerintah dalam demokrasi adalah orang yang de facto memenangkan persetujuan lebih besar rakyat (suara mayoritas rakyat). Inilah satu-satunya cara memperoleh dan melegitimasikan kekuasaan dalam demokrasi. Terlihat disini, legitimasi sosial-politis adalah dari rakyat terbesar (mayoritas) melalui pemungutan suara (voting) sebagai ukuran yang paling sahih dalam metode demokrasi.
Demokrasi sebagai gagagsan (ide) dan sebagai pelembagaan kekuasaan politik yang paling rasional telah nyata menawarkan suatu metode untuk menyingkirkan keragu-raguan dalam pengambilan keputusan politik. Dalam ide demokrasi, keputusan politik yang pasti hanya dapat diukur lewat prinsip suara terbanyak (majority principle). Metode kuantitatif inilah yang diharapkan dapat menghilangkan keragu-raguan dan ketidakpastian proses politik dan hukum ketatanegaraan dalam kehidupan bernegara. Walaupun demokrasi menawarkan pula nilai-nilai musyawarah, kompromi, dan konsensus (kemufakatan), tetapi hal tersebut tidaklah menjadi hal yang khas bagi demokrasi. Musyawarah sebagai medan diskusi bukanlah suatu penentu, melainkan sekadar brainstorming (curah pendapat) untuk melihat pandangan lain yang mungkin ada. Sedangkan kompromi dan konsensus, merupakan titik temu yang juga eksis karena adanya kekuatan dominan yang memengaruhi semua untuk tunduk pada satu pilihan kemungkinan.
Nilai Moral dalam Demokrasi
Adanya anggapan bahwa demokrasi sudah memiliki nilai moral bukanlah anggapan yang salah. Ukuran adanya persamaan hak dan kebebasan menentukan nasib sendiri untuk diperintah dan “memerintah” dalam struktur bernegara adalah nilai moral yang tidak dapat dipungkiri. Demokrasi juga telah memungkinkan rakyat untuk “berkuasa atas dirinya sendiri”, dalam konteks modern melalui perwakilan, tanpa melalui pemaksaan despotis dan tindakan otoriter. Di sinilah letak nilai moral dari teori politik demokrasi itu secara umum. Namun demikian, nilai di sini pada akhirnya hanya dalam batas-batas rasional kedaulatan rakyat saja, yaitu rakyat mayoritas yang memiliki hak untuk menetukan kebenaran (majority rule) dalam setiap mekanisme pengambilan keputusan. Apa yang dikehendaki oleh suara mayoritas rakyat itulah yang mesti berlaku sebagai ‘kebenaran’ yang akan diimplementasikan dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingan seluruh warga, termasuk kalangan minoritas rakyat.
Beberapa hal penting yang dapat diungkap sebagai kelemahan (vulnerabilities) prinsipil dari demokrasi adalah sebagai berikut: (1) Secara paradoksal dapat dicermati bahwa ada ketegangan kontinu antara prinsip kebebasan dan kesetaraan (kesamaan). Prinsip kesamaan berpotensi untuk merusak dan mematikan prinsip kebebasan. Sebaliknya, prinsip kebebasan juga berpotensi untuk merusak prinsip kesetaraan (persamaan); (2) Pelaksanaan prinsip kebebasan dapat merusak dan mematikan prinsip-prinsip baik lainnya yang berpotensi untuk mengembangkan kehidupan yang sehat dan beradab bagi masyarakat; (3) Metodologi demokrasi telah menempatkan faktor sosiologis kehendak mayoritas lebih signifikan daripada faktor moral. Metode tersebut membawa pada situasi kompetitif yang mengutamakan kemenangan daripada kesadaran untuk mengkonstruksi keadilan dan kebenaran yang seutuhnya. Artinya, demokrasi sangat mungkin untuk secara potensial, berkonflik dengan etika. Keabsahan secara demokratis dapat bertentangan dengan keabsahan dalam pandangan moral. Sesuatu yang demokratis tidak dapat dikatakan debagai putusan yang bermoral. Disini fenomena kekuasaan melakukan infiltrasi terhadap fenomena moral yang mencoba menjadi dasar dari tindakan dan putusan untuk berkuasa.
Akhirnya, dapat disimpulkan secara umum keluaran dari proses demokrasi tidak pernah secara pasti menjanjikan untuk mengkonstruksi kebenaran dan keadilan hakiki. Kebenaran dan keadilan yang diproduksi oleh proses demokrasi hanyalah kebenaran dan keadilan versi mayoritas. Sehingga, pelaksanaan dan implementasi selanjutnya hanyalah penyelenggaraan dari sudut kepentingan mayoritas suara.
Suara mayoritas rakyat bagaimanapun juga bukan suara Tuhan dan tidak mungkin bisa menggantikan suara Tuhan (vox populi est non vox dei), serta tidak identik pula dengan suara moral (filosofis). Mayoritas suara rakyat adalah suara awam – bukan kualitas suara kearifan intelektual atau filosofikal. Mayoritas suara awam tidak pernah bisa menghasilkan kearifan atau kebijaksanaan (wisdom). Mayoritas suara awam yang dibawa oleh elite-oligarkis yang terpilih bisa distortif. Karena pendekatan kuantitatif dan keberpihakan kepada mayoritas awam adalah prosedur tetap demokrasi, maka disinilah letak kelemahan mendasar dari demokrasi.
Demokrasi mengandung kontradiksi bawaan dalam prinsip-prinsipnya. Prinsip persamaan politik (kesetaraan) akan selalu mengancam kebebasan individu. Demikian pula sebaliknya. Kebebasan demokratis juga selalu mengancam nilai-nilai moral yang dapat membunuh peradaban.
Bagaimanapun juga, demokrasi merupakan suatu sistem politik hasil karya manusia yang sejauh ini hingga abad ke-21 dianggap paling dekat menghampiri hakikat keadilan dan kebenaran dalam masyarakat. Namun sayangnya masih saja menyisakan celah kelemahan yang sangat besar yang justru dapat menghancurkan kemanusiaan. Hal ini menunjukkan betapa rendah dan lemahnya manusia dalam merancang sesuatu, sekalipun itu sudah dimulai semenjak 26 abad yang lalu. Sehingga menjadi kewajiban bagi kita untuk merumuskan kembali pemikiran yang baru, pemikiran yang dapat membebaskan manusia pada kebebasan dan keadilan hakiki, pemikiran yang terikat pada kesadaran transendental setelah sekian lama terjebak dalam nihilisme dan kefanaan.
“Justice saves. Absolute justice saves absolutely. If democracy does not bring justice, we don’t need democracy at all.”
“Keadilan akan menyelamatkan. Keadilan yang hakiki pasti membawa keselamatan. Jika demokrasi tidak membawa pada situasi yang adil, kita tidak butuh apa pun dari demokrasi.”
(Disarikan dari Filsafat Demokrasi, oleh Hendra Nurtjahjo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
be responsible with your comment....