Oleh: Felix Siauw
“jangan panik, saat BBM naik, Allah sudah mengatur rezeki pada hamba-Nya”
“tenang saja, Allah tidak akan menimpakan beban lebih daripada yang mampu kita tanggung”
Kita tentu menemui pernyataan serupa
diatas, terlepas apapun maksudnya, kita coba menangkap baik sajalah.
Maksudnya mungkin, kenaikan BBM ini sudah terjadi, yang berlalu ya
sudah, yang penting bagaimana kita menyikapinya. Namun, sebagai seorang Muslim, kita pun
khawatir ada pemahaman yang salah mengenai konsep rezeki yang
dicampuradukkan pemahamannya dengan konsep dakwah, amar ma’ruf dan nahi
munkar, khawatir dengan logika semisal ini ummat jadi berpikir seperti
kaum fatalis jabariyyah atau murji’ah yang menganggap bahwa kemunkaran
dan kedzaliman pun sudah ditakdirkan Allah.
Pertama, keyakinan seorang Muslim
terhadap jatah rezeki tentu bagian daripada keimanan, bahwa bila dia
masih hidup, maka Allah pasti akan mencukupinya, pasti masih ada jatah
perutnya. Ini bagian keyakinan yang harus dimiliki oleh seorang Muslim,
karena dalam Al-Qur’an Allah hanya menisbatkan rezeki pada diri-Nya yang
menanggungnya.
Namun berbeda dengan menyikapi
kemunkaran, ini pun bagian daripada kewajiban kaum Muslim yang telah
diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya, termasuk menasihati pemimpin,
ini adalah bagian daripada perintah agama. “Rasulullah bersabda, “Agama adalah
nasihat”, kami bertanya : “Bagi siapa?” Rasulullah menjawab : “bagi
Allah, bagi kitabNya, bagi Rasul-Nya, bagi para pemimpin kaum Muslimin
dan kaum muslimin pada umumnya” (HR Muslim).
“Jihad yang paling utama ialah mengatakan kebenaran (berkata yang baik) di hadapan penguasa yang zalim” (HR Abu Dawud). Artinya saat kita menasihati penguasa
bahwa kenaikan BBM ini adalah kedzaliman dan bertentangan dengan cara
Islam mengatur sumberdaya alam, dan menyusahkan ummat, bukan berarti
kita tidak beriman dengan rezeki Allah, namun melaksanakan sebagian
kewajiban dari Allah dan Rasulullah, yaitu menasihati penguasa.
Maka dalam konteks kenaikan BBM lalu
meminta agar rakyat beriman pada takdir Allah, agaknya kurang pas.
Karena hal ini akan diterima sebagai “menerima kedzaliman” bukan
“menerima takdir”, karena yang harus dilakukan tatkala melihat
kemunkaran hanya 3 hal: 1) mengubah dengan tangan (kekuasaan), 2)
menasihati dengan lisan, atau 3) mengingkari dengan hati.
Inilah jalan para salafus salih saat menghadapi kemunkaran. Maka mendiamkan kemunkaran padahal kita
tahu dan mampu untuk menyampaikan dakwah adalah perbuatan yang tidak
dicontohkan para sahabat dan ulama salaf. Hanya saja, memang penting sekali bagi
para penyampai ayat Allah dan peringatan ini untuk berucap santun dan
bijak, menasihati dengan penuh kelembutan dan kasih sayang bukan malah
mencela, melaknat, berkata kotor dan menghina yang justru menjauhkan
para pemimpin ini dari mendengar nasihat.
“Pergilah kamu berdua kepada Fir’aun,
sesungguhnya dia telah melampaui batas; maka berbicaralah kamu berdua
kepadanya dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat
atau takut” (QS 20: 43-44). “Qaulan layyina” menurut Ibnu Katsir
adalah “perkataan yang lemah lembut, santun, mudah dimengerti, dan
bersahabat, agar lebih mudah meresap ke dalam jiwa serta lebih tepat dan
pas”.
Kita berdakwah bukan karena tidak
beriman pada takdir, bukan pula memprovokasi, tapi inilah kewajiban
menasihati penguasa, yang Allah wajibkan saat kita melihat kemunkaran,
termasuk kemunkaran yang jelas saat BBM naik seperti ini. Kita berdakwah bukan tersebab benci tapi karena peduli, bukan karena berang namun karena kasih sayang.
Maka kita pun menyampaikan kepada penguasa, nasihat Nabi saw, dalam doanya, doa Nabi saw, “Ya Allah, siapa saja yang
mengurus urusan umatku ini, yang kemudian ia menyayangi mereka, maka
sayangilah ia. Dan siapa saja yang menyusahkan mereka, maka susahkanlah
ia” (HR Muslim)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
be responsible with your comment....