Kamis, 14 mei 2015, Lapangan Gasibu, Kota Bandung. Tepat di
depan simbol kebanggaan warga kota Bandung, Gedung Sate, berkumpul sekitar
25.000 orang membawa bendera berwarna hitam dan putih bertuliskan aksara arab.
Konon katanya mereka datang dari seluruh penjuru Jawa Barat, dari Banjar hingga
Pelabuhan Ratu. Ada pemuda-pemudi, bapak-bapak dan ibu-ibu, ada yang sudah
memakai tongkat, bahkan ada yang duduk di atas kursi roda.
Event ini diselenggarakan oleh sebuah partai yang sering
dianggap ormas, sebuah partai yang mengaku partai politik namun tidak (belum)
pernah mengikuti pesta politik yang diselenggarakan KPU, partai yang menamai
dirinya Partai Pembebasan, Hizbut Tahrir, yang bertujuan membebaskan umat
manusia dari kehidupan jahiliyah menuju kehidupan yang Islami.
Dalam kegiatan ini para pembicara dan diiyakan oleh para
peserta, menyerukan kepada seluruh umat Islam untuk meninggalkan perikehidupan
yang sekuler dan kapitalistik, meninggalkan kehidupan yang tidak Islami dan
beralih kepada kehidupan yang Islami. Dengan cara mengamalkan syariah Islam
dalam lingkup pribadi, keluarga, masyarakat, dan negara. Atau seringkali
dirangkum dengan satu kata: “Khilafah”. Iya, kata kuncinya adalah dengan
menegakkan khilafah.
Khilafah adalah terminologi yang sangat khas. Tidak dapat
diartikan secara literal saja, sebagaimana yang sering terjadi di masyarakat
yang mengartikan “khilafah” adalah “kepemimpinan”. Padahal secara istilah yang
syar’i, berdasarkan al Qur’an dan Sunnah, khilafah adalah kepemimpinan umum di
tengah-tengah umat Islam, yang menjadikan syariah Islam sebagai landasannya, dan
mengemban Islam ke seluruh penjuru dunia dengan metode dakwah dan jihad.
"Berarti kalian mau
mengubah negara Indonesia? NKRI sudah final! NKRI harga mati!"
Iya, memang betul Indonesia akan diubah sampai ke
akar-akarnya. Diubah menjadi lebih baik dan lebih jelas. Tidak seperti saat ini
ketika negara ini ingin mengakomodir semua pendapat, maka jadilah negara ini
negara yang kadang-kadang. Kadang-kadang sangat relijius, kadang-kadang sangat
jahiliyah. Rame-rame masalah prostitusi, secara moral masyarakat menentang,
namun tidak ada payung hukum yang secara tegas melarang prostitusi atas dasar
suka sama suka. Itu satu contoh sederhana betapa membingungkannya visi negara
ini. Maka dari itu harus ada perubahan yang radikal, hingga ke landasan yang
paling dasar.
"Tapi kan masih banyak
masalah-masalah yang lebih urgen untuk diselesaikan daripada ngurusin dasar
negara? Masih banyak kemiskinan, kebodohan, pengangguran, kenakalan remaja, dan
sebagainya..."
Iya, memang betul banyak masalah yang lebih dekat kepada
kita dibandingkan masalah visi negara yang masyarakat awam mungkin tidak pernah
kepikiran tentang hal itu. Saya cuma mau bilang, teruskan perjuangan
kawan-kawan yang mau serius menyelesaikan masalah-masalah itu, insyaAllah akan
ada balasan yang menarik dari Sang Pemilik Alam Semesta atas kebaikan dan
pengorbanan kawan-kawan semua. Namun, jangan sampai lupa, bahwa sejatinya
masalah kemiskinan, kebodohan, pengangguran, dan kenakalan remaja itu adalah
tugas negara. Kita tetap harus mengusahakan fungsi negara tetap ada. Masalah
kemiskinan, kebodohan, dsb hanyalah masalah ekses, masalah turunan yang lahir
akibat salah urusnya negara ini. Ibarat analogi bendungan. Ketika sebuah
bendungan jebol dan membuat airnya tumpah hingga membanjiri pemukiman penduduk,
maka tiap orang pasti akan mengambil tindakan menyelamatkan rumahnya sendiri.
Ada yang menutup pintu agar air tidak masuk ke dalam rumah, ada yang menguras
air agar keluar dari dalam rumah, ada yang mengungsi, dan lain sebagainya.
Namun semua tindakan solutif tersebut tidak akan membuat masalah selesai
sebelum akar masalahnya diselesaikan: yaitu jebolnya bendungan. Maka harus ada
orang yang berinisiatif untuk mengajak warga yang lain untuk bersama-sama
membetulkan bendungan tersebut. Mencegahnya jebol lebih besar lagi.
Memperbaikinya agar dapat digunakan seperti sediakala.
Begitulah seharusnya kita bekerja, beraktivitas, beramal.
Selesaikan masalah. Jadilah problem solver. Baik itu yang ada di dekat kita,
maupun yang berupa akar masalahnya. Mengutip jargon para aktivis lingkungan:
think globally, act locally.
"Tapi, apakah dengan
menerapkan syariah Islam, kesatuan umat, dan penegakan dakwah dan jihad,
masyarakat akan hidup sejahtera?"
Bisa saya bilang, untuk menjadi sejahtera, kita tidak perlu
Islam. Bahkan ekstrimnya, kita tidak butuh agama hanya untuk
sekadar sejahtera secara ekonomi. Atau bisa dibilang, agama hanya menjadi
pelengkap, hanya menjadi “candu” jika kita menginginkan sejahtera, sebagaimana
yang pernah diajarkan bapak sosialisme, Karl Marx.
Maka alangkah pentingnya bagi kita untuk merenungkan tujuan
hidup ini. Syekh Taqiyuddin An Nabhani, pendiri Hizbut Tahrir, meringkas
perenungan ini dalam 3 pertanyaan yang disebutnya Al Uqdatul Kubra, Simpul-simpul
Besar. Yang manakala kita bisa memecahkan jawaban dari simpul-simpul tersebut,
maka kita akan menemukan suatu jalan yang lapang dalam menjalani hidup, kita
akan memperoleh prinsip-prinsip hidup yang akan menuntun kita melalui kehidupan
di dunia. 3 pertanyaan tersebut adalah: 1) Darimana kita sebelum kehidupan
ini?; 2) Akan kemana setelah kehidupan ini?; 3) Apa yang harus kita lakukan di
dalam kehidupan ini?
Bilamana kita telah tuntas menjawab ketiga pertanyaan ini,
bagi muslim pasti akan sadar bahwa kehidupannya di dunia tidak sekadar untuk
meraih kesejahteraan secara duniawi saja, namun juga sejahtera di akhirat,
dalam artian meraih karunia surga yang penuh keindahan dan dialiri oleh
sungai-sungai khamr, madu, dan susu. Yang mana karunia ini tidak akan mungkin
tercapai jika kita mengabaikan perintah dan larangan Alla azza wa jalla. Oleh
karena itu inilah yang harus menjadi visi hidupan bagi seorang muslim. Hidup
mulia di dunia, lebih-lebih di akhirat.
Sementara fakta yang kita amati saat ini, negeri yang kita
tinggali saat ini tidak mengizinkan kita untuk mengamalkan seluruh perintah dan
larangan Allah azza wa jalla. Masih sangat mudah kita temukan pergaulan bebas,
perzinaan, minuman keras yang dilegalisasi, belum lagi perekonomian ribawi yang
jadi tonggak pembangunan negara ini, membuat kita terus-terusan
menginvestasikan dosa bahkan hingga ke anak cucu kita nanti. Bagaimana mungkin
ridha Allah akan turun pada negeri ini? Maka fakta ini harusnya menjadi
pendorong kita untuk menyelesaikan permasalahan mendasar negeri ini, dunia dan
akhirat.
Lantas apakah dengan menerapkan Islam Indonesia akan
sejahtera di dunia? Saya hanya bisa bilang insyaAllah akan sejahtera. Bukti
berupa sejarah ketika kekhilafahan Islam menjadi negara adidaya di abad 7-14
masehi cukup menjelaskan hal itu. Bahkan kekuasaannya meliputi dua pertiga
belahan dunia, dan menguasai pusat perdagangan dunia pada saat itu,
Konstantinopel. Ini bukan terjadi secara tidak rasional. Dunia Islam bisa
berjaya dan sejahtera itu karena Islam sudah dibekali dengan seperangkat sistem
kehidupan yang khas dan kokoh untuk menopang kesejahteraan rakyatnya. Saat ini
terbukti dengan diadopsinya sistem ekonomi syariah bahkan hingga ke Eropa,
karena kekebalannya terhadap krisis moneter. Itu baru penerapan satu sistem
saja. Belum lagi jika kita menerapkan sistem peradilan, sosial, pendidikan,
pertahanan, dan lain sebagainya. Namun seandainya saja fakta sejarah itu tidak
ada, keimanan pada Allah seharusnya sudah cukup kita untuk mengusahakan
penerapan syariah Islam dalam bingkai negara. Sebab janji Allah sudah pasti,
janji bukan sembarang janji, janji dari penggenggam jiwa-jiwa manusia, janji
dari pengatur alam semesta raya ini.
Jikalau sekiranya penduduk
negeri-negeri beriman dan bertakwa, Pastilah kami akan melimpahkan kepada
mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan ayat-ayat kami
itu, Maka kami siksa mereka disebabkan perbuatannya. (QS. Al A’raf:
96)