Pagi ini kita akan sedikit membahas mengenai aliran pemahaman sufi. Sufi dikenal sebagai jalan atau aliran pemahaman yang cenderung mendekatkan diri pada zat Tuhan dan menjauhi kegemerlapan dunia. Para penganut aliran sufi dikenal sebagai orang yang sangat rendah hati, tidak terlalu menyukai tema-tema pembahasan yang berkaitan dengan kenikmatan duniawi.
Namun, seorang kawan saya tidak setuju dengan hal tersebut. Dia mengatakan bahwa seorang sufi itu tidak berarti tak mempunyai obsesi duniawi. Seorang sufi sah-sah saja memiliki obsesi duniawi, namun tidak sering dibicarakan. Karena dengan mengumbar-ngumbar obsesi duniawi, menurut dia, itu sama saja dengan mengabaikan hal-hal kecil yang dapat mengantarkan pada proses terwujudnya obsesi tersebut. Sehingga, seorang sufi cenderung untuk menyembunyikan obsesi duniawinya, dengan tetap teguh dan konsisten menjalankan detil-detil yang harus dilakukan untuk mewujudkan obsesi tersebut, apapun komentar orang sekitar dia, hingga obsesi itu terwujud. Itu pendapat kawan saya.
Pendapat yang lain, juga dari kawan saya. Ia mengatakan bahwa sufi itu adalah salah satu jalan yang ditempuh oleh manusia untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta, dengan pemahaman "hati", dengan pengalaman-pengalaman spiritual. Jalan yang lain yang ditempuh manusia untuk mendekatkan diri dengan Sang Pencipta ialah dengan filsafat. Yang menempuh jalan pemahaman melalui akal. Dengan melakukan suatu pemikiran-pemikiran yang demonstratif hingga mencapai pada kedekatan dengan Sang Pencipta.
Bagi saya perbedaan cara pandang seperti 2 hal di atas tidak seharusnya menjadi masalah. Selama kedua cara tersebut tetap di backup dengan konsep aqidah yang benar sesuai dengan aqidah Islam yang aqliyah (logis), tanpa ada takhayul dan khurafat. Dan tentunya mencapai apa yang dituju yaitu kedekatan dengan Sang Pencipta, atau dalam bahasa al Qur'an disebut khusyu'.
Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian
itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu', (yaitu) orang-orang yang meyakini, bahwa mereka akan menemui Tuhannya, dan bahwa
mereka akan kembali kepada-Nya. (QS. Al Baqarah : 45-46)
Senin, 23 September 2013
Selasa, 10 September 2013
Semprot
Manusia diciptakan dilengkapi dengan kebutuhan jasmani dan naluri, serta akal yang membuat manusia berbeda dengan spesies-spesies makhluk hidup lainnya. Dan akibat adanya akal, maka Allah memberikan berbagai macam kewajiban, yang akan diganjar dengan pahala bila melakukannya dan diganjar dengan dosa bila meninggalkannya. Dan sebaliknya, ketiadaan akal membuat kewajiban-kewajiban tersebut tidak berlaku.
Akal bekerja dengan bantuan indera untuk menangkap segala informasi, yang kemudian disimpan dalam ingatan. Dengan proses berpikir, informasi-informasi tersebut diramu hingga dihasilkan suatu ide atau pemikiran. Pemikiran inilah yang masih dalam tataran ide yang ideal, lalu kemudian oleh manusia dicoba untuk direalisasikan di dunia nyata dalam kerangka ruang dan waktu. Aktivitas ini disebut sebagai amal.
Namun terkadang, hasil dari amalan tidak seideal ide dalam pikiran manusia. Selalu saja ada hal-hal yang tidak ideal, sebagaimana kerangka ruang dan waktu yang juga tidak seideal yang di dalam pikiran manusia. Sehingga proses-proses yang bersifat kompromistis, mengkompromikan ide yang ideal dengan kondisi alam yang tidak ideal seringkali dilakukan. Hingga sangat sering, hingga menjadi kebiasaan. Hingga manusia menjadi lupa apa kondisi ideal yang harusnya diwujudkan. Maka lahirlah pragmatisme, praktisisme, yang menjadikan kondisi alam sebagai acuan yang tidak mungkin diubah, sehingga yang harus diubah adalah ide. Hingga tidak ada lagi kondisi ideal dalam pikiran manusia. Pada kondisi yag seperti ini, manusia perlu bahkan wajib untuk marah. Karena dengan dipinggirkannya ide yang ideal, akibat kondisi alam yang sangat tidak ideal, itu sama artinya menyepelekan fungsi akal. Inilah kemarahan yang benar. Maka benarlah marahnya seorang pemimpin kepada bawahannya yang tidak bekerja tepat waktu. Benarlah marahnya seorang pengusaha kepada klien bisnisnya yang tidak menepati perjanjian. Benarlah marahnya seorang ibu kepada anaknya yang tidak berbakti. Benarlah marahnya seorang pemuda kepada sahabatnya yang tidak sepaham. Dan benarlah marahnya Nabi pada umatnya yang tidak menjalankan dan mengikuti contoh idealnya.
Akal bekerja dengan bantuan indera untuk menangkap segala informasi, yang kemudian disimpan dalam ingatan. Dengan proses berpikir, informasi-informasi tersebut diramu hingga dihasilkan suatu ide atau pemikiran. Pemikiran inilah yang masih dalam tataran ide yang ideal, lalu kemudian oleh manusia dicoba untuk direalisasikan di dunia nyata dalam kerangka ruang dan waktu. Aktivitas ini disebut sebagai amal.
Namun terkadang, hasil dari amalan tidak seideal ide dalam pikiran manusia. Selalu saja ada hal-hal yang tidak ideal, sebagaimana kerangka ruang dan waktu yang juga tidak seideal yang di dalam pikiran manusia. Sehingga proses-proses yang bersifat kompromistis, mengkompromikan ide yang ideal dengan kondisi alam yang tidak ideal seringkali dilakukan. Hingga sangat sering, hingga menjadi kebiasaan. Hingga manusia menjadi lupa apa kondisi ideal yang harusnya diwujudkan. Maka lahirlah pragmatisme, praktisisme, yang menjadikan kondisi alam sebagai acuan yang tidak mungkin diubah, sehingga yang harus diubah adalah ide. Hingga tidak ada lagi kondisi ideal dalam pikiran manusia. Pada kondisi yag seperti ini, manusia perlu bahkan wajib untuk marah. Karena dengan dipinggirkannya ide yang ideal, akibat kondisi alam yang sangat tidak ideal, itu sama artinya menyepelekan fungsi akal. Inilah kemarahan yang benar. Maka benarlah marahnya seorang pemimpin kepada bawahannya yang tidak bekerja tepat waktu. Benarlah marahnya seorang pengusaha kepada klien bisnisnya yang tidak menepati perjanjian. Benarlah marahnya seorang ibu kepada anaknya yang tidak berbakti. Benarlah marahnya seorang pemuda kepada sahabatnya yang tidak sepaham. Dan benarlah marahnya Nabi pada umatnya yang tidak menjalankan dan mengikuti contoh idealnya.
Langganan:
Postingan (Atom)