Saya datang lebih awal, tidak bersama rombongan kawan-kawan yang lain. Ternyata setiba disana masih belum ada siapa-siapa. Jadilah saya menunggu sekitar setengah jam sambil duduk-duduk di halte bis depan panti. Pemadangan pertama yang saya lihat, ketika sedang duduk saya melihat ada 2 orang yang berjalan keluar dari halaman panti. Yang satu perempuan berkerudung, yang satu lagi pria menggunakan tongkat. Mereka berjalan sambil berpegangan tangan. Saya yakin yang memegang tongkat mesti seorang tunanetra, dan wanita yang disampingnya adalah orang yang menuntunnya. Namun begitu mereka keluar dari halaman panti dan berjalan di depan saya yang masih dudul di halte, saya baru sadar, ternyata kedua-duanya adalah tunanetra. Dan yang menjadi penuntun adalah sang pria yang menggunakan tongkat. Luar biasa terkejutnya saya melihat hal itu. Saya jadi teringat, apabila listrik di rumah padam maka yang saya lakukan adalah diam di tempat saya, menunggu hingga listrik kembali mengalir. Berjalan pun terasa sangat berat.
Pemandangan kedua. Setelah lama menunggu di halte dan kawan-kawan saya tidak datang-datang juga, saya memutuskan untuk menunggu di masjid, tempat akan dilangsungkan acara buka puasa bersama tersebut. Ketika masuk masjid, hal yang aneh yang saya temui ialah masjid disana sangat berbeda dengan masjid-masjid biasanya. Umumnya masjid dihiasi dengan interior yang menarik, banyak kaligrafi terukir di dinding masjid. Namun, di mesjid Wyataguna, saya tidak menemui satupun kaligrafi yang terukir. Mungkin hanya tulisan Allah dan Muhammad yang terbingkai yang jadi hiasan disana. Kemudian lampu-lampu di masjid tersebut pun tidak banyak, secukupnya saja. Hanya ada di bagian tengah dan pojok-pojok dekat dengan pintu masuk. Dan selanjutnya tidak ada pula rak-rak buku yang biasanya di masjd-masjid lain yang terisi oleh mushaf al Qur'an dan buku-buku agama.
Pemandangan selanjutnya. Acara buka puasa bersama dihadiri oleh siswa-siswa pendidikan formal yang berkisar dari seumuran SD hingga level setelah SMA. Ketika acara berlangsung yang saya amati anak-anak seumuran SD dan SMP berkumpul bersama teman-temannya, dan biasanya mereka berpasangan dua orang, dan seperti anak-anak biasanya mereka saling bercanda, tapi tidak dengan perkataan, melainkan dengan tangan mereka. Mereka saling menjahili satu dengan yang lain, dan tidak terdengar suara. Mungkin itu kebiasaan mereka. Mereka merasa orang lain tidak terganggu dengan gerakan-gerakan mereka, asalkan tidak menimbulkan suara-suara yang berisik. Namun saya yakin, pendengaran mereka jauh lebih fokus dibanding orang biasa yang penglihatannya masih normal.
Pemandangan selanjutnya yang saya ceritakan disini, (sebenarnya masih banyak pemandangan unik, namun tidak semua bisa saya ceritakan) yaitu ketika saya melihat ada seorang tunanetra yang membawa buku berukuran A4 yang di sampulnya bertuliskan "AL QUR'AN BRAILLE JUZ 1". Saya yang penasaran meminjam buku tersebut, kemudian melihat bagian dalamnya. Demi Allah, tidak ada yang bisa saya baca, semuanya berwarna putih, yang ada hanya tonjolan-tonjolan berlubang yang menyusun pola-pola tertentu. Ketika saya tanya bagaimana cara membacanya. Kemudian dipraktekkan oleh si bapak tunanetra tersebut, dengan menempelkan jarinya di bagian-bagian tonjolan tersebut, kemudian baru dia menyampaikan apa yang ia baca. Saya membayangkan apabila saya harus membaca dengan cara itu, tentu sangat sulit. Untuk membaca satu baris mereka membutuhkan waktu sekitar 3 kali lebih lama dibanding orang normal. Namun, begitulah usaha yang harus mereka lakukan. Dan yang dinilai oleh Allah adalah usaha manusia. Bisa jadi mereka khatam 1 juz itu sebanding dengan kita yang mengkhatamkan 30 juz. Hikmah selanjutnya, yaitu perintah Allah untuk membaca "Iqra'" itu ternyata tidak hanya untuk orang yang berpenglihatan normal saja, tapi kepada seluruh manusia. Karena masing-masing orang memiliki cara membaca yang berbeda-beda. Tunanetra membaca dengan meraba, dan orang normal tidak bisa memahaminya dengan mudah. Penglihatan yang kita miliki tidak lebih dari sekadar modal dan ujian bagi kita apakah kita mampu untuk berusaha sebaik mungkin untuk bertakwa sesuai dengan anugerah yang diberikan oleh Allah, dan tentu harus dipertanggungjawabkan di akhirat kelak. Dan berbeda dengan tunanetra yang lepas satu kewajibannya untuk mempertanggungjawabkan penglihatannya.
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa
kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama
Islam. (Ali Imran: 102)
Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan. "Sesungguhnya jika kamu
bersyukur, pasti Kami akan menambah (ni'mat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari
(ni'mat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih". (Ibrahim: 7)