Selasa, 10 Desember 2013
Piktograf
Anda pernah menonton film The Croods? Film tersebut menceritakan tentang satu keluarga manusia gua, yang kemudian bertemu dengan seorang manusia cerdas, dan memperoleh banyak pengetahuan baru tentang cara bertahan hidup. Dalam film itu diceritakan keluarga Grug sering mendengarkan cerita yang dibawakan oleh Grug sendiri sebagai kepala keluarga. Ia menggunakan media dinding gua untuk menggambarkan ceritanya. Dengan menggambar di dinding gua. Nah, gambar atau lukisan tersebut disebut Piktograf.
Piktograf ialah gambar atau lukisan yang dibuat di atas batu. Piktograf tidak sama dengan ukiran pada batuan (petroglif). berikut ini adalah beberapa foto piktograf yang ditemukan di gua-gua di seluruh dunia yang diperkirakan merupakan tempat tinggal hominid ribuan tahun lalu sebelum masa manusia modern, yang kemungkinan salah satunya adalah gambar hasil karya Grug :)
1. Cave of the Hands, Argentina
Cueva de las Manos (Bahasa Spanyol dari Cave of the Hands) adalah deretan gua-gua di Argentina yang di dalamnya terdapat gambar karya manusia purba yang berumur sekitar 9000 tahun yang lalu. Dinding gua di foto berikut merupakan salah satu dari dinding gua yang tergambar oleh siluet tangan. Diperkirakan gambaran siluet tangan tersebut dibuat dengan menempelkan tangan pada dinding kemudian disemprotkan semacam cairan ke atas tangan. Cueva de las Manos saat ini sudah termasuk ke dalam UNESCO World Heritage Site. Image by edurivero © iStockphoto.com.
Tidak semua gambar di gua ini berupa siluet tangan. Ditemukan juga beberapa gambar berupa desain geometri, hewan, pemburu, dan senjata. Zat warna yang digunakan ialah oksida besi (merah), kaolin (putih), natrojarosite (kuning), dan oksida mangan (hitam). Image by edurivero © iStockphoto.com.
2. Ontario, Canada
"Two Figures" dari piktograf di Agawa Rock, Lake Superior Provincial Park, Ontario, Canada. Image by David Lewis © iStockphoto.com.
3. Canyon de Chelly, Arizona
Piktograf dan petroglif karya manusia Amerika di Canyon de Chelly National Monument. Image by Karen Parker © iStockphoto.com.
4. Aruba
Piktograf purba di sebuah gua di pulau Aruba. Image by zinchik © iStockphoto.com.
5. Namibia
Piktograf tentang suku bushmen dari Gurun Namibia. Image by Jan Derksen © iStockphoto.com.
6. Australia
Piktograf Aborigin yang dibuat oleh manusia Gagudju, Australia Utara. Gambar ini diyakini berumur 5000 tahun. Image by Matthew Scherf © iStockphoto.com.
7. Afrika Selatan
Piktograf pada sebuah dinding batu di Drakensberg, Afrika Selatan. Image by Henk Badenhorst © iStockphoto.com.
Gambar pemburu pada dinding gua di Cedeberg, Afrika Selatan. Gambar ini diperkirakan berumur 1500 tahun. Image by skilpad © iStockphoto.com.
8. Brazil
Piktograf yang dilukis pada gua Monte Alegre, Brazil. Image by Brasil2 © iStockphoto.com.
9. Utah
Piktograf yang menunjukkan orang-orang Fremont, dan kebudayaannya. Image by Andrea Gingerich © iStockphoto.com.
Piktograf tangan orang Amerika asli, di Canyonlands National Park, Utah, AS. Image by Andrea Gingerich © iStockphoto.com.
10. British Columbia, Kanada
Piktograf yang dilukis di tebing dekat Danau Vaseux, British Columbia, Kanada. Image by Laure Neish © iStockphoto.com.
11. Meksiko
Piktograf di Meksiko. Image by Juan Rodriguez © iStockphoto.com.
12. Nevada
Piktograf yang dibuat oleh orang asli Amerika di Red Rock Canyon, Nevada, AS. Image by Robert Maxwell © iStockphoto.com.
Sumber: http://geology.com/articles/petroglyphs/more-pictographs.shtml
Rabu, 27 November 2013
Menyikapi Pemurtadan
Semakin maraknya berita tentang pemurtadan Umat Islam, memunculkan kekhawatiran tersendiri di kalangan umat Islam yang masih peduli dengan agama Islam dan juga akidah umat Islam. Sebagaimana kasus-kasus pemurtadan yang dimuat dalam media ini: http://www.arrahmah.com/read/2010/12/30/10494-inilah-kasus-kasus-kristenisasi-di-balik-insiden-ciketing.html#ixzz19ZPDvLpK
Islam
sebagai dien yang sempurna memiliki solusi terhadap semua permasalahan
kehidupan manusia. Dalam kasus pemurtadan, Islam memberi solusi sebagai berikut:
1. Dengan penerapan pendidikan Islam di keluarga dan tengah-tengah masyarakat, dan sekolah, dari level sekolah dasar hingga menengah, yang tidak mungkin dilakukan kecuali oleh negara. Sangat berbeda dengan kondisi sekarang dimana sekolah-sekolah negeri yang notabene sekolah mayoritas hanya memberi peluang pendidikan agama yang sangat sedikit.
Bayangkan kalau saat ini tidak ada pesantren atau madrasah yang diadakan oleh perseorangan. Akan lebih banyak kasus pemurtadan yg terjadi. http://konsultasi.wordpress.com/.../kedudukan-orang.../
2. Dengan pemberlakuan sanksi bagi orang-orang yang murtad. Yang juga tidak mungkin dilakukan kecuali oleh negara. dengan adanya sanksi umat Islam akan lebih berhati-hati ketika akan melakukan kesalahan, termasuk murtad. http://konsultasi.wordpress.com/.../hukuman-mati-bagi.../
3. Dengan pelarangan syiar agama orang kafir di ruang-ruang publik, sehingga umat Islam tidak mudah tertarik dengan ajaran agama lain. Dan hal ini juga tidak mungkin dilakukan kecuali oleh negara. http://konsultasi.wordpress.com/.../imlek-adalah-hari.../
Dari 3 cara di atas, hal yang dapat kita lakukan saat ini hanyalah membentengi diri dan keluarga kita dengan pendidikan Islam. Sementara solusi lain tidak dapat dilakukan, karena tidak adanya pihak pemerintah yang berkomitmen untuk menerapkan Islam di tengah-tengah masyarakat.
Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa adanya negara dan pemerintahan yang berkomitmen menerapkan Islam, merupakan rukun bagi diterapkannya Islam di tengah masyarakat. Dan negara serta pemerintahan yang seperti itu tidak dapat tegak kecuali dengan adanya sokongan dari umat Islam.
Sehingga menjadi kewajiban bagi kita selaku umat Islam untuk memperjuangkan agar negara dan pemerintahan yang menerapkan Islam dapat terwujud.
Bersatu, bergerak, terapkan Syariah, tegakkan Khilafah!
wallahu a'lam
1. Dengan penerapan pendidikan Islam di keluarga dan tengah-tengah masyarakat, dan sekolah, dari level sekolah dasar hingga menengah, yang tidak mungkin dilakukan kecuali oleh negara. Sangat berbeda dengan kondisi sekarang dimana sekolah-sekolah negeri yang notabene sekolah mayoritas hanya memberi peluang pendidikan agama yang sangat sedikit.
Bayangkan kalau saat ini tidak ada pesantren atau madrasah yang diadakan oleh perseorangan. Akan lebih banyak kasus pemurtadan yg terjadi. http://konsultasi.wordpress.com/.../kedudukan-orang.../
2. Dengan pemberlakuan sanksi bagi orang-orang yang murtad. Yang juga tidak mungkin dilakukan kecuali oleh negara. dengan adanya sanksi umat Islam akan lebih berhati-hati ketika akan melakukan kesalahan, termasuk murtad. http://konsultasi.wordpress.com/.../hukuman-mati-bagi.../
3. Dengan pelarangan syiar agama orang kafir di ruang-ruang publik, sehingga umat Islam tidak mudah tertarik dengan ajaran agama lain. Dan hal ini juga tidak mungkin dilakukan kecuali oleh negara. http://konsultasi.wordpress.com/.../imlek-adalah-hari.../
Dari 3 cara di atas, hal yang dapat kita lakukan saat ini hanyalah membentengi diri dan keluarga kita dengan pendidikan Islam. Sementara solusi lain tidak dapat dilakukan, karena tidak adanya pihak pemerintah yang berkomitmen untuk menerapkan Islam di tengah-tengah masyarakat.
Dengan demikian dapat kita ketahui bahwa adanya negara dan pemerintahan yang berkomitmen menerapkan Islam, merupakan rukun bagi diterapkannya Islam di tengah masyarakat. Dan negara serta pemerintahan yang seperti itu tidak dapat tegak kecuali dengan adanya sokongan dari umat Islam.
Sehingga menjadi kewajiban bagi kita selaku umat Islam untuk memperjuangkan agar negara dan pemerintahan yang menerapkan Islam dapat terwujud.
Bersatu, bergerak, terapkan Syariah, tegakkan Khilafah!
wallahu a'lam
Sabtu, 23 November 2013
Pulau Baru untuk Jepang
Wilayah Jepang bertambah luas dengan terbentuknya gunungapi yang menjadi pulau baru sekitar 900 km di selatan Tokyo.
Pulau tersebut berdiameter sekitar 200 m, berdasarkan laporan pengawas pantai Jepang. Pualu baru tersebut berdekatan dengan pesisir pulau Nishinoshima, sebuah pulau kecil yang merupakan salah satu anggota dari Kepulauan Bonin, atau rangkaian pulau Ogasawara.
Yoshihide Suga, mewakili pemerintah Jepang menyatakan bahwa mereka akan menunggu berapa lama pulau tersebut dapat bertahan di permukaan, baru kemudian akan memberi nama pulau tersebut. Sebab pulau yang baru akan cenderung tenggelam kembali dalam waktu singkat ketika menerima hempasan gelombang.
“Jika pulau tersebut bisa tumbuh menjadi sebuah pulau yang sempurna, maka kami akan sangat bahagia mendapatkan tambahan luas territorial,” Suga menanggapi pertanyaan pres.
Kamis (21/11), pengawas pesisir Jepang merilis video terkait pulau baru tersebut, yang tertutupi oleh gulungan asap dan uap air. Video tersbut menunjukkan debu dan blok vulkanik yang dierupsikan keluar dari kawah di dekat permukaan laut.
Hiroshi Ito, ahli volkanologi, menyatakan bahwa masih belum bisa dipastikan apakah pulau tersebut akan menjadi pulau yang permanen atau akan kembali tenggelam di bawah permukaan laut.
Jepang sendiri merupakan suatu deretan kepulauan dari ribuan pulau, meskipun sebagian besar penduduk Jepang tinggal di pulau yang paling besar. Jepang sangat dikenali dengan aktivitas vulkanik dan kegempaan yang sangat tinggi, dan juga merupakan salah satu rangkaian dari rangkaian besar Cincin Api (Ring of Fire), yang mengelilingi sebagian besar dari Samudera Pasifik.
Secara tektonik, daerah yang aktif di Cincin Api ini ialah pesisir timur Asia dan sisi barat Amerika Utara dan Selatan. Cincin Api ini juga yang memicu erupsi vulkanik besar di St. Helens di Washington dan Pinatubo di Filipina.
Adapun gunungapi yang membentuk pulau termuda dari
Jepang, terakhir bererupsi pada pertengahan 1970-an, di sepanjang Palung
Ogasawara-Mariana.
Sumber: http://news.nationalgeographic.com/news/2013/11/131121-japan-volcano-new-island-eruption-science/
Minggu, 17 November 2013
Hukum Islam Seputar Suap dan Hadiah Kepada Pegawai
Oleh : KH. M. Shiddiq Al Jawi
Hukum Suap
Suap (Arab: ar risywah, boleh dibaca ar rasywah atau ar rusywah) adalah harta yang diberikan kepada setiap pemilik kewenangan (shahibus shalahiyah) untuk mewujudkan suatu kepentingan (mashlahah) yang semestinya wajib diwujudkan tanpa pemberian harta dari pihak yang berkepentingan. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/334; Abdul Qadim Zallum, AI Amwal fi Daulah Al Khilafah, him. 118; Rawwas Qal’ah Jie, Mujam Lughah Al Fuqoha, him. 171; Al Mausu’ah AI Fiqhiyyah, 22/219).
Semua jenis suap haram hukumnya, baik sedikit maupun banyak, baik untuk memperoleh manfaat maupun menolak mudharat, baik untuk memperoleh yang hak maupun yang batil, baik untuk menghilangkan kezaliman maupun untuk melakukan kezaliman. Semua jenis suap haram hukumnya, berdasarkan keumuman hadits-hadits yang mengharamkan suap.
Dari Abdullah bin ‘Amr RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Laknat Allah atas setiap orang yang memberi suap dan yang menerima suap.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Dari Tsauban RA, bahwa Rasulullah SAW telah melaknat setiap orang yang memberi suap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantara di antara keduanya. (HR Ahmad). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/334; Abdul Qadim Zallum, Al Amwal fi Daulah Al Khilafah, him.118).
Maka dari itu, haram hukumnya pegawai menerima suap dalam bentuk apapun demi suatu kepentingan yang semestinya terlaksana tanpa pembayaran dari pihak-pihak yang berkepentingan. Misalnya, suap kepada polisi lalu lintas yang diberikan oleh pelanggar lalu lintas agar tidak didenda/ditilang. Suap yang diberikan orang tua murid kepada kepala sekolah agar anaknya yang tidak naik kelas bisa naik kelas. Suap yang diberikan oleh perusahaan kepada pejabat yang akan menentukan pemenang tender. Suap yang diberikan kepada pegawai/pejabat untuk memperlancar urusannya, seperti pengurusan SIM, KTP, surat-surat perizinan, padahal pegawai/pejabat itu sudah digaji untuk melaksanakan urusan tersebut, dan sebagainya. Semua contoh ini adalah suap dan setiap suap hukumnya adalah haram dan merupakan dosa besar (al kaba`ir). Na’uzhu billah min zhalik.
Hukum Hadiah
Hadiah di sini mirip dengan suap yang dijelaskan di atas. Hanya saja ada sedikit perbedaan. Suap biasanya diberikan sebelum suatu kepentingan terwujud. Sedangkan hadiah, diberikan manakala suatu kepentingan telah terwujud, dengan harapan agar terwujud hubungan baik demi kepentingan lain di masa yang akan datang.
Syariah Islam menegaskan, haram hukumnya seseorang pegawai menerima hadiah yang mempunyai kaitan dengan tugas atau jabatannya. Jabatan di sini maksudnya adalah kewenangan (otoritas) yang dimiliki seorang pegawai/pejabat untuk menentukan sesuatu kepentingan umum tertentu. (Taqiuddin An-Nabhani, Al-Syakhsiyah Al-Islamiyah, Juz II/334; Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, hal. 119).
Banyak dalil-dalil syariah yang menegaskan haramnya pegawai menerima hadiah. Diriwayatkan daripada Jabir bin Abdullah RA bahwa Nabi SAW bersabda,“Hadiah-hadiah yang diberikan kepada para pemimpin adalah harta khianat (hadaya al-umara` ghulul).” (HR Thabrani dalam Al-Awsath no 5126. Dalam Majma’ Az-Zawaid Juz IV/151 Imam Al-Haitsami berkata,”Sanad hadis ini hasan”).
Diriwayatkan daripada Buraidah RA bahwa Nabi SAW bersabda,”Barangsiapa yang telah kami angkat untuk melakukan sesuatu tugas, lalu dia telah kami beri gaji, maka apa saja yang diambilnya selain daripada gaji adalah harta khianat (ghulul).” (HR Abu Dawud no 2554. Hadis sahih, lihat Nasiruddin Al-Albani, Sahih At-Targhib wa At-Tarhib, Juz I/191).
Diriwayatkan dari Abu Hamid As-Sa’idi RA bahwa Nabi SAW pernah mengutuskan Ibnu Lutbiyah untuk mengumpulkan zakat dari Bani Sulaim. Setelah menyelesaikan tugasnya, Ibnu Lutbiyah berkata kepada Nabi SAW,”Ini zakat yang saya kumpulkan, saya serahkan kepada Anda. Sedangkan ini adalah hadiah yang diberikan orang kepada saya.” Maka Nabi SAW bersabda,“Mengapa kamu tidak duduk-duduk saja di rumah ayahmu atau ibumu hingga hadiah itu datang kepadamu jika kamu memang benar?” (HR Bukhari no 6464).
Imam Taqiuddin An-Nabhani menjelaskan,”Ketiga hadis di atas dengan jelas menunjukkan bahwa hadiah yang diberikan kepada pegawai yang melaksanakan tugas umum adalah haram, baik yang diberikan sebelum dia menetapkan kebijakan tertentu ataupun sesudahnya, atau diberikan karena dia adalah pemegang kebijakan dalam urusan tertentu, atau diberikan karena dia adalah orang yang berpengaruh terhadap penguasa. Semuanya adalah haram.” (Al-Syakhsiyah Al-Islamiyah, Juz II/338).
Yang dikecualikan dari keharaman ini adalah hadiah kepada pegawai yang diberikan bukan karena tugas atau jabatannya. Contohnya karena hubungan pribadi antara seseorang dengan pegawai sejak sebelum dia menjadi pegawai, sehingga telah terbiasa memberi hadiah. Hadiah seperti ini boleh (mubah) hukumnya.
Dalilnya sabda Nabi SAW di atas, “Mengapa kamu tidak duduk-duduk saja di rumah ayahmu atau ibumu hingga hadiah itu datang kepadamu jika kamu memang benar?” (HR Bukhari). Dari hadis ini, dapat ditarik pemahaman yang sebaliknya yang tersirat (mafhum mukhalafah), yakni kalau hadiah itu datang kepada seseorang sedangkan ia duduk-duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, maka hadiah itu dibolehkan.
Artinya, jika hadiah itu diberikan tidak mempunyai kaitan dengan tugas atau jabatan, tetapi karena adanya hubungan pribadi sebelumnya, hukumnya boleh (mubah), tidak haram. Maka dari itu, jika kita sudah terbiasa memberi hadiah kepada seseorang sebelum dia menjadi pegawai, maka jika suatu hari dia menjadi pegawai, kita tetap dibolehkan untuk memberinya hadiah. (Taqiuddin An-Nabhani, Al-Syakhsiyah Al-Islamiyah, Juz II/338). Wallahu a’lam.[]
Hukum Suap
Suap (Arab: ar risywah, boleh dibaca ar rasywah atau ar rusywah) adalah harta yang diberikan kepada setiap pemilik kewenangan (shahibus shalahiyah) untuk mewujudkan suatu kepentingan (mashlahah) yang semestinya wajib diwujudkan tanpa pemberian harta dari pihak yang berkepentingan. (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/334; Abdul Qadim Zallum, AI Amwal fi Daulah Al Khilafah, him. 118; Rawwas Qal’ah Jie, Mujam Lughah Al Fuqoha, him. 171; Al Mausu’ah AI Fiqhiyyah, 22/219).
Semua jenis suap haram hukumnya, baik sedikit maupun banyak, baik untuk memperoleh manfaat maupun menolak mudharat, baik untuk memperoleh yang hak maupun yang batil, baik untuk menghilangkan kezaliman maupun untuk melakukan kezaliman. Semua jenis suap haram hukumnya, berdasarkan keumuman hadits-hadits yang mengharamkan suap.
Dari Abdullah bin ‘Amr RA, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Laknat Allah atas setiap orang yang memberi suap dan yang menerima suap.” (HR Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi, dan Ibnu Majah).
Dari Tsauban RA, bahwa Rasulullah SAW telah melaknat setiap orang yang memberi suap, yang menerima suap, dan yang menjadi perantara di antara keduanya. (HR Ahmad). (Taqiyuddin An Nabhani, Al Syakhshiyyah Al Islamiyyah, 2/334; Abdul Qadim Zallum, Al Amwal fi Daulah Al Khilafah, him.118).
Maka dari itu, haram hukumnya pegawai menerima suap dalam bentuk apapun demi suatu kepentingan yang semestinya terlaksana tanpa pembayaran dari pihak-pihak yang berkepentingan. Misalnya, suap kepada polisi lalu lintas yang diberikan oleh pelanggar lalu lintas agar tidak didenda/ditilang. Suap yang diberikan orang tua murid kepada kepala sekolah agar anaknya yang tidak naik kelas bisa naik kelas. Suap yang diberikan oleh perusahaan kepada pejabat yang akan menentukan pemenang tender. Suap yang diberikan kepada pegawai/pejabat untuk memperlancar urusannya, seperti pengurusan SIM, KTP, surat-surat perizinan, padahal pegawai/pejabat itu sudah digaji untuk melaksanakan urusan tersebut, dan sebagainya. Semua contoh ini adalah suap dan setiap suap hukumnya adalah haram dan merupakan dosa besar (al kaba`ir). Na’uzhu billah min zhalik.
Hukum Hadiah
Hadiah di sini mirip dengan suap yang dijelaskan di atas. Hanya saja ada sedikit perbedaan. Suap biasanya diberikan sebelum suatu kepentingan terwujud. Sedangkan hadiah, diberikan manakala suatu kepentingan telah terwujud, dengan harapan agar terwujud hubungan baik demi kepentingan lain di masa yang akan datang.
Syariah Islam menegaskan, haram hukumnya seseorang pegawai menerima hadiah yang mempunyai kaitan dengan tugas atau jabatannya. Jabatan di sini maksudnya adalah kewenangan (otoritas) yang dimiliki seorang pegawai/pejabat untuk menentukan sesuatu kepentingan umum tertentu. (Taqiuddin An-Nabhani, Al-Syakhsiyah Al-Islamiyah, Juz II/334; Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, hal. 119).
Banyak dalil-dalil syariah yang menegaskan haramnya pegawai menerima hadiah. Diriwayatkan daripada Jabir bin Abdullah RA bahwa Nabi SAW bersabda,“Hadiah-hadiah yang diberikan kepada para pemimpin adalah harta khianat (hadaya al-umara` ghulul).” (HR Thabrani dalam Al-Awsath no 5126. Dalam Majma’ Az-Zawaid Juz IV/151 Imam Al-Haitsami berkata,”Sanad hadis ini hasan”).
Diriwayatkan daripada Buraidah RA bahwa Nabi SAW bersabda,”Barangsiapa yang telah kami angkat untuk melakukan sesuatu tugas, lalu dia telah kami beri gaji, maka apa saja yang diambilnya selain daripada gaji adalah harta khianat (ghulul).” (HR Abu Dawud no 2554. Hadis sahih, lihat Nasiruddin Al-Albani, Sahih At-Targhib wa At-Tarhib, Juz I/191).
Diriwayatkan dari Abu Hamid As-Sa’idi RA bahwa Nabi SAW pernah mengutuskan Ibnu Lutbiyah untuk mengumpulkan zakat dari Bani Sulaim. Setelah menyelesaikan tugasnya, Ibnu Lutbiyah berkata kepada Nabi SAW,”Ini zakat yang saya kumpulkan, saya serahkan kepada Anda. Sedangkan ini adalah hadiah yang diberikan orang kepada saya.” Maka Nabi SAW bersabda,“Mengapa kamu tidak duduk-duduk saja di rumah ayahmu atau ibumu hingga hadiah itu datang kepadamu jika kamu memang benar?” (HR Bukhari no 6464).
Imam Taqiuddin An-Nabhani menjelaskan,”Ketiga hadis di atas dengan jelas menunjukkan bahwa hadiah yang diberikan kepada pegawai yang melaksanakan tugas umum adalah haram, baik yang diberikan sebelum dia menetapkan kebijakan tertentu ataupun sesudahnya, atau diberikan karena dia adalah pemegang kebijakan dalam urusan tertentu, atau diberikan karena dia adalah orang yang berpengaruh terhadap penguasa. Semuanya adalah haram.” (Al-Syakhsiyah Al-Islamiyah, Juz II/338).
Yang dikecualikan dari keharaman ini adalah hadiah kepada pegawai yang diberikan bukan karena tugas atau jabatannya. Contohnya karena hubungan pribadi antara seseorang dengan pegawai sejak sebelum dia menjadi pegawai, sehingga telah terbiasa memberi hadiah. Hadiah seperti ini boleh (mubah) hukumnya.
Dalilnya sabda Nabi SAW di atas, “Mengapa kamu tidak duduk-duduk saja di rumah ayahmu atau ibumu hingga hadiah itu datang kepadamu jika kamu memang benar?” (HR Bukhari). Dari hadis ini, dapat ditarik pemahaman yang sebaliknya yang tersirat (mafhum mukhalafah), yakni kalau hadiah itu datang kepada seseorang sedangkan ia duduk-duduk saja di rumah ayahnya atau ibunya, maka hadiah itu dibolehkan.
Artinya, jika hadiah itu diberikan tidak mempunyai kaitan dengan tugas atau jabatan, tetapi karena adanya hubungan pribadi sebelumnya, hukumnya boleh (mubah), tidak haram. Maka dari itu, jika kita sudah terbiasa memberi hadiah kepada seseorang sebelum dia menjadi pegawai, maka jika suatu hari dia menjadi pegawai, kita tetap dibolehkan untuk memberinya hadiah. (Taqiuddin An-Nabhani, Al-Syakhsiyah Al-Islamiyah, Juz II/338). Wallahu a’lam.[]
Senin, 04 November 2013
Adab: Agar Akal Kuat
Para ulama salafusshalih terkenal memiliki akal yang tajam dan daya ingat yang kuat. Dalam keluarga mereka, paling
kurang seorang dari anggotanya, mestilah merupakan penghafal al- Qur’an. Imam Syafi’i misalnya
sudah menjadi hafizh sejak usia belia. Adapula yang menghapal puluhan ribu
hadits, contohnya Imam Ahmad bin Hambal. Apa sebenarnya rahasia kekuatan akal
mereka?
Dengan mengacu pada al-Qur’an dan sunnah, para ulama sepakat bahwa secara umum syarat utama untuk mempunyai akal yang sehat dan kuat ialah menjauhi segala maksiat. Masih banyak nasihat lain yang menurut ahli-ahli etika Islam dapat menguatkan akal kita,di antaranya sebagai berikut:
Dengan mengacu pada al-Qur’an dan sunnah, para ulama sepakat bahwa secara umum syarat utama untuk mempunyai akal yang sehat dan kuat ialah menjauhi segala maksiat. Masih banyak nasihat lain yang menurut ahli-ahli etika Islam dapat menguatkan akal kita,di antaranya sebagai berikut:
Dari segi jasmani
- Hanya makan makanan yang halal dan thayyib (baik)
- Banyak makan makanan yang bergizi
- Tidak makan berlebihan
- Makan makanan yang manis-manis seperti kismis, kurma, dan madu
- Makan daging kambing (bagi yang tidak darah tinggi)
- Banyak makan buah-buahan dan susu
- Minuman yang di dalamnya terdapat semut
- Tidak terlalu banyak makan makanan yang masam
- Tidak tidur setelah shalat subuh, ashar, dan magrib
- Menjaga kebersihan dalam semua aspek terutama gigi dengan bersiwak (menggosok gigi) setiap kali waktu shalat, atau sekurang–kurangnya dua kali sehari
Dari segi kejiwaan
- Perbanyak berinteraksi dengan al–Qur’an, baik membaca maupun men–tadabbur (menelaah) isinya
- Selalu mengingingat Allah dalam setiap keadaan dan tempat
- Selalu mengingat kematian
- Sering–sering memikirkan kondisi ummat dalam rangka dawah
- Jangan sia-siakan waktu untuk hal–hal yang tidak bermanfaat
- Banyak membaca buku, khususnya tentang kecerdasan dan manajemen pikiran
- Bergaul dengan jama’ah orang–orang shalih
- Sering–sering melakukan tafakkur alam (berpikir dan merenung tentang keagungan alam semesta)
- Berusaha melatih diri untuk menuangkan gagasan dalam tulisan
- Melatih pikiran dengan mempelajari ilmu logika dan berdiskusi
(Sumber: Majalah Suara Hidayatullah)
Jumat, 25 Oktober 2013
Bijak Memandang Demokrasi
Demokrasi telah menjadi istilah
yang sangat diagungkan dalam sejarah pemikiran manusia tentang tatanan
sosio-politik yang ideal. Bahkan, mungkin untuk pertama kali dalam
sejarah, demokrasi dinyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar
untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang diperjuangkan oleh
pendukung-pendukungnya yang ‘berpengaruh’. Kedudukan yang sentral dari
demokrasi ini telah meluluhlantakkan teori-teori lainnya mengenai
tatanan kekuasaan baik yang pernah ditawarkan oleh kalangan filsuf, ahli
hukum, dan pakar ilmu politik hingga awal millennium ketiga ini.
Kepercayaan yang kuat atas sempurnanya teori politik demokrasi belum dapat tergoyahkan secara sosiologis, filisosofis, maupun dalam format yuridis ketatanegaraan. Kedudukan sentral ini bahkan semakin menguat diiringi konsep-konsep lain, seperti human rights, civil society, maupun konsep good governance, yang pada akhirnya menegaskan posisi teori demokrasi sebagai konsep terbaik yang pernah dicapai oleh pemikiran manusia.
Demokrasi dipercayai sebagai gagasan universal yang dapat diterima oleh ragam perspektif. Demokrasi telah menjadi obsesi sejumlah masyarakat non-Barat sejak awal abad ke-20. Banyak wilayah jajahan Barat di Asia dan Afrika mulai bergerak untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi di dalam masyarakat. Dengan “senjata” demokrasi yang diperoleh melalui pendidikan Barat, para pemuka masyarakat wilayah jajahan ingin mengembangkan nilai demokrasi yang akan digunakan untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Di (zaman) Hindia Belanda, gejala seperti ini dinamakan Kebangkitan Nasional.
Gambaran ini tidak hanya terjadi dalam sejarah kebangkitan Indonesia. Hampir di seluruh belahan dunia, gerakan demokratisasi kehidupan politik telah menjadi fenomena yang tak terelakkan dalam mengubah persepsi sejarah tentang bagaimana menyelenggarakan kekuasaan secara etis, rasional, dan bertanggung jawab. Jelas bahwa demokrasi mempunyai potensi untuk memberikan yang terbaik bagi manusia, terutama dalam melindungi hak-hak individu dalam menghadapi kekuasaan-kekuasaan yang lebih perkasa, seperti kekuasaan Negara dan pemerintah, misalnya.
Legitimasi dan Kedaulatan
Filsafat politik pada hakikatnya menuntut agar segala klaim (legitimate authority) atas hak untuk menata masyarakat (yang dimiliki oleh pemerintah Negara), dapat dipertanggungjawabkan di hadapan akal dan hati kemanusiaan. Tanpa legtimasi yang rasional dan objektif, suatu pemerintahan Negara tidak akan mungkin berjalan efektif. Dalam hal ini rezim pemerintahan yang memiliki etika politik sudah semestinya berdiri tegak di atas legitimasi yang kokoh. Legitimasi yang kokoh ini tidak hanya bersifat sosiologis – dalam arti mendapat pengakuan masyarakat – dan bersifat yuridis, dalam arti berlaku sebagai hukum positif dalam format yuridis ketatanegaraan tertentu, melainkan lebih dalam lagi: legitim (absah) secara etis-filosofis.
Demokrasi sebagai tatanan politik memiliki sejarah yang amat panjang. Keberadaan ide demokrasi telah berlangsung sejak 508 tahun sebelum masehi dan hingga kini masih diyakini terus akan berevolusi sesuai dengan perkembangan zaman. Survei tentang demokrasi meliputi kawasan di seluruh dunia, model-model demokrasi telah dibukukan serta pola-pola yang memungkinkan berkembangnya demokrasi telah diuraikan, namun teori politik yang dipercayai sebagai etika politik mdern ini masih terus mengalami perkembangan serius dalam penafsiran dan implementasi dari prinsip-prinsip dasarnya.
Pembahasan mengenai demokrasi akan menyentuh apa yang disebut kedaulatan rakyat. Teori kedaulatan rakyat lahir secara kontroversial dalam panggung politik sejarah kekuasaan Negara. Ide dasarnya sangat sederhana, bahwa rakyatlah yang harus menjadi sumber kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara – yang lain, tidak. Rakyat berkuasa independen atas dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ‘rakyat’ dapat berkuasa atas dirinya sendiri dan dapat memerintah sendiri? Dalam suatu zaman yang hanya dilingkupi oleh kekuasaan para penguasa yang menyebut dirinya sebagai raja atau kaisar, pikiran untuk menempatkan rakyat sebagai penguasa tertinggi atau pemegang kedaulatan adalah suatu pikiran yang gila dan mustahil. Namun demikian, gagasan kedaulatan rakyat ini kemudian terus berkembang dalam diskusi teori kenegaraan dan juga praktik trial and error baik di Perancis, Amerika, hingga akhirnya diikuti oleh hampir seluruh Negara di dunia. Arus deras demokrasi sebagai istilah yang menunjukkan kekuasaan rakyat telah merombak struktur monarki, minimal menjadi monarki parlementer atau menjadi hancur sama sekali digantikan dengan sistem Republik Demokrasi.
Timbulnya teori kedaulatan rakyat ini jelas sebagai reaksi atas teori kedaulatan raja yang kebanyakan menghasilkan monopoli dan penyimpangan kekuasaan yang akhirnya menyebabkan tirani dan kesengsaraan bagi rakyat. Ada indikasi kuat bahwa paham kedaulatan rakyat atau ide demokrasi itu telah membawa secara inheren semangat sekularisme dan antroposentrisme. Hal ini disebabkan oleh paradigma baru yang dibawa oleh demokrasi adalah suatu pembangkangan terhadap legitimasi kedaulatan Tuhan yang diatasnamakan oleh raja sebagai pendasaran kekuasaannya, sehingga tak luput untuk dimengerti bahwa sekularisme dan antroposentrisme merupakan ciri yang melekat pada demokrasi, khususnya demokrasi ‘barat’.
Kebebasan Berpartisipasi
Pada awal sejarahnya demokrasi hanya dimengerti lewat model partisipasi politik langsung yang melibatkan seluruh warga yang sudah dewasa dalam suatu proses politik. Proses politik penataan kehidupan bersama ini dikelola secara bersama, dan inilah yang dinamakan oleh Aristoteles sebagai bentuk Negara ideal ‘politeia’, atau yang secara modern disebut oleh Robert A. Dahl sebagai ‘polyarchy’ sebagai ganti dari istilah yang kemudian lebih popular dengan sebutan demokrasi yang meluas. Jadi, ciri utama demokrasi purba itu adalah adanya pengelolaan bersama oleh seluruh warga polis (Negara kota/city state) yang jumlah penduduknya relatif kecil.
Pelibatan hampir seluruh warga polis dalam proses penataan Negara ini belum melahirkan suasana kebebasan dan kesamaan yang menyeluruh bagi seluruh warga Negara Yunani purba pada waktu itu. Hal ini terbukti dengan masih adanya diskriminasi politik yang meminggirkan hak kaum perempuan dan kalangan budak, maupun anak-anak. Perempuan dan budak dianggap tidak memiliki hak dalam partisipasi politik pengelolaan Negara. Mereka tidak memiliki kebebasan yang penuh dan tidak dipandang sama statusnya baik di hadapan hukum maupun ‘pemerintahan bersama’ waktu itu. Naum demikian, nilai kebebasan dan kesamaan (persamaan) hak mengeluarkan pendapat itu dipraktikkan secara relatif baik pada seluruh warga polis yang dewasa, walaupun ada pengecualian bagi perempuan dan budak. Perempuan, budak, dan anak-anak serta orang asing tidak memiliki hak politik di dalam pengelolaan polis tersebut.
Adanya gerakan pembela hak-hak politik kaum perempuan dan adanya gerakan antiperbudakan yang terus bergulir sepanjang sejarah telah mengubah format politik. Format politik partisipatoris yang menjunjung tinggi kebebasan dan kesamaan yang menyeluruh, nondiskriminatif, telah lahir mejadi ciri dari sistem politik modern yang lebih egaliter dan beradab. Inilah yang dinamakan persemaian nilai demokrasi.
Dalam hubungannya dengan sistem politik, kebebasan politik dalam demokrasi berhubungan dengan kekuasaan ekonomi. Demokrasi adalah hasil dari perkembangan pasar bebas yang dijalankan oleh sistem kapitalis. Dengan demikian, kalau mau mendapatkan sistem politik yang demokratis, syarat yang perlu dipenuhi adalah pengembangan lembaga-lembaga ekonomi yang kapitalistis. Munculnya sistem politik yang demokratis tergantung pada taraf perkembangan kapitalismenya. Ketika kapitalisme masih belum kuat, dibutuhkan bantuan Negara untuk “menciptakan” orang-orang yang memiliki modal kuat. Baru setelah kapitalisme menjadi kuat dan mapan, Negara menjadi liberal dan kurang mencampuri kehidupan ekonomi. Kehidupan ekonomi dibiarkan diatur oleh pasar bebas. Negara hanya ikut campur bila terjadi ekses negatif yang bisa mengancam eksistensi kehidupan tersebut. Jadi, bantuan dan intervensi Negara diperlukan untuk membangun demokrasi dari tahap awal, namun setelah itu campur tangan Negara diminimalisir sesedikit mungkin, terutama dalam lapangan ekonomi.
Metodologi Demokrasi
Adapun dinamika Negara dalam bentuk demokrasi terletak pada adanya pertentangan dan pertemuan pendapat dalam masyarakat, sehingga segala keputusan berdasar pada kebenaran yang relatif bukan pada kebenaran yang mutlak. Hal inilah yang menurut pendapat E. H. Carr menunjukkan tidak adanya pegangan/pedoman yang tegas dalam demokrasi, sehingga mengakui adanya paham lain yang mungkin bertentangan dengan paham demokrasi. Bagi para sarjana aliran kebenaran relatif, bentuk demokrasi yang berdasar pada kebenaran absolut akan bersifat statis dan tidak berbeda dengan bentuk Negara monarki. Sedangkan bentuk demokrasi yang berdasar pada kebenaran relatif akan melahirkan demokrasi parlementer yang bersifat dinamis. Aliran kebenaran relatif ini ternyata lebih diterima oleh Negara-negara Eropa Barat.
Dalam mengungkapkan nilai ‘kebenaran’ dari eksistensi demokrasi, dibutuhkan metodologi. Samuel P.Huntington dalam meneliti mengenai transisi menuju sistem demokrasi antara tahun 1974 hingga tahun 1990 sampai pada kesimpulan bahwa definisi yang paling sahih dewasa ini untuk menjelaskan makna demokrasi adalah dalam pengertian yang prosedural. Sementara itu Michael Walzer juga mengatakan bahwa yang memerintah dalam demokrasi adalah orang yang de facto memenangkan persetujuan lebih besar rakyat (suara mayoritas rakyat). Inilah satu-satunya cara memperoleh dan melegitimasikan kekuasaan dalam demokrasi. Terlihat disini, legitimasi sosial-politis adalah dari rakyat terbesar (mayoritas) melalui pemungutan suara (voting) sebagai ukuran yang paling sahih dalam metode demokrasi.
Demokrasi sebagai gagagsan (ide) dan sebagai pelembagaan kekuasaan politik yang paling rasional telah nyata menawarkan suatu metode untuk menyingkirkan keragu-raguan dalam pengambilan keputusan politik. Dalam ide demokrasi, keputusan politik yang pasti hanya dapat diukur lewat prinsip suara terbanyak (majority principle). Metode kuantitatif inilah yang diharapkan dapat menghilangkan keragu-raguan dan ketidakpastian proses politik dan hukum ketatanegaraan dalam kehidupan bernegara. Walaupun demokrasi menawarkan pula nilai-nilai musyawarah, kompromi, dan konsensus (kemufakatan), tetapi hal tersebut tidaklah menjadi hal yang khas bagi demokrasi. Musyawarah sebagai medan diskusi bukanlah suatu penentu, melainkan sekadar brainstorming (curah pendapat) untuk melihat pandangan lain yang mungkin ada. Sedangkan kompromi dan konsensus, merupakan titik temu yang juga eksis karena adanya kekuatan dominan yang memengaruhi semua untuk tunduk pada satu pilihan kemungkinan.
Nilai Moral dalam Demokrasi
Adanya anggapan bahwa demokrasi sudah memiliki nilai moral bukanlah anggapan yang salah. Ukuran adanya persamaan hak dan kebebasan menentukan nasib sendiri untuk diperintah dan “memerintah” dalam struktur bernegara adalah nilai moral yang tidak dapat dipungkiri. Demokrasi juga telah memungkinkan rakyat untuk “berkuasa atas dirinya sendiri”, dalam konteks modern melalui perwakilan, tanpa melalui pemaksaan despotis dan tindakan otoriter. Di sinilah letak nilai moral dari teori politik demokrasi itu secara umum. Namun demikian, nilai di sini pada akhirnya hanya dalam batas-batas rasional kedaulatan rakyat saja, yaitu rakyat mayoritas yang memiliki hak untuk menetukan kebenaran (majority rule) dalam setiap mekanisme pengambilan keputusan. Apa yang dikehendaki oleh suara mayoritas rakyat itulah yang mesti berlaku sebagai ‘kebenaran’ yang akan diimplementasikan dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingan seluruh warga, termasuk kalangan minoritas rakyat.
Beberapa hal penting yang dapat diungkap sebagai kelemahan (vulnerabilities) prinsipil dari demokrasi adalah sebagai berikut: (1) Secara paradoksal dapat dicermati bahwa ada ketegangan kontinu antara prinsip kebebasan dan kesetaraan (kesamaan). Prinsip kesamaan berpotensi untuk merusak dan mematikan prinsip kebebasan. Sebaliknya, prinsip kebebasan juga berpotensi untuk merusak prinsip kesetaraan (persamaan); (2) Pelaksanaan prinsip kebebasan dapat merusak dan mematikan prinsip-prinsip baik lainnya yang berpotensi untuk mengembangkan kehidupan yang sehat dan beradab bagi masyarakat; (3) Metodologi demokrasi telah menempatkan faktor sosiologis kehendak mayoritas lebih signifikan daripada faktor moral. Metode tersebut membawa pada situasi kompetitif yang mengutamakan kemenangan daripada kesadaran untuk mengkonstruksi keadilan dan kebenaran yang seutuhnya. Artinya, demokrasi sangat mungkin untuk secara potensial, berkonflik dengan etika. Keabsahan secara demokratis dapat bertentangan dengan keabsahan dalam pandangan moral. Sesuatu yang demokratis tidak dapat dikatakan debagai putusan yang bermoral. Disini fenomena kekuasaan melakukan infiltrasi terhadap fenomena moral yang mencoba menjadi dasar dari tindakan dan putusan untuk berkuasa.
Akhirnya, dapat disimpulkan secara umum keluaran dari proses demokrasi tidak pernah secara pasti menjanjikan untuk mengkonstruksi kebenaran dan keadilan hakiki. Kebenaran dan keadilan yang diproduksi oleh proses demokrasi hanyalah kebenaran dan keadilan versi mayoritas. Sehingga, pelaksanaan dan implementasi selanjutnya hanyalah penyelenggaraan dari sudut kepentingan mayoritas suara.
Suara mayoritas rakyat bagaimanapun juga bukan suara Tuhan dan tidak mungkin bisa menggantikan suara Tuhan (vox populi est non vox dei), serta tidak identik pula dengan suara moral (filosofis). Mayoritas suara rakyat adalah suara awam – bukan kualitas suara kearifan intelektual atau filosofikal. Mayoritas suara awam tidak pernah bisa menghasilkan kearifan atau kebijaksanaan (wisdom). Mayoritas suara awam yang dibawa oleh elite-oligarkis yang terpilih bisa distortif. Karena pendekatan kuantitatif dan keberpihakan kepada mayoritas awam adalah prosedur tetap demokrasi, maka disinilah letak kelemahan mendasar dari demokrasi.
Demokrasi mengandung kontradiksi bawaan dalam prinsip-prinsipnya. Prinsip persamaan politik (kesetaraan) akan selalu mengancam kebebasan individu. Demikian pula sebaliknya. Kebebasan demokratis juga selalu mengancam nilai-nilai moral yang dapat membunuh peradaban.
Bagaimanapun juga, demokrasi merupakan suatu sistem politik hasil karya manusia yang sejauh ini hingga abad ke-21 dianggap paling dekat menghampiri hakikat keadilan dan kebenaran dalam masyarakat. Namun sayangnya masih saja menyisakan celah kelemahan yang sangat besar yang justru dapat menghancurkan kemanusiaan. Hal ini menunjukkan betapa rendah dan lemahnya manusia dalam merancang sesuatu, sekalipun itu sudah dimulai semenjak 26 abad yang lalu. Sehingga menjadi kewajiban bagi kita untuk merumuskan kembali pemikiran yang baru, pemikiran yang dapat membebaskan manusia pada kebebasan dan keadilan hakiki, pemikiran yang terikat pada kesadaran transendental setelah sekian lama terjebak dalam nihilisme dan kefanaan.
(Disarikan dari Filsafat Demokrasi, oleh Hendra Nurtjahjo)
Kepercayaan yang kuat atas sempurnanya teori politik demokrasi belum dapat tergoyahkan secara sosiologis, filisosofis, maupun dalam format yuridis ketatanegaraan. Kedudukan sentral ini bahkan semakin menguat diiringi konsep-konsep lain, seperti human rights, civil society, maupun konsep good governance, yang pada akhirnya menegaskan posisi teori demokrasi sebagai konsep terbaik yang pernah dicapai oleh pemikiran manusia.
Demokrasi dipercayai sebagai gagasan universal yang dapat diterima oleh ragam perspektif. Demokrasi telah menjadi obsesi sejumlah masyarakat non-Barat sejak awal abad ke-20. Banyak wilayah jajahan Barat di Asia dan Afrika mulai bergerak untuk mewujudkan nilai-nilai demokrasi di dalam masyarakat. Dengan “senjata” demokrasi yang diperoleh melalui pendidikan Barat, para pemuka masyarakat wilayah jajahan ingin mengembangkan nilai demokrasi yang akan digunakan untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan. Di (zaman) Hindia Belanda, gejala seperti ini dinamakan Kebangkitan Nasional.
Gambaran ini tidak hanya terjadi dalam sejarah kebangkitan Indonesia. Hampir di seluruh belahan dunia, gerakan demokratisasi kehidupan politik telah menjadi fenomena yang tak terelakkan dalam mengubah persepsi sejarah tentang bagaimana menyelenggarakan kekuasaan secara etis, rasional, dan bertanggung jawab. Jelas bahwa demokrasi mempunyai potensi untuk memberikan yang terbaik bagi manusia, terutama dalam melindungi hak-hak individu dalam menghadapi kekuasaan-kekuasaan yang lebih perkasa, seperti kekuasaan Negara dan pemerintah, misalnya.
Legitimasi dan Kedaulatan
Filsafat politik pada hakikatnya menuntut agar segala klaim (legitimate authority) atas hak untuk menata masyarakat (yang dimiliki oleh pemerintah Negara), dapat dipertanggungjawabkan di hadapan akal dan hati kemanusiaan. Tanpa legtimasi yang rasional dan objektif, suatu pemerintahan Negara tidak akan mungkin berjalan efektif. Dalam hal ini rezim pemerintahan yang memiliki etika politik sudah semestinya berdiri tegak di atas legitimasi yang kokoh. Legitimasi yang kokoh ini tidak hanya bersifat sosiologis – dalam arti mendapat pengakuan masyarakat – dan bersifat yuridis, dalam arti berlaku sebagai hukum positif dalam format yuridis ketatanegaraan tertentu, melainkan lebih dalam lagi: legitim (absah) secara etis-filosofis.
Demokrasi sebagai tatanan politik memiliki sejarah yang amat panjang. Keberadaan ide demokrasi telah berlangsung sejak 508 tahun sebelum masehi dan hingga kini masih diyakini terus akan berevolusi sesuai dengan perkembangan zaman. Survei tentang demokrasi meliputi kawasan di seluruh dunia, model-model demokrasi telah dibukukan serta pola-pola yang memungkinkan berkembangnya demokrasi telah diuraikan, namun teori politik yang dipercayai sebagai etika politik mdern ini masih terus mengalami perkembangan serius dalam penafsiran dan implementasi dari prinsip-prinsip dasarnya.
Pembahasan mengenai demokrasi akan menyentuh apa yang disebut kedaulatan rakyat. Teori kedaulatan rakyat lahir secara kontroversial dalam panggung politik sejarah kekuasaan Negara. Ide dasarnya sangat sederhana, bahwa rakyatlah yang harus menjadi sumber kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara – yang lain, tidak. Rakyat berkuasa independen atas dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ‘rakyat’ dapat berkuasa atas dirinya sendiri dan dapat memerintah sendiri? Dalam suatu zaman yang hanya dilingkupi oleh kekuasaan para penguasa yang menyebut dirinya sebagai raja atau kaisar, pikiran untuk menempatkan rakyat sebagai penguasa tertinggi atau pemegang kedaulatan adalah suatu pikiran yang gila dan mustahil. Namun demikian, gagasan kedaulatan rakyat ini kemudian terus berkembang dalam diskusi teori kenegaraan dan juga praktik trial and error baik di Perancis, Amerika, hingga akhirnya diikuti oleh hampir seluruh Negara di dunia. Arus deras demokrasi sebagai istilah yang menunjukkan kekuasaan rakyat telah merombak struktur monarki, minimal menjadi monarki parlementer atau menjadi hancur sama sekali digantikan dengan sistem Republik Demokrasi.
Timbulnya teori kedaulatan rakyat ini jelas sebagai reaksi atas teori kedaulatan raja yang kebanyakan menghasilkan monopoli dan penyimpangan kekuasaan yang akhirnya menyebabkan tirani dan kesengsaraan bagi rakyat. Ada indikasi kuat bahwa paham kedaulatan rakyat atau ide demokrasi itu telah membawa secara inheren semangat sekularisme dan antroposentrisme. Hal ini disebabkan oleh paradigma baru yang dibawa oleh demokrasi adalah suatu pembangkangan terhadap legitimasi kedaulatan Tuhan yang diatasnamakan oleh raja sebagai pendasaran kekuasaannya, sehingga tak luput untuk dimengerti bahwa sekularisme dan antroposentrisme merupakan ciri yang melekat pada demokrasi, khususnya demokrasi ‘barat’.
Kebebasan Berpartisipasi
Pada awal sejarahnya demokrasi hanya dimengerti lewat model partisipasi politik langsung yang melibatkan seluruh warga yang sudah dewasa dalam suatu proses politik. Proses politik penataan kehidupan bersama ini dikelola secara bersama, dan inilah yang dinamakan oleh Aristoteles sebagai bentuk Negara ideal ‘politeia’, atau yang secara modern disebut oleh Robert A. Dahl sebagai ‘polyarchy’ sebagai ganti dari istilah yang kemudian lebih popular dengan sebutan demokrasi yang meluas. Jadi, ciri utama demokrasi purba itu adalah adanya pengelolaan bersama oleh seluruh warga polis (Negara kota/city state) yang jumlah penduduknya relatif kecil.
Pelibatan hampir seluruh warga polis dalam proses penataan Negara ini belum melahirkan suasana kebebasan dan kesamaan yang menyeluruh bagi seluruh warga Negara Yunani purba pada waktu itu. Hal ini terbukti dengan masih adanya diskriminasi politik yang meminggirkan hak kaum perempuan dan kalangan budak, maupun anak-anak. Perempuan dan budak dianggap tidak memiliki hak dalam partisipasi politik pengelolaan Negara. Mereka tidak memiliki kebebasan yang penuh dan tidak dipandang sama statusnya baik di hadapan hukum maupun ‘pemerintahan bersama’ waktu itu. Naum demikian, nilai kebebasan dan kesamaan (persamaan) hak mengeluarkan pendapat itu dipraktikkan secara relatif baik pada seluruh warga polis yang dewasa, walaupun ada pengecualian bagi perempuan dan budak. Perempuan, budak, dan anak-anak serta orang asing tidak memiliki hak politik di dalam pengelolaan polis tersebut.
Adanya gerakan pembela hak-hak politik kaum perempuan dan adanya gerakan antiperbudakan yang terus bergulir sepanjang sejarah telah mengubah format politik. Format politik partisipatoris yang menjunjung tinggi kebebasan dan kesamaan yang menyeluruh, nondiskriminatif, telah lahir mejadi ciri dari sistem politik modern yang lebih egaliter dan beradab. Inilah yang dinamakan persemaian nilai demokrasi.
Dalam hubungannya dengan sistem politik, kebebasan politik dalam demokrasi berhubungan dengan kekuasaan ekonomi. Demokrasi adalah hasil dari perkembangan pasar bebas yang dijalankan oleh sistem kapitalis. Dengan demikian, kalau mau mendapatkan sistem politik yang demokratis, syarat yang perlu dipenuhi adalah pengembangan lembaga-lembaga ekonomi yang kapitalistis. Munculnya sistem politik yang demokratis tergantung pada taraf perkembangan kapitalismenya. Ketika kapitalisme masih belum kuat, dibutuhkan bantuan Negara untuk “menciptakan” orang-orang yang memiliki modal kuat. Baru setelah kapitalisme menjadi kuat dan mapan, Negara menjadi liberal dan kurang mencampuri kehidupan ekonomi. Kehidupan ekonomi dibiarkan diatur oleh pasar bebas. Negara hanya ikut campur bila terjadi ekses negatif yang bisa mengancam eksistensi kehidupan tersebut. Jadi, bantuan dan intervensi Negara diperlukan untuk membangun demokrasi dari tahap awal, namun setelah itu campur tangan Negara diminimalisir sesedikit mungkin, terutama dalam lapangan ekonomi.
Metodologi Demokrasi
Adapun dinamika Negara dalam bentuk demokrasi terletak pada adanya pertentangan dan pertemuan pendapat dalam masyarakat, sehingga segala keputusan berdasar pada kebenaran yang relatif bukan pada kebenaran yang mutlak. Hal inilah yang menurut pendapat E. H. Carr menunjukkan tidak adanya pegangan/pedoman yang tegas dalam demokrasi, sehingga mengakui adanya paham lain yang mungkin bertentangan dengan paham demokrasi. Bagi para sarjana aliran kebenaran relatif, bentuk demokrasi yang berdasar pada kebenaran absolut akan bersifat statis dan tidak berbeda dengan bentuk Negara monarki. Sedangkan bentuk demokrasi yang berdasar pada kebenaran relatif akan melahirkan demokrasi parlementer yang bersifat dinamis. Aliran kebenaran relatif ini ternyata lebih diterima oleh Negara-negara Eropa Barat.
Dalam mengungkapkan nilai ‘kebenaran’ dari eksistensi demokrasi, dibutuhkan metodologi. Samuel P.Huntington dalam meneliti mengenai transisi menuju sistem demokrasi antara tahun 1974 hingga tahun 1990 sampai pada kesimpulan bahwa definisi yang paling sahih dewasa ini untuk menjelaskan makna demokrasi adalah dalam pengertian yang prosedural. Sementara itu Michael Walzer juga mengatakan bahwa yang memerintah dalam demokrasi adalah orang yang de facto memenangkan persetujuan lebih besar rakyat (suara mayoritas rakyat). Inilah satu-satunya cara memperoleh dan melegitimasikan kekuasaan dalam demokrasi. Terlihat disini, legitimasi sosial-politis adalah dari rakyat terbesar (mayoritas) melalui pemungutan suara (voting) sebagai ukuran yang paling sahih dalam metode demokrasi.
Demokrasi sebagai gagagsan (ide) dan sebagai pelembagaan kekuasaan politik yang paling rasional telah nyata menawarkan suatu metode untuk menyingkirkan keragu-raguan dalam pengambilan keputusan politik. Dalam ide demokrasi, keputusan politik yang pasti hanya dapat diukur lewat prinsip suara terbanyak (majority principle). Metode kuantitatif inilah yang diharapkan dapat menghilangkan keragu-raguan dan ketidakpastian proses politik dan hukum ketatanegaraan dalam kehidupan bernegara. Walaupun demokrasi menawarkan pula nilai-nilai musyawarah, kompromi, dan konsensus (kemufakatan), tetapi hal tersebut tidaklah menjadi hal yang khas bagi demokrasi. Musyawarah sebagai medan diskusi bukanlah suatu penentu, melainkan sekadar brainstorming (curah pendapat) untuk melihat pandangan lain yang mungkin ada. Sedangkan kompromi dan konsensus, merupakan titik temu yang juga eksis karena adanya kekuatan dominan yang memengaruhi semua untuk tunduk pada satu pilihan kemungkinan.
Nilai Moral dalam Demokrasi
Adanya anggapan bahwa demokrasi sudah memiliki nilai moral bukanlah anggapan yang salah. Ukuran adanya persamaan hak dan kebebasan menentukan nasib sendiri untuk diperintah dan “memerintah” dalam struktur bernegara adalah nilai moral yang tidak dapat dipungkiri. Demokrasi juga telah memungkinkan rakyat untuk “berkuasa atas dirinya sendiri”, dalam konteks modern melalui perwakilan, tanpa melalui pemaksaan despotis dan tindakan otoriter. Di sinilah letak nilai moral dari teori politik demokrasi itu secara umum. Namun demikian, nilai di sini pada akhirnya hanya dalam batas-batas rasional kedaulatan rakyat saja, yaitu rakyat mayoritas yang memiliki hak untuk menetukan kebenaran (majority rule) dalam setiap mekanisme pengambilan keputusan. Apa yang dikehendaki oleh suara mayoritas rakyat itulah yang mesti berlaku sebagai ‘kebenaran’ yang akan diimplementasikan dalam memenuhi kebutuhan dan kepentingan seluruh warga, termasuk kalangan minoritas rakyat.
Beberapa hal penting yang dapat diungkap sebagai kelemahan (vulnerabilities) prinsipil dari demokrasi adalah sebagai berikut: (1) Secara paradoksal dapat dicermati bahwa ada ketegangan kontinu antara prinsip kebebasan dan kesetaraan (kesamaan). Prinsip kesamaan berpotensi untuk merusak dan mematikan prinsip kebebasan. Sebaliknya, prinsip kebebasan juga berpotensi untuk merusak prinsip kesetaraan (persamaan); (2) Pelaksanaan prinsip kebebasan dapat merusak dan mematikan prinsip-prinsip baik lainnya yang berpotensi untuk mengembangkan kehidupan yang sehat dan beradab bagi masyarakat; (3) Metodologi demokrasi telah menempatkan faktor sosiologis kehendak mayoritas lebih signifikan daripada faktor moral. Metode tersebut membawa pada situasi kompetitif yang mengutamakan kemenangan daripada kesadaran untuk mengkonstruksi keadilan dan kebenaran yang seutuhnya. Artinya, demokrasi sangat mungkin untuk secara potensial, berkonflik dengan etika. Keabsahan secara demokratis dapat bertentangan dengan keabsahan dalam pandangan moral. Sesuatu yang demokratis tidak dapat dikatakan debagai putusan yang bermoral. Disini fenomena kekuasaan melakukan infiltrasi terhadap fenomena moral yang mencoba menjadi dasar dari tindakan dan putusan untuk berkuasa.
Akhirnya, dapat disimpulkan secara umum keluaran dari proses demokrasi tidak pernah secara pasti menjanjikan untuk mengkonstruksi kebenaran dan keadilan hakiki. Kebenaran dan keadilan yang diproduksi oleh proses demokrasi hanyalah kebenaran dan keadilan versi mayoritas. Sehingga, pelaksanaan dan implementasi selanjutnya hanyalah penyelenggaraan dari sudut kepentingan mayoritas suara.
Suara mayoritas rakyat bagaimanapun juga bukan suara Tuhan dan tidak mungkin bisa menggantikan suara Tuhan (vox populi est non vox dei), serta tidak identik pula dengan suara moral (filosofis). Mayoritas suara rakyat adalah suara awam – bukan kualitas suara kearifan intelektual atau filosofikal. Mayoritas suara awam tidak pernah bisa menghasilkan kearifan atau kebijaksanaan (wisdom). Mayoritas suara awam yang dibawa oleh elite-oligarkis yang terpilih bisa distortif. Karena pendekatan kuantitatif dan keberpihakan kepada mayoritas awam adalah prosedur tetap demokrasi, maka disinilah letak kelemahan mendasar dari demokrasi.
Demokrasi mengandung kontradiksi bawaan dalam prinsip-prinsipnya. Prinsip persamaan politik (kesetaraan) akan selalu mengancam kebebasan individu. Demikian pula sebaliknya. Kebebasan demokratis juga selalu mengancam nilai-nilai moral yang dapat membunuh peradaban.
Bagaimanapun juga, demokrasi merupakan suatu sistem politik hasil karya manusia yang sejauh ini hingga abad ke-21 dianggap paling dekat menghampiri hakikat keadilan dan kebenaran dalam masyarakat. Namun sayangnya masih saja menyisakan celah kelemahan yang sangat besar yang justru dapat menghancurkan kemanusiaan. Hal ini menunjukkan betapa rendah dan lemahnya manusia dalam merancang sesuatu, sekalipun itu sudah dimulai semenjak 26 abad yang lalu. Sehingga menjadi kewajiban bagi kita untuk merumuskan kembali pemikiran yang baru, pemikiran yang dapat membebaskan manusia pada kebebasan dan keadilan hakiki, pemikiran yang terikat pada kesadaran transendental setelah sekian lama terjebak dalam nihilisme dan kefanaan.
“Justice saves. Absolute justice saves absolutely. If democracy does not bring justice, we don’t need democracy at all.”
“Keadilan akan menyelamatkan. Keadilan yang hakiki pasti membawa keselamatan. Jika demokrasi tidak membawa pada situasi yang adil, kita tidak butuh apa pun dari demokrasi.”
(Disarikan dari Filsafat Demokrasi, oleh Hendra Nurtjahjo)
Minggu, 20 Oktober 2013
Fardhu Kifayah
Fardhu kifayah adalah salah satu status hukum perbuatan dalam Islam yang artinya wajib bagi tiap individu muslim untuk melakukan hal tersebut, selama belum ada satu orangpun yang melakukan hal tersebut. Sehingga jika ada yang telah melakukan, maka gugurlah kewajiban tersebut bagi orang muslim. Sementara, apabila tidak ada seorang pun yang memenuhi kewajiban fardhu kifayah, maka seluruh individu muslim dinyatakan meninggalkan kewajiban, dan pasti mendapatkan dosa. Contoh aktivitas yang tergolong Fardu Kifayah :
- Mensahalati jenazah muslim
- Belajar ilmu tertentu (misal: sains, kedokteran, ekonomi, teknik, dll)
- Amar ma'ruf nahi munkar
- Jihad
- Mendirikan Khilafah
- dll
Suatu perbuatan yang semula hukumnya
fardhu kifayah bisa menjadi fardhu 'ain apabila perbuatan dimaksud belum dapat
terlaksana dengan hanya mengandalkan sebagian dari kaum muslimin saja.
Dengan adanya hukum ini, maka kita bisa memahami bahwa Islam
dibangun tidak hanya berdasarkan ketakwaan individu, tidak hanya ada kewajiban
yang ritual yang cukup dipenuhi oleh tiap-tiap individu. Tapi, dalam Islam juga
ada kewajiban yang kolektif, yaitu yang hukumnya fardhu kifayah. Yang juga
berarti bahwa ada yang disebut ketakwaan masyarakat. Yaitu kewajiban bagi masyarakat
muslim untuk melaksanakan kewajiban kifayah.
Selain itu juga, adanya hukum fardhu kifayah menunjukkan
bahwa umat Islam harus memiliki satu kesatuan yang dipimpin oleh seorang
pemimpin, yang salah satu tugasnya adalah memenej masyarakat untuk melaksanakan
fardhu kifayah – fardu kifayah yang ada dalam masyarakat. Misalnya membagi
tugas siapa yang harus mengurus jenazah, siapa yang tugasnya belajar ilmu
sains, siapa yang tugasnya amar ma’ruf nahi mungkar, siapa yang terjun ke medan
jihad, dan fardhu kifayah yang lain.
Bisa kita bayangkan jika masyarakat Muslim tidak hidup dalam
kesatuan dan tidak memiliki pemimpin yang memenej fardhu kifayah tersebut. Maka
akan kita dapati banyak jenazah muslim yang tidak terurus, tidak ada muslim
yang mempelajari ilmu-ilmu tertentu, tidak ada yang terjun ke medan jihad, dan
lain-lain. Kalaupun ada maka yang terjadi adalah ketidakteraturan,
masing-masing akan ada yang tumpang tindih aktivitas. Sehingga yang dihasilkan
ketidakefektifan, sebagaimana yang terjadi pada masa kini.
Oleh karena itu, maka menjadi kewajiban kita sekarang ialah
bagaimana mewujudkan persatuan umat Islam, kemudian mengangkat seorang pemimpin
yang nantinya berkewajiban memenej aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan
fardhu kifayah. Agar umat islam tidak terus menerus memperoleh dosa karena
mengabaikan kewajiban bersama.
Langganan:
Postingan (Atom)