Indonesia cukup dikenal di luar negeri sebagai Negara
pengirim tenaga kerja wanita sebagai pembantu di rumah tangga orang. Ternyata
hal ini bagi warga Negara Indonesia cukup menguntungkan, karena sulitnya mencari
uang di Negara sendiri. Tapi, tetap saja pengiriman tenaga kerja ke luar negeri
memberi pengaruh besar bagi keluarga yang ditinggalkan. Khususnya bila sang TKW
adalah istri atau ibu dari anak-anak yang masih kecil.
Bahkan ada di satu desa yang mayoritas penduduknya ialah TKW,
sehingga yang kita temukan di desa tersebut hanyalah orang tua dan anak-anak.
Inilah potret kehidupan di negeri kita. Dan ada juga kampung yang dibangun mayoritas
dari kiriman uang dari warganya yang bekerja sebagai TKW. Bapak-bapak di kampung
bekerja sebagai petani, dan anak-anak di kampung itu dijaga oleh nenek dan
kakeknya.
Bagi kampung ini berangkat jadi TKW ialah cara yang tepat
untuk meningkatkan perekonomian keluarga, bahkan ekonomi desa. Jadi, yang
awalnya hanya mempunyai rumah gubuk, lantainya masih tanah, akhirnya bisa
membangun rumah tembok dan lantai yang keramik. Mereka bisa beli tivi, beli
motor, beli tanah, dan bisa menyekolahkan anaknya.
Kemudian para suami bisa punya modal untuk membuat bengkel,
membangun warung, berjualan, dan lain-lain. Sampai-sampai bagi kampung ini,
kelahiran anak perempuan dalam satu keluarga dipandang sebagai keuntungan dan
asset yang besar, karena nanti anak ini bisa jadi TKW dan akan memakmurkan
keluarga dan desa mereka. Jadi ini adalah sebuah potret bahwa Indonesia adalah
Negara TKW terbesar di dunia.
Bagaimana sebenarnya
hukum wanita, ibu atau seorang istri menjadi TKW?
Islam menetapkan kewajiban pokok seorang perempuan adalah
ibu dan pengelola rumah tangga(rabbatul
bayt), dan itu adalah kewajiban utama bagi seorang perempuan. Semua
aktivitas yang terkait dengan peran istri, peran ibu dan urusan rumah tangga,
maka itu adalah pelaksanaan kewajiban yang mendatangkan pahala.
Jadi, kalau ini diabaikan maka sam dengan melalaikan
kewajiban alias berdosa. Sementara bekerja dan mencari penghasilan itu hukumnya
mubah atau boleh bagi wanita, yang pelaksanaan aktivitas bekerja itu tidak
mendatangkan pahala, tapi mendatangkan uang. Misalnya menjadi pembantu rumah
tangga itu boleh saja, yang tujuannya memang semata-mata untuk mendapatkan
uang.
Bagi seorang muslim, pelaksanaan hukum yang mubah ini jangan
sampai meninggalkan kewajiban. Dan bagi perempuan, bekerja itu tidak wajib,
yang wajib ialah menjadi seorang ibu, mengatur rumah tangga. Bagi sebuah keluarga,
yang wajib bekerja itu ialah suami, bukan istrinya. Jadi, jangan sampai seorang
wanita mengabaikan kewajibannya.
Itu yang pertama. Seorang wanita memiliki kewajiban, dia
sebagai seorang istri atau dia sebagai seorang ibu. Yang kedua, kalaupun misalnya
kewajiban itu sudah terpenuhi, misalnya anak-anaknya sudah besar, atau belum
punya anak, dan suami juga mengizinkan, ia tetap tidak boleh mengerjakan
pekerjaan-pekerjaan yang melanggar rambu-rambu syariah, seperti misalnya pekerjaan
yang membuat ia membuka aurat, atau berdua-duaan dengan yang bukan mahramnya,
atau ia harus melakukan perjalanan jauh, sehingga dalam kondisi safar sehari
semalam tanpa mahramnya, bahkan mukim di sebuah negeri yang sama sekali tidak
ada jaminan perlindungan bagi dia.
Jadi, ini adalah hal yang harus diperhatikan oleh seorang
muslimah. Jangan sampai ia mencari uang atau pekerjaan yang mubah baginya, tapi
ia melanggar hukum-hukum Allah swt. Jadi, yang masalah bukanlah pekerjaannya,
tapi hukum-hukum syara’ yang dilanggar tadi.
Bagaimana dengan
menjadi TKW yang harus keluar negeri dan Selama bekerja berada di rumah orang
lain?
Banyak aspek yang memberikan peluang pekerjaan TKW ini
mendzalimi perempuan. Kalaupun ia mendapatkan uang yang banyak, tetap saja ada
aspek hukum syara’ yang dilanggar. Pertama misalnya bepergian keluar negeri
tanpa mahram. Kita tidak hanya mengjitung jarak tempuh pesawat yang misalnya dari
bandara Soekarno-Hatta ke Jeddah yang hanya 9-12 jam di udara.
Tapi juga harus dihitung mulai dari keberangkatannya dari desa
dia sampai kemudian pemberangkatannya, penempatannya, bahkan bisa jadi baru
beberapa hari kemudian sang TKW tiba di rumah majikan. Perjalanan semacam ini,
ada hadis yang mengaturnya, bahwa perempuan bila dalam kondisi safar harus ada
mahram yang mendampinginya, kalau tidak maka hukumnya haram bagi dia.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu berkata: Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidak halal (boleh) bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan
hari akhir safar sejauh sehari semalam (perjalanan) dengan tanpa mahram
(yang menyertainya)". [HSR. Imam Bukhari (Fathul Baari II/566), Muslim
(hal. 487) dan Ahmad II/437; 445; 493; dan 506]
Maka hukumnya
haram bagi seorang wanita untuk bersafar sehari semalam atau 24 jam tanpa
didampingi oleh mahramnya. Yang kedua ialah masalah mukim, masalah dimana ia tinggal.
Seorang wanita itu seharusnya ia bermukim bersama keluarganya atau bersama
walinya, atau bersama jamaah perempuan.
Kalau kemudian ia dititipkan kepada majikannya, maka walinya
harus bisa menjamin apakah majikannya bisa memberikan jaminan keamanan dan
kebaikan pada wanita ini, begitu pula pada jamaah wanita. Namun jika kita
melihat faktanya, begitu banyaknya penyiksaan dan penganiayaan yang dialami
oleh para TKW, tentu kita memahami bahwa tidak ada jaminan bagi para TKW di
luar negeri.
Belum lagi jika kita melihat begitu banyaknya TKW yang
terlantar di bawah kolong jembatan layang di Saudi, karena masa kerjanya habis
dan masih menunggu penempatan, atau visanya habis, dan masih banyak
masalah-masalah lain yang menyebabkan tidak ada perlindungan bagi para TKW.
Bagaimana hubungan
majikan dan pelayan dalam bekerja, apakah islam mengatur hal ini?
Masih terkait dengan TKW dalam aspek ketengaakerjaan yang
seringkali tidak diatur dengan baik akad kerjanya. Kemudian juga jaminan
perlindungan TKW yang akan dikirim. Bisa jadi ada perbedaan persepsi antara TKW
dan majikan. Para TKW ini menyerahkan sepenuhnya pada PJTKI selaku penanggung
jawab jasa TKI.
Sementara si TKW sendiri tidak memahami akad yang terjadi
antara biro ini dengan majikan. Seharusnya akadnya jelas mengenai bagaimana
pekerjaannya, berapa gajinya, dimana tinggalnya, jam kerjanya berapa. Kalau ini
tidak ada, maka bagi majikan yang tidak baik, tidak punya akhlak yang baik,
akan dapat memperlakukan TKW dengan semena-mena seperti yang banyak terjadi
sekarang.
Sementara jika majikannya baik,maka TKW tersebut justru bisa
bekerja dengan nyaman. Bahkan bisa naik haji. Tapi kalau tidak, bisa-bisa dia
diperlakukan seperti budak. Padahal islam mengatur masalah ini dengan baik.
Bahkan kalaupun dulu pernah terjadi perbudakan, majikan harus memberikan
pelrindungan berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal yang baik, bahkan
menikahkan.
Sementara sekarang tidak ditemukan lagi perbudakan dalam
kehidupan islam, karena memang banyak sekali hukum-hukum Islam yang membebaskan
budak. Sehingga hukum yang berlaku terhadap TKW itu ialah hukum terhadap orang
yang merdeka. Yang disitu ada jaminan keamanan, dan kehidupan yang lebih baik
dan hak-hak sebagaimana orang merdeka. Tapi ini bisa jadi tidak dipahami betul oleh
kedua belah pihak, majikan dan TKW. Karena tidak adanya akad yang jelas tadi. Dan
tidak adanya akad yang jelas ini bertentangan dengan islam.
Berbicara masalah solusi, maka kita harus berbicara dalam
ranah keluarga, masyarakat, dan Negara. Solusinya harus didasarkan pada hukum
syariat Islam. Jadi jangan sampai kita mencari solusi yang membuat kita
melanggar hukum-hukum Allah swt. Misalnya dengan membuat kesepakatan baru antar
Negara, di Hongkong atau Taiwan misalnya, namun itu sesungguhnya sama saja
karena disana juga tidak ada jaminan perlindungan.
Untuk itu kita harus mencari solusi yang Allah meridoinya.
Dalam ranah keluarga, carilah solusi yang sejalan dengan hukum syara’. Jangan
sampai istri meninggalkan kewajibannya atas suami dan anak-anaknya. Jangan
sampai istri melanggar hukum-hukum safar, khalwat, menutup aurat. Jangan sampai
istri mendapatkan ancaman keamanan dan kehormatannya.
Kalaupun istri memang terpaksa bekerja dan mampu bekerja dan
dia tidak akan melanggar kewajibannya, maka carilah pekerjaan yang sesuai
dengan fitrahnya, sebagai istri, ibu, dan muslimah yang terhormat. Kalau kita
meniatkan itu semua dalam rangka meraih keridaan Allah, dalam rangka ketaatan
kepada Allah swt, insyaAllah pasti ada pertolongan Allah dalam menemukan jalan
terbaik.
Karena kita sudah tau rambu-rambunya bahwa Islam itu adalah
jalan yang lurus. Dan kita tidak boleh putus asa dalam hidup ini untuk tetap
menjadi orang yang taat. Maka, sangat dibutuhkan adanya institusi Negara yang
dapat menjamin kemakmuran rakyatnya di dalam negeri sehingga tidak ada lagi
umat muslim yang harus bersusah payah mencari peruntungan di luar negeri.