Kamis, 30 Juni 2011
Sebelum Mikir Difatwakan Sesat
Selasa, 28 Juni 2011
Di Antara
Saya punya tujuan. Kamu punya tujuan. Dia juga punya tujuan. Tapi tidak sedikit orang yg tidak punya tujuan. Jadi, bersyukurlah jika kita masih punya kesadaran untuk menetapkan tujuan hidup kita. Adanya tujuan membuat kita fokus terhadap apa yang kita kerjakan. Contohnya, apabila kita berada di sebuah lapangan sepak bola. Dalam kondisi bermain sepak bola, maka tujuan utama kita ialah memasukkan bola ke dalam gawang lawan. Dengan adanya gawang dalam bentuk fisik, yang memiliki bentuk persegi panjang, kita dapat dengan mudah menentukan arah kita untuk membawa atau menendang bola, yaitu ke arah gawan itu. Bayangkan apabila kita bermain sepak bola, namun tidak ada gawang yang harus dijebol. Tentu kita akan kesulitan, bingung untuk apa bermain bola, dan lama kelamaan akan lelah tanpa hasil, bermain jadi kurang mangasyikkan, dan lain-lain.
Begitu pula kehidupan. Adanya tujuan hidup membuat kita fokus.Tujuan ibarat gawang dalam sepak bola. Namun kalau kita melihat suatu permainan sepak bola, suatu tim tidak selalu membawa bola dengan arah yang lurus hingga sampai masuk ke gawang lawan. Tapi, terkadang dimain-mainkan dahulu. Dioper ke pemain lain. Ditarik lagi ke belakang. Semua itu dilakukan bukan karena tim itu kehilangan fokus, tapi itu semua dilakukan semata-mata untuk terciptanya gol di gawang lawan.
Jangan kira mengoper balik ke belakang itu tidak berguna. Itu sangat berguna untuk menjaga agar bola tetap dikuasai. Mengoper kepada teman setim yang berada di posisi yang tidak terkawal juga berguna agar bola tidak direbut oleh pemain lawan. Semua itu tetap pada satu tujuan yaitu mencetak gol, meskipun caranya berbeda-beda.
Selain bisa menjamin terciptanya gol dan menang, cara-cara itu juga yang justru menjadi daya tarik bagi orang yang menonton pertandingan sepak bola. Saling oper dengan kombinasi umpan pendek, panjang, lambung, terobosan, bisa membuat orang yang menonton pertandingan berdecak kagum.
Itulah nilai keindahan di sepak bola. Tidak melulu shoot langsung yang diperagakan. Setidaknya begitulah kita mengumpamakan kehidupan manusia. Kehidupan umat manusia, harusnya memiliki satu tujuan akhir, yakni mardhotillah. Namun, untuk mencapai tujuan itu, tidak salah apabila tiap-tiap individu memilih caranya sendiri-sendiri.
Jika di sepak bola, strategi yang biasa diterapkan ialah mengoper kepada pemain yang berada di tepi lapangan, kemudian mengirimkan umpan silang ke depan gawang untuk dieksekusi masuk ke dalam gawang. Maka mengirimkan bola ke pemain yang di tepi itu disebut sebagai tujuan antara. Tujuan yang menjadi perantara agar mencapai tujuan akhir.
Di kehidupan pun begitu, tiap individu normalnya memiliki tujuan antara untuk tercapainya tujuan akhir. Misalnya, saya ingin memperoleh uang yang banyak. Setelah mendapat uang yang banyak, saya ingin membangun sebuah perusahaan yang berlevel internasional. Kemudian keuntungannya akan saya investasikan untuk membangun suatu lembaga yang mendidik generasi muda. Semoga ini berkah dan diridhoi Allah. Jika Allah ridho, maka Allah telah menjanjikan kebahagiaan bagi orang yang diridhoinya.
Itu contoh simpel. Menjadi orang kaya, membangun perusahaan, membuat lembaga pendidikan, itu semua ialah tujuan antara. Sedangkan tujuan akhir (tujuan dari segala tujuan) ialah mardhotillah. Setiap manusia berhak merancang strategi hidupnya seperti apa. Dan strategi itu dapat manusia ubah,apabila memang rasanya kurang memadai untuk tercapainya tujuan akhir.
Namun, yang menjadi masalah kebanyakan umat manusia, bagi yang telah memiliki tujuan akhir yang benar, ialah seringkali kehilangan fokus terhadap tujuan akhirnya. Seringkali manusia terpalingkan karena tujuan antaranya. Sehingga ia disibukkan oleh tujuan antaranya hingga peluit akhir ditiupkan.
Untuk membayangkan bagaimana orang yang disibukkan dengan tujuan antara, coba saja bayangkan tim sepak bola yang berusaha susah payah untuk mengoper bola ke dalam kotak penalti lawan. Namun ketika telah sampai di kotak penalti, para pemain tim itu kemudian hanya memain-mainkan bola, dan tidak menendang bola ke arah gawang. Jika saya menonton pertandingan tim itu, maka saya akan menyebut itulah tim terbodoh di dunia. Karena tim itu tidak menyelesaikan pekerjaannya sampai tujuan akhir. Dan mungkin mereka tidak pantas disebut sebagai tim sepak bola. Karena tim sepak bola ya, tugasnya bermain bola dan mencetak gol.
Allah berfirman:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari kenikmatan duniawi dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (al Qashash: 77)
Allah azza wa jalla menciptakan kita di bumi tidak lain untuk beribadah. Ibadah bukan berarti hanya berupa kegiatan ritual. Ibadah ialah semua kegiatan kita yang dilakukan semata-mata untuk menggapa ridha Allah azza wa jalla. Namun bukan berarti kita tidak dapat menikmati kenikmatan yang ada di dunia. Allah azza wa jalla membolehkan kita untuk memperoleh kenikmatan itu, namun tidak sampai membuat kita kehilangan focus dengan tujuan hidup kita. Melakukan segala yang diperintahkan Allah azza wa jalla, dan menjauhi segala laranganNya. Semoga kita selalu fokus dalam setiap desahan nafas dan setiap detik umur kita. Aamin ya rabbal alamin.
Jumat, 24 Juni 2011
Hubungan Antara Organisme Planktonik dan pH Air Laut
Selasa, 21 Juni 2011
Presiden SBY dan Ahmadiyah
Jum'at, 04 Maret 2011
Oleh: Dr. Adian Husaini
Mirza Ghulam Ahmad, nabi-nya, kaum Ahmadiyah, pernah menebar ancaman kepada orang-orang yang menentang dan tidak mengimaninya sebagai nabi, utusan Allah. Tahun 1993, Jemaat Ahmadiyah Cabang Bandung, menerbitkan sebuah buku berjudul "Memperbaiki Suatu Kesalahan" (Eik Ghalthi Ka Izalah), karya asli Mirza Ghulam Ahmad yang dialih bahasakan oleh H.S. Yahya Pontoh.
Di dalam buku ini, Mirza Ghulam Ahmad (MGA) menegaskan:
“Aku bersumpah dengan nama Tuhan yang telah mengutusku – dan bersumpah dusta atas nama-Nya adalah suatu perbuatan yang terkutuk – bahwa Dia lah Yang telah menjadikan dan mengutus aku sebagai Masih Mau’ud. Sebagaimana aku yakin dan percaya kepada segala ayat Al-Qur’an Suci, begitu pulalah dengan tidak membedakan sedikit jua pun, aku yakin dan percaya kepada wahyu-wahyu Allah Taala yang terang-benderang yang tela diwahyukan kepadaku , yang cukup jelas kepadaku kebenarannya yang dengan perantaraan tanda-tanda-Nya yang mutawatir.
Dengan berdiri di sisi Baitullah aku bersumpah, bahwa wahyu-wahyu suci diturunkan kepadaku adalah semuanya firman Tuhan Yang dahulu pernah menurunkan wahyu-wahyu-Nya kepada Nabi Musa a.s., Nabi Isa a.s. dan kepada yang mulia Muhammad Musthafa saw. Bumi juga telah menjadi saksi bagiku, demikian pun langit. Bahkan langit mengatakan bahwa aku ini Khalifatullah, demikian juga bumi; tetapi sebagai telah dikatakan dalam khabar-khabar ghaib, aku tentu akan ditolak oleh manusia. Orang-orang yang hatinya tertutup tentu tidak akan menerima aku.
Tetapi aku tahu dan yakin, bahwa Allah Taala sesungguhnya akan menolong aku, sebagaimana dahulu kala Dia menolong rasul-rasul-Nya. Seorang pun tiada yang akan dapat melawan aku, sebab pertolongan Allah tiada bersama mereka.” (hal. 13-14).
Simaklah kata-kata MGA yang begitu tegas: “Seorang pun tiada yang akan dapat melawan aku, sebab pertolongan Allah tiada bersama mereka.”
Jadi, katanya, tidak yang akan dapat melawan Mirza Ghulam Ahmad! Orang yang menolak klaim “kenabiannya” dia katakan hanya karena kebodohan saja. “Jika ada orang yang marah, karena wahyu kepadaku ada yang menerangkan bahwa aku ini nabi dan rasul, maka dalam hal ini menunjukkan kebodohannya sendiri.” (hal. 15).
Untuk meyakinkan orang lain, bahwa MGA adalah “nabi”, kaum Ahmadiyah maupun MGA sendiri, berulangkali menebarkan satu jenis ancaman, bahwa siapa yang tidak iman kepada MGA, orang itu akan binasa, celaka, tidak selamat, dan sebagainya.
Tahun 1989, Yayasan Wisma Damai – sebuah penerbit buku Ahmadiyah –menerjemahkan buku berjudul Da’watul Amir: Surat Kepada Kebenaran, karya Hazrat Mirza Bashiruddin Mahmud Ahmad r.a. Oleh pengikut Ahmadiyah, penulis buku ini diimani sebagai Khalifah Masih II/Imam Jemaat Ahmadiyah (1914-1965).
Buku ini juga mengancam siapa saja yang tidak mau iman pada MGA dan memilih berada di luar Ahmadiyah:
”Kami sungguh mengharapkan kepada Anda agar tidak menangguh-nangguh waktu lagi untuk menyongsong dengan baik utusan Allah Ta’ala yang datang guna menzahirkan kebenaran Rasulullah saw. Sebab, menyambut baik kehendak Allah Taala dan beramal sesuai dengan rencana-Nya merupakan wahana untuk memperoleh banyak keberkatan. Kebalikannya, menentang kehendak-Nya sekali-kali tidak akan mendatangkan keberkatan.” (hal. 372).
Juga ditegaskan: ”Kami dengan bersungguh-sungguh mengatakan bahwa orang tidak dapat menjumpai Allah Ta’ala di luar Ahmadiyah.” (hal. 377).
Orang yang menolak kenabian MGA pun dicap sebagai musuh Islam: ”Jadi, sesudah Masih Mau’ud turun, orang yang tidak beriman kepada beliau akan berada di luar pengayoman Allah Taala. Barangsiapa yang menjadi penghalang di jalan Masih Mau’ud a.s, ia sebenarnya musuh Islam dan ia tidak menginginkan adanya Islam.” (hal. 374).
Untuk mendukung klaim kenabiannya, MGA menggunakan berbagai cara, termasuk mengaku menerima wahyu yang bunyi lafaznya sama persis dengan lafaz ayat-ayat tertentu dalam al-Quran. Misalnya, dalam buku Eik Ghalthi Ka Izalah, MGA mengaku mendapatkan wahyu yang bunyinya: “Muhammadur Rasuulullah, walladziina ma’ahuu asyiddaa’u ‘alal kuffari ruhamaa’u bainahum.” (“Muhammad adalah utusan Allah, dan orang-orang yang bersamanya bersikap keras terhadap orang-orang kafir dan berkasih sayang sesama mukmin….”.)
Oleh MGA, ayat al-Quran itu diklaim sebagai wahyu yang juga diturunkan kepadanya. Ia menulis, dalam buku yang ditulisnya tahun 1901 tersebut: “Dalam wahyu ini Allah s.w.t. menyebutkan namaku “Muhammad” dan “Rasul”. (hal. 5).
Bahkan, MGA juga mengaku pernah mendapatkan wahyu yang bunyinya: Huwalladzii arsala Rasuulahuu bil-hudaa wa diinil haq liyudzhirahuu ‘alad-diini kullihi.” Kumpulan wahyu ini dikumpulkan dalam buku Barahin Ahmadiyah. MGA menulis dalam buku tersebut: “Di dalam wahyu ini nyata benar, bahwa aku dipanggil dengan nama Rasul.” (hal. 4).
Dalam buku Da’watul Amir, Ahmadiyah menceritakan nasib sejumlah orang termasuk Kepala Negara yang mencoba menghalang-halangi dan menghancurkan Ahmadiyah. Kepada Kepala Negara, diserukan agar masuk ke Jamaat Ahmadiyah:
“Jadi, tinggal di luar jemaat yang didirikan oleh Allah Taala merupakan keadaan yang sangat menakutkan, maka teristimewa pula para raja yang kepada mereka dipikulkan dua macam tanggung jawab, yakni, pertama mengenai diri mereka sendiri, dan kedua mengenai rakyat mereka… Oleh karena itu, andaikata Abda seorang pemimpin hendaklah Anda meniadakan rintangan yang menjadi halangan untuk masyarakat menerima Kebenaran, agar dosa mereka tidak ditimpakan kepada Anda.”
Menurut Ahmadiyah, jika para pemimpin tidak mau mengimani kenabian MGA, maka mereka akan berdosa dan menanggung dosa rakyatnya, sebagaimana isi surat Nabi Muhammad saw kepada Kaisar Roma: “Apabila Anda menolak, maka dosa-dosa rakyat pun akan dipikulkan atas pribadi Anda.”
Membaca buku-buku dan tulisan-tulisan MGA serta pengikutnya, tampak jelas, bahwa yang dilakukan Ahmadiyah sebenarnya sudah memenuhi unsur penodaan agama sebagaimana diatur dalam UU No. 1/PNPS/1965. Pasal 1 UU ini menyatakan: “setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum, menceritakan, menganjurkan atau mengusahakan dukungan umum untuk melakukan penafsiran tentang suatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan yang menyerupai kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok ajaran agama itu.”
Kita tinggal menunggu ketegasan pemerintah untuk menegakkan hukum sebagaimana yang diatur dalam UU No 1/PNPS/1965. Pantas muncul pertanyaan, jika pemerintah berani menindak dengan tegas -- sesuai Undang-undang -- nabi-nabi palsu dan pengikutnya seperti Lie Eden dan Ahmad Mosadeq, kenapa sikap dan kebijakan yang sama tidak diterapkan untuk kelompok pengikut Nabi asal India ini?
Dalam tulisannya di Jurnal Islamia-Republika, (17/2/2011), Dr. Anis Malik Thoha memaparkan sejarah konflik Islam-Ahmadiyah di India-Pakistan, sehingga akhirnya pada tahun 1974 Ahmadiyah ditetapkan sebagai kelompok minoritas non-Muslim, sebagaimana ditetapkan dalam Konstitusi Pakistan: “non-Muslim” means a person who is not a Muslim and includes a person belonging to the Christian, Hindu, Sikh, Buddhist or Parsi community, a person of the Quadiani Group or the Lahori Group who call themselves ‘Ahmadis’ or by any other name or a Bahai, and a person belonging to any of the Scheduled Castes.
Berikut paparan Dr. Anis tentang sejarah kelompok Ahmadiyah dan respon umat Islam di India dan Pakiatan:
Sejak Mirza Ghulam Ahmad (1840-1908) menyebarkan ajarannya di India, hubungan umat Islam dan pengikut Ahmadiyah selalu diwarnai ketegangan. Bahkan, beberapa kali terjadi pertumpahan darah. Ahmadiyah, ibarat duri dan “fitnah” yang sepertinya sengaja ditanamkan dan dipelihara oleh pihak-pihak tertentu.
Menyadari dahsyatnya “fitnah” ini, para pemimpin dan tokoh Islam India telah lama mencoba sekuat tenaga, baik dengan pena maupun lisan, untuk meredamnya. Diantara mereka adalah Syeikh Muhammad Husein al-Battalawi, Maulana Muhammad Ali al-Monkiri (pendiri Nadwatul Ulama India), Syeikh Thana’ullah al-Amritsari, Syeikh Anwar Shah al-Kashmiri, dan Seyyed Ata’ullah al-Bukhari al-Amritsari. Tidak ketinggalan juga filosof dan penyair Muhammad Iqbal.
Tahun 1916, para ulama sudah mengeluarkan fatwa tentang “kekafiran kaum Ahmadiyah/Qadiyaniyyah”. Seluruh ulama, secara ijma’ dalam fatwa ini menyatakan bahwa pengikut Ahmadiyah/Qadiyaniyyah adalah kafir dan keluar dari agama Islam. Pada tahun 1926, kantor Ahlul Hadits di Amritsar juga mengeluarkan fatwa serupa dengan judul “Batalnya Nikah Dua Orang Mirzais” yang ditandatangani oleh ulama aliran/mazhab/kelompok/markazIslam di seluruh anak benua India (lihat: Mawqif al-Ummah al-Islamiyyah min al-Qadiyaniyyah. Multan: Majlis Tahaffuz Khatm al-Nubuwwah. 76-7).
Adapun Muhammad Iqbal, melalui goresan penanya menyeru pemerintahan kolonial Inggris di India untuk segera menghentikan “fitnah” ini dengan mendengarkan dan mengabulkan tuntutan-tuntutan kaum Muslimin India dalam kaitannya dengan gerakan dan/atau ajaran Ahmadiyah. Dalam salah satu risalahnya yang dikirimkan ke harian berbahasa Inggris terbesar di India, Statesman, edisi 10 Juni 1935, dia menyatakan: “Ahmadiyyah/Qadiyaniyyah adalah upaya sistematis untuk mendirikan golongan baru diatas dasar kenabian yang menandingi kenabian Muhammad (s.a.w.).”
Iqbal juga meminta pertanggung-jawaban pemerintah kolonial Inggris atas kejadian “fitnah” ini seraya memperingatkan jika pemerintahan tidak memperhatikan keadaan ini dan tidak menghargai perasaan kaum Muslimin dan dunia Islam, tapi malah membiarkan “fitnah” bebas leluasa, maka umat Islam yang merasa kesatuannya terancam bukan tidak mungkin akan terpaksa menggunakan kekuatan untuk membela-
diri (Mawqif, 88-9).
Namun sekali lagi, seruan para ulama itu diabaikan pemerintah Pakistan. Umat Islam pun tak pernah surut dalam menentang Ahmadiyah. Suasana panas mencapai puncaknya setelah sekelompok pengikut Ahmadiyah menyerang pelajar sekolah negeri diatas kereta api yang melewati terminal Rabwah, kota suci kaum Ahmadiyyah, dalam perjalanan mereka untuk liburan musim panas.
Peristiwa ini mengusik kesabaran umat Islam. Pada gilirannya umat Islam memaksa pemerintah untuk mengangkat masalah Ahmadiyah ini ke Majlis Nasional dan Dewan Perwakilan Rakyat. Maka dipanggillah Mirza Nasir Ahmad, pemegang pucuk pimpinan Ahmadiyah pada waktu itu (yang adalah cucu Mirza Ghulam Ahmad). Para ulama pun sudah berhasil meyusun dokumen yang menjelaskan sikap umat Islam terhadap Qadiyaniyah untuk diajukan ke persidangan Majlis Nasional, yang kemudian dibukukan dengan judul Mawqifal-Ummah al-Islamiyyah min al-Qadiyaniyyah (Sikap Umat Islam Terhadap Qadiyaniyyah).
Setelah mendengarkan keterangan dan sikap dari kedua pihak, Majlis Nasional pada 7 September 1974 memutuskan secara bulat untuk menerima dan menyetujui tuntutan-tuntutan umat Islam berkaitan dengan Ahmadiyah. Keputusan ini disambut dengan suka-ria oleh umat Islam seluruh Pakistan. Tanggal 7 September 1974 dianggap sebagai hari kemenangan bersejarah bagi umat Islam. Umat Islam hanya menuntut hak-hak dasar mereka yang telah dirampas oleh pihak lain, dan tidak rela agama yang suci ini dikotori oleh siapa pun.
Demikian paparan Dr. Anis Malik Thoha, peneliti INSISTS dan pakar perbandingan agama dari International Islamic University Malaysia.
Berkaca dari kasus di Pakistan itu, seyogyanya pemerintah kita, khususnya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dapat mengambil pelajaran. Bukan kebijakan yang bijak untuk membiarkan satu kelompok yang jelas-jelas menodai agama Islam tetap eksis secara organisasi di Indonesia. Tentu Pak SBY tidak rela jika ada orang yang mengaku-aku sebagai utusan Presiden RI berkeliaran menjalankan aktivitasnya. Logika kita bertanya: apakah Allah akan ridho jika Pak SBY membiarkan orang-orang yang mengaku sebagai utusan Allah berlaku semena-mena melecehkan agama Allah?
Kita tentu tidak percaya bahwa Pak SBY yang seorang Muslim dan jenderal takut dengan gertakan sang nabi palsu Mirza Ghulam Ahmad! *
Catatan Akhir Pekan [CAP] adalah hasil kerjasama Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com