<!--[if gte mso 9]>
Gempa jepang yang terjadi pada 11 maret 2011dengan Mw 9,0 yang setara dengan energi 475 megaton TNT, berepisentrum di sendai, konon katanya sudah diprediksi oleh para ahli seismologi di jepang. Begitu pula dengan kemungkinan akan terjadinya gelombang tsunami. Berbagai macam tindakan antisipasi juga sudah dilakukan. salah satunya dengan mengamankan reactor nuklir yang ada di fukushima dengan membangun tembok penghalang setinggi 5 meter.
Tapi, mengapa tetap terjadi suatu kekacauandan korban yang banyak, serta yang popular dibidarakan ialah tentang bocornya reactor nuklir fukushima? Ternyata yang menjadi masalah ialah karena prediksinya kurang akurat. Para ahli memprediksikan akan terjadi gempa bumi dengan magnitude maksimum 8 SR. namun, nyatanya yang terjadi ialah 9,0 SR. memang seperti terlihat hanya beda sedikit saja kan. Sebenarnya itu perbedaan yang sangat besar. Karena besaran magnitude setap kenaikan satu satuan naiknya secara eksponensial. Jadi, 9 SR memiliki energy yang 10 kali lebi besar disbanding 8 SR.
Kesalahan prediksi pula menyebabkan kesalahan dalam menebak perkiraan mengenai gelombang tsunami yang akan terjadi. Berdasarkan perhitungan, gelombang tsunami yang akan sampai ke daratan tempat adanya reactor nuklir tersebut tidak akan sampai melebihi ketinggian 5 m. sehingga mereka sudah membangun tembok penghalang setinggi 5 m. namun, apa mau dikata, dengan magnitude gempa yang berbeda, ketinggian gelombang tsunami pun jadi berbeda. Sehingga reactor nuklir fukushima pun tidak dapat terhindarkan untuk ‘berjumpa’ dengan gelombang tsunami yang berenergi tinggi tersebut.
Sekarang, mari kita tengok. Kenapa sih sampai terjadi kesalaan dalam prediksi gempa? Dalam ilmu ‘nujum’ memprediksi gempa, hal-hal yang diperhatikan ialah kondisi geologi daerah, dan sejarah gempa yang terjadi pada daerah tersebut.
Pertama, kondisi geologi digunakan untuk membuat model daerah, dan dengan data-data seismic dan segala macam sifat fisis yang terus diperbarui, misalkan adanya kompresi di titik X dan ekstensi di titik Y, kemudian disajikan dalam model geologi daerah. Sehingga dapat terlihat kemungkinan di mana akan terjadinya focus gaya yang besar dan dapat mengakibatkan pelepasan energy dan berujung pada gempa bumi. Kendala dari metode ini ialah, model yang dibuat tidaklah sama 100% dengan kondisi geologi yang sebenarnya. Banyak asumsi-asumsi yang digunakan karena data-data yang dimiliki belum memenuhi untuk membuat model yang benar-benar sama dengan real-nya. Nah, asumsi-asumsi inilah kemungkinan yang menjadi penyebab adanya error dalam menebak kekuatan, lokasi focus, dan waktu terjadinya gempa bumi.
Kedua, sejarah gempa bumi di suatu daerah juga bisa dijadikan acuan dalam menentukan prediksi gempa. Sebab, dengan mengetahui sejarah gempa-gempa yang terjadi di suatu daerah, kita dapat mengetahui bagaimana karakteristik daerah tersebut ketika terjadi gempa. Entah kekuatannya, sifat penjalaran gelombangnya, dan lain sebagainya. Kasus gempa di Jepang, tidak pernah ditemukan data yang menyatakan terjadi gempa dengan magnitude di atas 8 SR. sehingga dengan percaya diri para ahli menyatakan bahwa maksimum magnitude yang terjadi ialah 8 SR. masalahnya terletak pada data yang dipunyai oleh si predictor. Mungkin data yang dimiliki berkata demikian. Namun, kejadian gempa sebelum perekaman data tidak ada yang tau, apakah pernah terjadi gempa di atas 8 SR. karena sepanjang apapun deretan data yang kita miliki, tidak akan lebih panjang dari umur bumi.
Begitulah, ilmu prediksi gempa ialah ilmu yang sudah ada metodenya, namun belum bisa terpakai secara optimal. Masih banyak hal-hal yang perlu untuk dikoreksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
be responsible with your comment....