Oleh Muhammad Syauqi
Prolog
Judul tulisan ini mungkin sangat provokatif bagi orang-orang yang sudah banyak mengkaji agama. Yah, ga perlu yang rutin mengkaji agama ajah sih, yang masih punya kesadaran untuk beribadah meski jarang ikut pengajian juga bisa-bisa ngeluarin golok terus saya langsung dipenggal.. -_-
Ungkapan ini memang sering dinyatakan oleh “Sang Pembunuh Tuhan”. Tapi, kebanyakan orang yang telah antipati duluan terhadap filsafat banyak sekali salah kaprah. Akibatnya, hanya berujung pada fitnah dan salah paham.
Di sini saya ingin membahas suatu kajian filsafat yang sangat populer, dan sangat berani, serta memiliki momen penting dalam perjalanan hidup manusia di seluruh dunia. Yah, motivasinya gara-gara ada senior yang masih salah paham dengan kalimat dalam judul tulisan ini sehingga nanya yang bener emang kayak gimana. Tapi selain itu, saya juga memang lagi senang-senangnya dengan filsafat eksistensialisme.
Pembahasan singkat tentang pemikiran dalam kalimat “Gott Ist Tott” ini pernah saya sampaikan ke anak-anak baru HATI pas lanjutan kajian industri selasa malam pekan lalu. Lumayan, ada yang nyambung juga soalnya dengan pengembangan konsep Industri Islam.
Oke kita mulai saja pembahasannya.
Realita Peradaban Awal Manusia
Sejak peradaban manusia paling pertama, bisa dibilang ada sebuah institusi yang selalu mewarnai jalannya peradaban tersebut. Institusi itu adalah institusi AGAMA. Hampir tidak ada kebudayaan yang ditemukan tidak memiliki intitusi agama. Dan, seringkali institusi agama ini memiliki pengaruh yang sangat besar di masyarakat. Mulai dari Kaisar Aztec yang selalu berkonsultasi dengan shaman sukunya untuk mengatasi bencana, Ratu Mesopotamia yang bersama Pendetanya memimpin persetubuhan berjamaah, Archimides yang memberikan persembahan 100 ekor sapi kepada para dewa setelah dia menemukan ide tentang massa jenis, Pemahkotaan Charlemagne oleh Paus, hingga para Khalifah Islam yang memerintah atas mandat hukum langit (syariat).
Institusi agama telah menjadi sandaran hidup kemanusiaan sejak lama. Pandangan hidup yang paling mendasar dari sebuah peradaban berasal dari institusi-institusi agama ini. Peradaban yang gemilang sejak zaman kuno hingga zaman pertengahan selalu memiliki institusi agama yang menjadi keyakinan dan pandangan hidup masyarakatnya. Di Zaman Kuno (para ahli sejarah membagi sejarah peradaban manusia yaitu sebelum kehancuran Romawi Barat sebagai ‘zaman kuno’), acara-acara besar kenegaraan banyak dilakukan untuk hal-hal yang superstitious. Pejabat Pontifex Maximus memimpin dan mengatur pembangunan kuil-kuil besar di Romawi. Raja dan pendeta mesir membangun pramida-piramida raksasa. Sementara di abad pertengahan, perubahan paling penting yang memiliki pengaruh sejarah sangat besar terjadi akibat konsolidasi yang dilakukan institusi Gereja yang menyerukan orang-orang Eropa bersatu dan menyerbu Holy Land dan merebutnya dari kaum Muslim.
Dari sini dapat dipahami bagaimana di abad-abad tersebut manusia hidup dan beraktivitas sehari-hari dengan kesadaran transendental terhadap Tuhan danAgama. Agama telah menjadi panutan setiap anggota masyarakat dan menjawab setiap permasalahan masyarakat. Manusia memaknai hidup mereka dengan kesadaran transendental ini.
Perkembangan Eropa setelah Abad Pertengahan
Perang Salib membawa perkembangan baru di Eropa. Masyarakat Eropa yang selama ini hidup terkungkung dalam komunitas-komunitas feodal mengenal bahwa terdapat dunia yang luas di luar Eropa dengan peradaban dan ide-ide yang gemilang. Akhirnya semakin berkembanglah ide-ide baru di masyarakat Eropa, mulai dari pemikiran model kosmologi, hingga penjelajahan ke dunia baru. Abad ke-13 sampai abad ke-14 ini, disebut sebagai zaman Rennaisance.
Ide-ide yang baru bagi masyarakat Eropa ini tentu saja juga merupakan ide-ide yang baru bagi institusi yang menjadi panutan mereka: Gereja. Namun pada zaman ini pekembangan ide tersebut tidak membawa penentangan terhadap institusi Gereja. Ide-ide baru yang masuk ke masyarakat Eropa sama sekali tidak mengganggu kesadaran transendental mereka terhadap iman Kristen. Sebaliknya, justru semakin mengembangkan agama dan teologi Kristen itu sendiri. Misalnya, Thomas Aquinas seorang pendeta dan filosof di daerah Italia menyerap filsafat-filsafat Avvicenian Logic untuk mengembangkan filsafat dan teologi Kristen, yang merupakan pengembangan Aristotelian logic oleh para ahli kalam Islam.
Pada abad ke-15 sampai ke-16, dimulailah tanda-tanda di mana Gereja kurang siap dalam menerima perkembangan kemanusiaan di Eropa saat itu. Periode ini sering disebut sebagai zaman Reformasi Gereja. Namun, dalam periode ini pun penentangan yang terjadi tetap tidak mengganggu kesadaran transendental masyarakat Eropa terhadap iman Kristen. Kristen tetap menjadi panutan masyarakat Eropa. Hanya saja, banyak pihak-pihak yang berusaha melakukan reformasi terhadap gereja sehingga muncul aliran-aliran kristen yang memisahkan diri dari supremasi Vatikan, seperti yang dilakukan oleh John Calvin dan Martin Luther. Perkembangan ini terjadi dengan pesat di Inggris dan Jerman.
Aufklärung
Abad ke-17 sampai 18 disebut sebagai Age of enlightenment (bahasa Jerman-nya:Aufklärung). Pada masa ini perkembangan ide dalam masyarakat Eropa semakin kuat sehingga menekan Gereja dan Kristen. Zaman Reformasi Gereja yang melahirkan perpecahan di antara penganut Kristen membawa obat buruk bagi masyarakat Eropa. Peperangan dan kejahatan kemanusiaan terjadi karena perselisihan antar aliran-aliran Kristen ini; pembantaian oleh Raja Luois IV terhadap para penganut Protestan di Perancis, pengusiran orang-orang Katolik dari Inggris.
Selain itu, muncul juga ide-ide yg bertentangan secara frontal dengan teologi gereja. Misalnya, Materialisme dari para filosof Empirisme seperti David Hume. Dan dalam ranah sosial politik, John Milton di Inggris semakin merongrong Otoritarianisme Gereja dan Parlemen. John Locke dalam A Letter Concerning Toleration-nya mengemukakan ide awal sekularisme, bahwa tidak ada institusi keyakinan transendental yang berhak mencampuri kehidupan sipil.
Bisa dikatakan, pada periode ini Kristen dan Gereja semakin kehilangan pengaruhnya sebagai panutan dan makna hidup masyarakat Eropa. Meskipun begitu, masih banyak para filosof dan pemikir yang begitu “sholeh”. Ide-ide yg mereka kembangkan revolusionis. Namun, seperti pada abad awal Rennaisance, ide-ide tersebut mereka gunakan untuk semakin mengokohkan Kristen dan Gereja.
Filosof seperti Descartes tetap teguh pada keyakinan Katolik-nya, meski penguasa Inggris merongrong untuk menghancurkan setiap penganut selain Protestan. Kemudian Immanuel Kant dalam Critique of Pure Reason-nya mengemukakan sebuah argumen yang mungkin anak-anak rohis SMA sering gunakan sebagai argumen seperti: akal manusia terbatas, sedangkan Tuhan tidak terbatas, sehingga Tuhan-lah yang pasti benar. Kira-kira seperti itu yang ada dalam bukunya Kant, bahwa manusia tidak bisa sepenuhnya mengandalkan Empirisme maupun Rasionalisme untuk mencapai akal budi yang sempurna. Hanya yang transenden-lah yang pasti benar.
Filosof lain seperti Hegel mengemukakan ide lain yang agak “menyimpang”, namun sebenarnya dia menekankan supremasi yg transenden.
Titik Balik: Ideologi Versus Kristen
Setelah mengalami Aufklärung, perkembangan kemanusiaan di Eropa menjadi semakin kompleks. Mulai dari revolusi Industri, perkembangan teori-teori Ekonomi, sampai politik pemerintahan. Permasalahan manusia semakin besar dan menjadi-jadi. Perkembangan strata masyarakat akibat kapitalisme mengakibatkan alienasi dan eksploitasi. Kelas borjuis yang menindas kelas proletar melahirkan pemikiran Marxisme.
Dalam keadaan ini, Gereja dan Kristen benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Tradisi politik kuno dalam masyarakat Eropa zaman dahulu semakin ditinggalkan dan digantikan dengan demokrasi dan parlemen. Begitu juga tradisi ekonomi masyarakat feodal kuno semakin ditinggalkan dan digantikan pemikiran-pemikiran Ekonomi Klasik. Kaum Atheis pun bermunculan dan tidak ragu-ragu lagi menonjolkan diri di publik.
Gereja dan Kristen benar-benar sudah habis. Masyarakat Eropa telah mengalihkan makna hidup mereka dari keyakinan transenden kepada Sekularisme, Liberalisme, dan Marxisme. Gereja tidak mampu menjawab permasalah manusia yang semakin berkembang saat itu.
Søren Aabye Kierkegaard yang mungkin merupakan filosof “sholeh” terakhir di masaAufklärung mengungkapkan keadaan ini dengan pernyataan berikut:
I ask: what does it mean when we continue to behave as though all were as it should be, calling ourselves Christians according to the New Testament, when the ideals of the New Testament have gone out of life? The tremendous disproportion which this state of affairs represents has, moreover, been perceived by many. They like to give it this turn: the human race has outgrown Christianity.
Terjemahnya: “Aku bertanya: apa artinya ketika kita terus bersikap seolah-olah semua itu sebagaimana mestinya, menyebut diri kita Kristen berdasarkan Perjanjian Baru, ketika cita-cita Perjanjian Baru telah hilang dari kehidupan? Suatu ketimpangan luar biasa di mana situasi dan peristiwa saat ini telah menunjukkan, yang apalagi, telah banyak dipersepsikan. Mereka ingin menunjukkan perubahan ini: manusia telah melampaui Kristen.“
Pengejawantahan Nietzsche
Okeh, kita mulai ke masalah pokoknya.. (udah panjang lebar gini malah baru mau masuk masalah pokoknya.. -_- )
Friedrich Wilhelm Nietzsche adalah seorang eksistensialis seperti Kierkegaard, sehingga fokus filsafatnya adalah eksistensi manusia. Perkembangan Eropa terakhir masa Aufklarung dan ditinggalkannya keyakinan transendental sangat mengganggu batin Nietzsche. Permasalahannya adalah manusia-manusia Eropa yang baru, mereka menyandarkan makna hidupnya pada pemikiran-pemikiran yang berbasiskan materialisme dan tidak ada ruang transenden sedikitpun.
Maka jika demikian, dengan menggunakan pemikiran Kant sebelumnya, dapatkah manusia mendapatkan pemecahan masalah kehidupan dengan sempurna? Dapatkah manusia mencapai akal budi yang paripurna? Bukannya malah yang akan terjadi dalam kehidupan fana ini hanyalah benturan-benturan kepentingan materi yang tidak ada habisnya?
Nietzsche takut dengan menyandarkannya manusia dalam kehidupan fana, masihkah ia menyisakan makna atas hidup manusia? Yang akan terjadi justru manusia akan jatuh kedalam jurang Nihilisme.
Untuk catatan, Nihilisme adalah pemikiran filsafat yang menegasikan setiap makna hidup manusia. Contoh pemikiran Nihilisme: “Buat apa hidup? kalo mati cuman jadi tanah!?” (mungkin ada rekan2 yg pernah mendengar kalimat ini.. -_- )
Oleh karena itu, Nietzsche akhirnya menyimpulkan bahwa mau tidak mau manusia harus memiliki pemecahan kehidupan yang menyelamatkan manusia dari Nihilisme.
Gott Ist Tot
Gott Ist Tot adalah kalimat dalam bahasa Jerman yg jika diterjemahkan dalam bahasa Inggris artinya adalah “God Is Dead” dan dalam bahasa Indonesia artinya adalah “Tuhan telah Mati”. Seperti yang saya singgung di prolog, kalimat ini terlalu vulgar. Bisa-bisa orang yang mengucapkannya langsung dipenggal oleh orang-orang religius anti-filsafat. -_-
Namun, kesalahan besar jika memahami ungkapan Nietzsche secara harfiah. Dalam usaha menyelamatkan manusia dari Nihilisme, Nietzsche melihat penghalang utama untuk mencapai hal tersebut; yaitu, Kristen itu sendiri. Meski telah ditinggalkan, Kristen tetap menjadi pengejawantahan yang lazim atas keyakinan transendental. Sementara itu, Humanity has outgrown Christianity, Kemanusiaan telah melampaui Kristen. Kristen, meskipun sebuah pengejawantahan keyakinan transendental, tidak bisa lagi mengurus kehidupan manusia. Oleh karena itu, untuk mencapai ranah transendental baru yang bisa menyelamatkan manusia dari Nihilisme, semua teleologi dan teologi kristen harus disingkirkan.
Di sinilah Nietzsche menggunakan ungkapannya untuk mencapai maksud tersebut: Gott Ist Tott. Bahwasannya Tuhan tidak lagi dapat menjadi sumber moral dan teleologi kemanusiaan. Manusia harus menyelamatkan diri dari ke-”fana”-an, dan memulainya dengan menghancurkan Iman kepada Tuhan sebagai konsep Kristen, untuk mencapai ranah transenden yang baru; dan menjadi Übermensch, seorang manusia paripurna yang telah selamat dari Nihilisme.
Jadi, Gott Ist Tott adalah ungkapan Nietzsche yang digunakan untuk menggambarkan kehidupan masyarakat Eropa yang telah meninggalkan keyakinan transendental dalam memaknai hidupnya. Juga sebagai senjata untuk mencapai Übermensch.
Paragraf lengkap yang menjelaskan pemikiran Nietzsche tentang ungkapan ini dalam bukunya Gay Science sebagai berikut:
Tuhan sudah mati. Tuhan tetap mati. Dan kita telah membunuhnya. Bagaimanakah kita, pembunuh dari semua pembunuh, menghibur diri kita sendiri? Yang paling suci dan paling perkasa dari semua yang pernah dimiliki dunia telah berdarah hingga mati di ujung pisau kita sendiri. Siapakah yang akan menyapukan darah kita? Dengan air apakah kita dapat menyucikan diri kita? Pesta-pesta penebusan apakah, apa perlu permainan-permainan suci yang kita ciptakan? Bukankah kebesaran dari perbuatan ini terlalu besar bagi kita? Tidakkah seharusnya kita sendiri menjadi tuhan-tuhan semata-mata supaya layak akan hal itu [pembunuh Tuhan]?
Dalam paragraf di atas, Nietzsche ingin menggugat kaum atheis atas pemikiran dan pandangan hidup mereka: bahwa mereka meninggalkan keyakinan transendental, namun tidak memiliki pemecahan kehidupan yang keluar dari nihilistik.
Jadi, secara singkat, filsafat eksistensialisme Nietzsche adalah bahwa manusia yang saat itu telah keluar dari agama (keyakinan transendental) dan menyandarkan hidupnya pada ideologi-ideologi yang berbasiskan ke-”fana”-an (materi), akan kehilangan makna hidupnya. Oleh karena itu, manusia harus mencari konsep transendental baru di luar agama, dan menjadi manusia purna-Übermensch.
Perkembangan Setelah Nietzsche
Bagaimanakah perkembangan kemanusiaan setelah Nietzsche? Apakah manusia telah berhasil menjadi Übermensch?
Nampaknya angan-angan Nietzsche hanya menjadi utopia saja. Bukan kemanusiaan yang menjadi paripurna dan keluar dari nihilistik, tetapi konflik-konflik berbasiskan kepentingan fana (materi) semakin menjadi-jadi. Dua Perang Dunia berlangsung sebagai bencana kemanusiaan terdahsyat. Kematian akibat kelaparan dan pembantaian politik terjadi di Afrika dan Asia. Krisis-krisis ekonomi terus berulang tanpa solusi.
Selain itu, manusia-manusia yang kehilangan motivasi hidupnya, mereka bunuh diri, baik yang kebutuhan hidupnya sekarat maupun berlebih. Orang-orang menjadi sakit jiwa setelah mengalami konflik dalam hidupnya. Bisa dikatakan: manusia benar-benar terjebak dalam nihilistik.
Filosof eksistensialis abad ke-20 seperti Sartre mengungkapkan pemikirannya yang malah cenderung menerima ke-”fana”-an: bahwa kehidupan manusia itu tidak mengandung arti, bahkan tidak masuk akal. Tetapi, manusia dapat hidup dengan aturan-aturan, keluhuran budi, dan keberanian; dan dia dapat membentuk masyarakat. Ini adalah sebuah pemikiran yang menggunakan Materialisme untuk mengatasi Nihilisme itu sendiri, padahal Nietzsche sebelumnya beranggapan bahwa Materialisme hanya mengantarkan kepada Nihilisme.
Ide-ide Nietzsche masih sering diapresiasi khalayak di abad ke-20 ini. Misalnya, majalah Time dalam salah satu sampulnya “Is God Dead?“. Kemuidan, syair lagu dari The Dandy Warhols yg berbunyi, “Aku menginginkan Tuhan yang tetap mati.. bukan yang pura-pura mati..”
Namun, meskipun begitu, kapankah Übermensch dapat diraih? Sehingga manusia terlepas dari ke-”fana”-an?
Penutup
Nietszche telah menjadi guru besar di Basel pada umur 25 tahun. Sepuluh tahun berikutnya dia diberhentikan karena sakit parah. Kemudian, 10 tahun berikutnya ia habiskan dengan menggelandang keliling Italia dan Perancis. Dan 10 tahun berikutnya, dia mengalami sakit jiwa hingga meninggal dunia.
Terlepas dari akhir hidupnya yang cukup memperihatinkan, perkembangan seorang Nietzsche adalah suatu kewajaran dalam kekonyolan. Bagaimana tidak, ketika perkembangan hidup manusia begitu pesat, mulai dari revolusi Industri yang mengubah tatanan sosio-kultur masyarakat, revolusi Politik yang mengubah tatanan kekuasaan di masyarakat, dan revolusi Ekonomi yang mengubah pengelolaan kebutuhan hidup masyarakat, sehingga memunculkan permasalahan-permasalahan kemanusiaan yang begitu pelik dan kompleks. Dan pada keadaan seperti ini, agama Kristen sebagai suatu ranah ilahiyah – yang divine — yang berasal dari Tuhan yang omnipotent, tidak mampu memberikan solusi atas permasalahan manusia yang mortal dan terbatas?
Maka cukup wajar bagi Nietzsche untuk menyingkirkan “Tuhan” yang tidak berguna seperti itu.
Manusia pada akhirnya beralih kepada ideologi-ideologi hasil pemikiran mortal mereka. Dan dengan ideologi-ideologi tersebut, mereka menjalankan dan memaknai kehidupan mereka dalam ke-”fana”-an, yang akhirnya menjebak mereka dalam konflik-konflik materi yang tidak ada habisnya, yang menggulirkan masalah-masalah baru yang tidak pernah bisa diselesaikan. Meskipun begitu, kehidupan manusia yang telah melepaskan dirinya dari ikatan transendental (ilahiyah) ini telah dianggap sebagai kehidupan yang maju dan modern.
Itulah perkembangan kemanusiaan yang berpusat pada perkembangan masyarakat Eropa.
Lantas bagaimana dengan Umat Islam? Sayangnya, ketika agama Kristen semakin kehilangan supremasinya, umat islam malah semakin menjauh dari agama mereka sendiri. Mereka tidak lagi mencari penyelesaian masalah mereka dari sumber-sumber agama mereka, dikarenakan kebodohan mereka sendiri. Umat Islam pun secara resmi meninggalkan ikatan transendental-nya dengan keruntuhan khilafah.
Sehingga, pada akhirnya terjadilah anggapan umum di masyarakat yg men-generalisasi ketidakberdayaan “Tuhan”. Seringkali kita mendengar bahwa menerapkan syari’at maka kembali ke zaman batu. Padahal, apakah benar demikian adanya?
Kita lihat lagi krisis finansial global tahun 2009. Ketika pemikiran-pemikiran ekonomi manusia tidak mampu menyelesaikan permasalahan mereka sendiri, lalu surat kabar Vatikan L'Osservatore Romano merekomendasikan dunia untuk mengadopsi sistem keuangan Islam. Terlihat dari institusi-institusi keuangan syariah yang tidak terpengaruh oleh krisis tersebut.
Dari fakta tersebut, apakah memang Islam tidak mampu memberikan solusi atas kemanusiaan? APAKAH AJARAN ALLAH DAN RASULNYA SAW. TELAH USANG??
Orang-orang boleh mengatakan Humanity has outgrown Christianity, TAPI JANGAN BAWA-BAWA ISLAM! HUMANITY HAS NOT OUTGROWN ISLAM!! [baca sambil teriak2 orasi.. ^.^ ]
Tidak satupun orientalis yang telah berhasil men-desakralisasi-kan Al-Qur’anKalamullah. Tidak satupun karya-karya manusia yang menyerupai barisan ayat-ayat Al-Qur’an. Maka, BAGAIMANA MUNGKIN KEMANUSIAAN TELAH MELAMPAUI ISLAM?! [orasi lagi.. ^^ ]
Oleh karena itu, di sinilah tugas teman-teman HATI (khususnya, -red.) untuk meluruskan anggapan masyarakat: bahwa salah besar jika agama tidak memiliki ide atas perkembangan kemanusiaan yang modern. ISLAM-LAH YANG AKAN MENYELAMATKAN KEMANUSIAAN! [orasi lagi..]
Orang-orang mungkin akan merasa aneh jika mendengar “Sistem Industri Islam”; “Hah, ada gituh? Macam apa pula itu??,” seperti itu mungkin gumam mereka. Tapi, kita perlu menunjukkan kepada orang-orang bahwa anggapan mereka itu salah besa. Dengan izin Allah, kita akan mengembalikan kemanusiaan dari ideologi-ideologi kufur yang menafikkan ranah transendental, kepada petunjuk dan ajaran dari Allah dan Rasul-Nya Saw.
SELAMAT BERJUANG!
(Sumber: milis HATI ITB)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
be responsible with your comment....