Revolusi
Suriah sudah menginjak tahun kelima. Belum ada tanda-tanda gerakan revolusioner
itu akan berakhir, entah berakhir dengan kemenangan ataupun ditutup dengan
kekalahan, sebagaimana terjadi di sejumlah negeri Arab sejak Arab Spring muncuk
ke permukaan. Di Tunisia, Libya, Mesir, dan Yaman revolusi boleh dikatakan
gagal. Pasalnya, pasca revolusi, rezim boleh berganti, tetapi sistem
pemerintahan tetap sekuler. Di Mesir, rezim sekuler sekarang bahkan lebih lalim
dan kejam dibandingkan dengan rezim sebelumnya. Kegagalan Arab Spring justru
menunjukkan sebaliknya, kemenangan intervensi Barat kafir penjajah dalam
membajak revolusi.
Adapun di
Suriah, meski pilar-pilarnya sudah mulai melemah, rezim Assad tetap masih bisa
bertahan hingga kini. Tidak lain karena kuatnya dukungan kafir penjajah Barat,
khususnya AS dan Rusia terhadap rezim ini. namun, Barat kafir penjajah,
khususnya AS, belum dikatakan berhasil mewujudkan skenarionya di Suriah, yakni
membajak revolusi sesuai dengan kepentingan mereka, sebagaimana kesusksesan
mereka membajak revolusi di neger-negeri Arab yang lain.
Konflik di
Suriah sudah memasuki tahun kelima. Lebih dari 250 ribu orang tewas, termasuk
setidaknya 10 ribu anak-anak. Hingga kini konflik Suriah kian memanas. Situasi
paling mutakhir dan plaing menonjol disoroti media adalah serangan Rusia
terhadap kelompok oposisi. Kemeterian Pertahanan Rusia mengonfirmasi, bahwa
lebih dari 50 pesawat jet tempur dan helikopter militer dikerahkan ke Suriah,
sejak Rabu 30 September 2015.
Pelajaran Untuk Umat Islam
- Persekongkolan Kaum Kafir Harbi
Dalam
ketegangan yang terjadi belakangan ini, peranan Rusia tampak lebih mendominasi,
bahkan sebelum serangan udara yang Rusia lancarkan. Pada 18 Juni 2015, Vladimir
Putin bertemu dengan Amir Muhammad bin Salman, Waliy Waliyul ‘Ahdi KSA. Dalam
pertemuan tersebut, Rusia memprakrasai pembentukan koalisi Turki – Saudi –
Suriah – Yordan dalam menghadapi ancaman organisasi teroris.
Setelah
pertemuan ini, terjadilah pertemuan Amir Muhammad bin Salman dengan Ali Mamluk
(Kepala Biro Keamanan Suriah). Pertemuan ini kemudian diikuti dengan pertemuan
3 menteri luar negeri: John Kerry (AS), Sergey Lavrov (Rusia), dan ‘Adil Jubair
(KSA) di Doha. Dalam konferensi persnya, Kerry menyatakan bahwa ketiganya
sepakat akan pentingnya solusi politik dan peranan kelompok oposisi hingga
tercapainya solusi itu.
Dari fakta
yang beredar nampak dengan jelas adanya keterkaitan antara AS dan Rusia dalam
konflik di Suriah. Dua negara yang lebih dikenal memiliki hubungan permusuhan
yang kental semenjak masa Perang Dunia. Namun, berbeda dalam hal konflik
Suriah, kedua negara ini menjadi sangat akur dan bahkan Rusia mau tunduk pada
skenario rancangan AS. AS disini memiliki kepentingan untuk tetap menjaga
keberlangsungan pengaruhnya di Timur Tengah dengan terus menjaga agar revolusi
Suriah tetap berpihak pada mereka. Sehingga mereka harus memastikan kesiapan
sang pengganti Assad agar tetap berada pada pengaruh AS.
Sementara Rusia bukan
berarti ikut dalam konflik Suriah tanpa mengharapkan apapun. Rusia sendiri
punya banyak kepentingan di Suriah, yaitu menjaga pangkalan militernya di
Tartus – Suriah, sebagai satu-satunya pangkalan militer Rusia di Laut Tengah.
Maka dapat
kita lihat betapa 2 negara yang berseteru dapat menjadi bersatu karena
kepentingan dan karena yang dilawan ialah kelompok perlawanan yang mencirikan
diri mereka pembawa revolusi Islam.
Rusia aslinya
adalah sekutu dekat Assad yang partainya memang bercorak sosialis. Sehingga Rusia
berkeinginan agar Assad tetap dipertahankan di tampuk kepresidenan. Namun,
karena AS menganggap bahwa Assad sudah tidak dapat dijadikan agen yang moderat
bagi AS, maka skenario yang diterapkan AS ialah menggantinya atau paling tidak
membentuk pemerintahan transisi hingga AS menemukan pengganti yang siap menjadi
agen mereka.
Dan keberpihakan
kdeuanya yang pasti bertolak belakang dengan keinginan revolusi Islam yang
diusung oleh mujahidin. Sehingga serangkaian kesepakatan dirancang untuk
meredam gejolak perlawanan dari mujahidin. Mulai dari Perjanjian Jenewa 1 hingga
yang terakhir Proposal De Mistura. Kesemuanya bertujuan untuk mendesak
mujahidin agar mengakhiri perlawanannya dan menerima opsi yang ditawarkan oleh
negara-negara barat yang dimotori AS.
Keterlibatan negara-negara
kafir harbi tersebut tidak lain untuk meredam tumbuhnya benih-benih kebangkitan
Islam yang diusung oleh mujahidin. Dengan senjata diplomasi dan bermanis muka
bahkan hingga tekanan fisik seperti yang dilakukan AS, Rusia, dan yang terbaru
Perancis. Hal ini mengingatkan kita pada persitiwa perang Khandaq, dimana
Negara Islam Madinah yang kala itu dipimpin oleh Rasulullah Muhammad SAW
dikepung oleh tentara sekutu di bawah koordinasi Kafir Quraisy Mekah. Sekalipun
pada kenyataannya pasukan sekutu tersebut adalah rival, namun dalam perkara
memerangi kaum Muslimin mereka bersatu dalam satu pasukan. Ini yang patut kita
ambil pelajarannya bahwa kaum kafir sampai kapan pun tidak akan membiarkan
Islam bangkit dengan mudahnya, sampai-sampai mereka harus bersekutu dengan
musuhnya yang sehari-hari.
- Topeng Pemimpin Negeri Islam
Penguasa Arab
setuju dengan labgkah Barat dalam menyelesaikan konflik Suriah, yakni melalui
jalan politik. Tak ada hal baru dalam beberapa pertemuan yang melibatkan para
petinggi Saudi, Rusia, dan AS, selain mempercepat proses terbentuknya pengganti
pasca Assad yang loyal terhadap Barat.
Hal yang sama
juga dilakukan Turki. Perannya tidak kalah membahayakan bagi tujuan revolusi Suriah.
Turki mengklaim mendukung kelompok perlawanan, namun nyatanya itu dilakukan
untuk mengontrol arah perjuangan mereka, hingga akhirnya berubah menjadi
kelompok moderat. Mereka senghaja dikumpulkan dalam camp-camp khusus, bahkan
diberi tempat untuk membuka kantornya di Turki. Beberapa kelompok perlawanan
itu kemudia disatukan di dalam sebuah koalisi di bawah pengawasan Robert Ford
(delegasi AS).
Maha Besar
Allah yang telah membuka topeng-topeng dari para pemimpin negeri-negeri Islam,
yang dalam pidatonya seringkali menarik simpati umat Islam dengan mengecam
Israel dan musuh-musuh Islam. Namun dalam konflik Suriah terlihat dengan jelas
mereka berada di pihak mana. Alih-alih bersikeras mendesak Assad agar menghentikan
aksi militernya dan menyerahkan tampuk kepresidenan, mereka malah memihak
kepada AS untuk meloloskan agenda besar AS dalam mencengkeram Suriah melalui
agen yang loyal pada AS. Tidakkah para pemimpin itu mengetahui berapa ribu
rakyat sipil Suriah yang terbunuh oleh aksi militer di bawah komanda Assad? Tidakkah
mereka sadar bahwa revolusi Islam yang sesungguhnya diinginkan oleh rakyat
Suriah? Namun mereka justru ingin mengaborsi revolusi tersebut dengan
mengalihkan dukungan pada AS yang menginginkan presiden boneka pengganti Assad.
Maka cukuplah bagi kita umat Islam untuk berharap pada para pemimpin yang
bertindak seakan antek dari kafir penjajah.
- Ketidaksamaan Visi Mujahidin Suriah
Dengan medan
konflik yang meluas, tak hanya persoalan Suriah, namun juga beririsan dengan
kepentingan-kepentingan lainnya, maka inilah yang menjadikan kelompok-kelompok
di Suriah termasuk faksi-faksi bersenjatanya, sulit untuk bersatu.
Keberadaan berbagai
kelompok bersenjata ini, apalagi belum kuatnya persatuan di antara mereka,
menjadikan secara internal rawan konflik. Sebagai contoh saat ISIS
mendeklarasikan negara Islam pada 29 Juni 2014, perselisihan ISIS dengan
beberapa faksi bersenjata di Suriah terlihat makin menajam dari sebelumnya. Konflik
baru pun bermunculan.
Kelompok-kelompok
revolusioner di Suriah ternyata juga mendapat sokongan dari pihak luar yang
berbeda-beda. Hal ini memungkinkan adanya ketergantungan mereka pada pihak luar
yang bisa jadi memiliki agenda dan kepentingan tersendiri di Suriah.
AS, Turki,
Qatar, dan Arab Saudi adalah kekuatan negara asing yang mendukung perlawanan
terhadap Assad. Sebaliknya Iran dan Rusia serta Hizbullah dari Libanon adalah
kekuatan yang mendukung pemerintahan rezim Assad. Dukungan mereka dapat berupa
logistik, diplomatik, atau personel di lapangan.
Untuk menjadikan
revolusi Suriah menjadi sebagai revolusi Islam maka mutlak untuk menolak segala
campur tangan negara-negara Barat dalam revolusi rakyat ini. negara-negara
Barat tidak akan datang begitu saja tanpa agenda dan kepentingan di Suriah. Mereka
mengerahkan segenap cara untuk dapat mewujudkan agenda dan kepentingan mereka.
Kelompok-kelompok
revolusioner Suriah harus menyadari bahwa keterpecahbelahan mereka merupakan
makanan empuk bagi negara-negara barat untuk melakukan politik devide et
impera. Karena itu persatuan di antara mereka adalah hal mutlak. Fokus dan
berkerjasama dalam satu visi yang sama, kembali pada alasan awal Revolusi
Suriah yang digulirkan, yakni bagaimana rezim yang sewenang-wenang ini dapat
ditumbangkan, dan sesegera mungkin membangun pemerintahan Islam di Suriah.
- Black Campaign di Tengah Masyarakat Dunia
Sudah menjadi
hal umum bahwa perjuangan kelompok revolusioner di Suriah menjadi bahan
perbincangan media massa internasional semenjak dimulakan pada Maret 2011. Ada pemberitaan
yang mendukung perjuangan mereka, namun tidak sedikit yang mencitrakan perjuangan
kelompok revolusioner bersenjata sebagai gerakan terorisme. Apalagi sejak ISIS
mendeklarasikan Negara Islam pada Juni 2014, ditambah dengan pengopinian media
pro barat yang menunjukkan tindakan kekejaman dari kelompok ISIS. Terlepas dari
kebenaran pemberitaan terkait ISIS tersebut, dapat dengan mudah terlihat bahwa
arahnya ialah untuk mencabut rasa simpati masyarakat dunia terhadap perjuangan
menggulingkan rezim lalim Bashar Assad. Ditambah lagi dengan kejadian Jumat
lalu di Paris, maka opini umum melawan perjuangan revolusioner di Suriah
semakin menggejolak, sekalipun yang dikecam adalah ISIS, namun media cenderung
untuk mengaburkan batas antara ISIS dan kelompok bersenjata lain yang masih
ikhlas dan sungguh-sungguh untuk menyelesaikan perjuangan ini hingga rezim
berganti.
- Masa Depan Pasti Milik Islam
Sekalipun beragam
cara dan upaya yang direncanakan oleh kaum kafir penjajah terhadap peluang
terjadinya revolusi Islam di Suriah, itu semua tidak membuat janji Allah
terhadap kebangkitan Islam menjadi berubah. Kebangkitan Islam merupakan janji Allah,
saat ini atau nanti, di Suriah ataupun di tempat lain. Hal yang harus tetap
dipegang teguh oleh umat Islam adalah tetap berjuang dengan ikhlas dan sungguh
sembari meletakkan harapan hanya kepada Allah semata, bukan kepada pemimpin
Barat ataupun pemimpin negeri Islam yang bertopeng, agar kebangkitan Islam
dengan Khilafah Islamiyah sesegera mungkin diberikan. Pihak Barat-pun sangat
yakin akan hal ini. Bahkan akibat ketakutan mereka akan kebangkitan Islam
inilah yang menyebabkan mereka mau dengan senang hati bersekutu dengan negara
seteru mereka. Francois Hollande, Presiden Perancis pun mengatakan, “Suriah
dibagi menjadi 2 bagian. Sebagian dikendalikan oleh rezim Assad. Sebagian besar
lain dikuasai oelh kekacauan dan oposisi, yang tujuan akhirnya adalah Khilafah,
dan ini akan menjadi kasus terburuk. Untuk itu, kami tidak akan pernah menerima
kejadian tersebut dan hal-hal yang mengarah kesana.” Maka pertanyaan
selajutnya, jika orang kafir sebegitu percayanya dengan kebangkitan Islam, maka
apakah kita tidak? Cukuplah kita menengok peristiwa perang Khandaq. Selicik-liciknya
kaum kafir bersiasat untuk meredupkan cahaya Islam, tidak akan pernah sampai
selama umat Islam berpegang teguh pada Islam dan bertawakal pada Allah atas
segala sesuatunya. Hasbunallah wa ni’mal wakiil. Ni’mal maula wa ni’mannashir.
(dari berbagai sumber)