Ada sebagian
kelompok atau jamaah dakwah yang menyatakan bahwa dakwah yang lebih utama
adalah dakwah yang berorientasi pada masalah aqidah,
alasannya adalah karena pertama kali Rasulullah berdakwah adalah membahas
masalah akhlaq dan aqidah. Salah satu alasannya adalah dengan mengutarakan beberapa ayat al Qur’an dan
hadist-hadist.
Semisal
mereka berhujjah:
Tujuan utama
Allah menciptakan manusia, mengutus para Rasul, dan Menurunkan kitab-kitabNya Allah berfirman, yang artinya: “Tidaklah aku ciptakan jin dan manusia
kecuali untuk beribadah kepadaKu.” (QS. Adz Dzariyat: 56).
Allah
berfirman yang artinya: “Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu,
melainkan Kami wahyukan kepadanya: “Bahwa tidak ada sesembahan (yang hak)
melainkan Aku. Maka sembahlah Aku!” (QS. Al Anbiya’: 25).
Allah juga berfirman: “Inilah satu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Agar kamu tidak menyembah selain Allah…” (QS. Hud: 1-2).
Allah juga berfirman: “Inilah satu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi Allah Yang Maha Bijaksana lagi Maha Mengetahui. Agar kamu tidak menyembah selain Allah…” (QS. Hud: 1-2).
Ibadah yang
dilakukan oleh manusia tidak bisa dinamakan ibadah kepada Allah kecuali dengan
meninggalkan pembatal-pembatal ibadah. Diantaranya adalah kesyirikan. Artinya,
ketika beribadah manusia dituntut untuk mentauhidkan Allah. Sebagaimana shalat
tidak bisa disebut shalat kecuali jika bersih dari pembatal shalat.
Oleh karena
itu, makna kata ibadah dalam ayat ini adalah adalah tauhid. Karena hakekat
ibadah adalah mentauhidkan Allah dalam setiap menjalakan perintah dan larangan.
Khilafah
adalah hadiah dari Allah bagi setiap orang yang bertauhid
Allah
berfirman yang artinya: “Dan Allah telah menjanjikan orang-orang yang
beriman dan beramal sholeh bahwa Allah sungguh akan menjadikan mereka berkuasa
di muka bumi (baca: mewujudkan khilafah) sebagaimana Allah telah memberikan
kekuasaan kepada orang-orang sebelum kalian. Dan sungguh Dia akan meneguhkan
bagi mereka agama yang Dia ridhoi untuk mereka (Islam), dan Dia sungguh akan
mengganti keadaan mereka, sesudah mereka dalam ketakutan menjadi aman. Mereka
beribadah kepadaKu dan tidak menyekutukanKu dengan sesuatu apappun.” (QS.
An Nur: 55).
Dalam tafsir
Al Jalalain dijelaskan bahwa Allah telah mewujudkan janjiNya kepada kaum
muslimin (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat) dan Allah memuji
mereka dengan firmanNya di akhir ayat di atas: “Mereka beribadah kepadaKu dan tidak menyekutukanKu dengan sesuatu
apapun.” Maka ayat ini berstatus sebagai alasan kenapa Allah memberikan kekuasaan
kepada mereka (Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat).
Oleh karena
itu, secara urutan manusia dituntut untuk menegakkan tauhid terlebih dahulu
barulah kemudian Allah memberikan hadiah kepada kaum muslimin dengan
diwujudkannya kekuasaan (khilafah) bagi mereka. Bukan sebaliknya, khilafah dulu
baru semua penyimpangan diselesaikan. Karena sebagaimana yang dijelaskan dalam
tafsir di atas bahwa tauhid merupakan syarat mutlak suatu kaum itu mendapatkan
khilafah. Dan demikianlah realita yang terjadi pada dakwahnya Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, setelah belasan tahun beliau mengajak umat kepada tauhid
barulah Allah memberikan kekuasaan kepada beliau dan para sahabat tepatnya
setelah mereka hijrah ke madinah.
Jadi, menurut sebagian orang ini bahwa hal pertama yang wajib didahulukan adalah perkara tauhid, dan bukan khilafah. Dan mereka juga menyangka
bahwa para aktivis yang mendakwahkan tegaknya khilafah membuat pernyataan bahwa
dahulukan dakwah pada khilafah baru kemudian dakwah kepada tauhid. Namun
sebenarnya pernyataan terakhir ini adalah tidak benar adanya.
Dari
ketidaktahuan akan dakwah para aktivis
yang mendakwahkan khilafah-lah yang telah membuat para tokoh kelompok
itu gampang sekali membuat kesimpulan yang keliru dan seakan ingin membuat
opini negatif akan perjuangan para aktivis yang mendakwahkan khilafah dan syariah, semisal kesimpulan yang
dibuat oleh sebagian orang ini:
“Menganggap
semua oknum yang tidak memiliki andil dalam penegakan khilafah sebagai orang
sesat. Jika dia mati maka mati dalam keadaan membawa aqidah jahiliyah. Atau
dengan bahasa yang lebih kasar, mati kafir. Diantara dalil yang digunakan untuk
menguatkan anggapan ini adalah hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Barangsiapa yang berpisah dari jama’ah (mereka
maknai dengan khilafah) maka dia mati sebagaimana matinya orang-orang
jahiliyah.” (HR. Al Bukhari). Karenanya siapa saja yang tidak mau gabung
dengan khilafah, atau tidak ikut andil dalam menegakkan khilafah (karena
khilafah belum berdiri) maka dia mati seperti matinya orang jahiliyah. Yang
benar, hadis ini sama sekali tidak menunjukkan makna di atas. Karena yang
dimaksud keluar dari jamaah adalah memberontak kepala negara kaum muslimin yang
sah. Sedangkan yang dimaksud mati jahiliyah adalah mati dalam keadaan
bermaksiat bukan mati kafir. (lih. Fathul Bari 20/58).”
Koreksi : Tidak pernah ditemukan dalam satu
kitab resmi yang di adopsi oleh HT bahwa HT mengatakan orang-orang yang tidak
memperjuangkan khilafah adalah sesat. Ini pun adalah tidak benar adanya, kalau
tidak ingin disebut sebagai fitnah yang keji yang dilontarkan oleh orang-orang
yang belum faham akan aktivitas dan dakwah HT itu sendiri. Jadi kesimpulan di
atas adalah kesimpulan sepihak sebagian orang yang memang belum faham akan aktivitas
dan dakwah HT. Karena HT sendiri menyimpulkan hadist tersebut seperti ini: “Hadist
tersebut menjelaskan keharaman kaum muslimin keluar (memberontak, membangkang)
dari penguasa (as sulthan). Berarti
keberadaan Khilafah adalah wajib, sebab kalau tidak wajib tidak mungkin Nabi
SAW sampai begitu tegas menyatakan bahawa orang yang memisahkan diri dari
Khilafah akan mati jahiliyah. Jelas ini menegaskan bahawa mendirikan
pemerintahan bagi kaum muslimin statusnya adalah wajib. Dan tidak benar bahwa
HT menjadikan hadist ini sebagai dalil bagi penyesatan untuk orang-orang yang
tidak memperjuangkan atau tidak bergabung dengan HT, na’udzubillah.
Kemudian
apakah benar bahwa para sahabat mendauhulukan perkara tauhid ketimbang perkara
khilafah?
Apakah para
sahabat Nabi SAW mendakwahkan penegakan daulah ke berbagai negeri ataukah
mendahulukan dakwah kepada tauhid?, berikut penjelasannya:
Contoh
terbaik dalam dakwah adalah dakwah yang dilakukan oleh Rasul SAW, maka kita
harus mengkaji apa saja yang dilakukan Rasul SAW selama dakwah yang beliau
lakukan di Makkah, apakah terbatas pada dakwah tauhid atau ada aktifitas yang
lainnya. DR. Abdurrahman Al-Baghdadi menjelaskan bahwa selama di Mekkah, Nabi
Saw melakukan sejumlah aktifitas antara lain:
a-
Pemantapan aqidah Islamiyah: Aqidah dijadikan sebagai asas perbaikan individu,
asas pembentukan masyarakat, dan asas penyenggaraan negara.
b-
Pergumulan pemikiran: membantah hujjah orang yang memusuhi Islam dan menyerang
pemikiran aqidah mereka.
c-
Perjuangan politik: menentang para pembesar dan pemimpin yang memusuhi Islam
serta membongkar rencana dan konspirasi mereka; seperti yang tertera dalam
surat al-Qolam ayat 10-16, surat ath-Thoriq ayat 15-17, surat al Anfal ayat 30,
dll.
d- Mengkritik
hubungan di antara anggota masyarakat serta adat istiadat yang
mengatur mereka yang telah usang dan tidak sesuai dengan Islam. Seperti yang dijelaskan dalam surat Al-Muthafifin ayat 1- 6 yang
menjelaskan tentang kecurangan dalam menakar timbangan, lalu pada surat
Al-Isra’ ayat 31-34 tentang pembunuhan terhadap anak-anak.
e- Meneguhkan
hati Rasul SAW dan orang yang beriman dengan kisah dan janji Allah yang sangat
dirindukan berupa kemenangan dan kedudukan di muka bumi, seperti pada surat Hud
ayat 120, serta Al-Qoshas ayat 5- 6 (Lihat Dakwah silam dan Masa depan Umat hal.
114 – 119 oleh DR. Abdurrahman Al-Baghdadi). Sebagai perbandingan silahkan
mengkaji kitab-kitab sirah yang lain seperti sirah Ibn Hisyam, sirah Ibn Ishaq,
sirah Al-Halabiyah, tarikh Ath-Thobari, Bidayah wa Al-Nihayah li Ibn Katsier,
Al-Kamil fit tarikh li Ibn Atsier, dan kitab sirah lainnya tentang Bab Dakwah
rasul SAW selama berada di Mekkah sebelum Hijrah ke Madinah.
Dari sini
kita dapat melihat bahwa aktivitas rasul SAW di Makkah selain dakwah untuk
mengajak orang musyrik Mekkah masuk Islam, terdapat aktifitas yang lain seperti
pergumulan pemikiran, perjuangan politik, mengganti adat istiadat yang rusak
dan bertentangan dengan Islam, dan beberapa aktifitas lainnya.
Sehingga
berdasarkan kajian sirah dakwah Rasul SAW, dapat kita simpulkan bahwa dakwah
tauhid harus integral dengan dakwah untuk melanjutkan kehidupan Islam, yaitu
dakwah untuk mengembalikan seluruh hukum Allah SWT, baik yang menyangkut
hubungan individu dengan Rabb-Nya berupa aturan yang menjelaskan tentang
masalah sholat, zakat, haji, atau yang menyangkut hubungan individu dengan
dirinya sendiri berupa aturan yang menjelaskan tentang masalah pakaian,
makanan-minuman, serta akhlaq, atau yang menyangkut hubungan individu yang lain
berupa aturan yang menjelaskan masalah ekonomi, pemerintahan, sosial –
kemasyarakatan, pidana, dan sebagainya, yang tidak mungkin bisa diemban dan
diselenggarakan kecuali oleh sebuah institusi Negara. Inilah konsekuensi logis
dari aqidah atau tauhid yang kita yakini. Lagi pula, sejak awal HT telah
meletakkan prinsip bahwa aqidah dijadikan sebagai asas perbaikan individu, asas
pembentukan masyarakat, dan asas penyelenggaraan Negara.
Tentang sangkaan
bahwa pembahasan mengenai masalah aqidah para aktivis yang memperjuangkan
khilafah kurang dibanding masalah politik adalah suatu sangkaan yang tidak
berdasar pada fakta yang sesungguhnya. Aktivis yang memperjuangkan khilafah
telah mengeluarkan dan mentabanni (mengadopsi) sejumlah kitab yang membahas
banyak masalah seperti:
Nidzam
Iqtishod (Sistem Ekonomi Islam), Al-Anwal fi daulah Al-Khilafah (Sistem Keuangan
dalam Daulah Al-Khilafah), Nidzam Uqubat (Sistem Sanksi Islam), Nidzam
Al-Hukmi (Sistem Pemerintahan Islam), Nidzam Ijtima’ (Sistem Pergaulan
Islam), Daulah Al-Islamiyyah (Kitab Sirah), Syakhsiyah Al-Islamiyah,
yang terdiri dari 3 jilid (berisi pembahasan masalah aqidah, hadis, jihad,
muamalat, ushul fiqh, dll), Ad-Dussiyah dan Ma’lumat li Asy-Syabab (NB :
2 kitab ini banyak memabahas masalah aqidah dan kritik atas peyimpangan aqidah
umat dari aqidah yang shohih yang berdasar kitab dan As-Sunnah), Ahkam
Ash-Sholat (Hukum-hukum Sholat), dan berbagai kitab lainnya yang membahas
berbagai masalah termasuk di antaranya Afkar Siyasi dan Nadzarat Siyasi
li Hizb At-Tahrir (NB : 2 kitab terakhir ini secara spesifik membahas
pemikiran kontemporer dan konstalasi politik internasional). Ditambah lagi
puluhan bahkan ratusan kitab yang telah ditulis oleh para syabab (aktivis) dengan
tema Aqidah, hadis, Fiqh, Ushul Fiqh, Tafsir, Ekonomi, politik, Sejarah, Ilmu
sosial, Ilmu Psikologi, sirah, dll. Sekali lagi, telah terbukti bahwa sangkaan
sebagian orang ini tidak terbukti dan ini bisa saja menjadi kedustaan – apabila
disengajai - yang Allah akan meminta pertanggungan jawab atasnya.
Tentang para
shahabat Nabi yang saat itu semuanya sibuk mendakwahkan penegakan daulah ke
berbagai negeri ataukah mereka mendahulukan dakwah kepada tauhid. Mari kita
tengok dan pelajari sirah Rasul SAW berikut :
Sejak tiba
di Madinah, Rasul mulai menjalankan pemerintahan unutk mengurusi urusan umat Islam,
mengatur urusan administrasi dan membangun masyarakat Islam. Beliau mulai
mengutus sahabat Hamzah ibn Abdul Muthalib, Ubaidah ibn Harits, Sa’ad ibn Abi Waqash
sebagai komandan untuk memerangi kafir Quraisy.
Beliau juga
mengutus Zaid ibn Haritsah, Ja’far ibn Abi Thalib, dan Abdullah ibn Rawahah
untuk menyerang Romawi. Beliau juga mengangkat sahabat ‘Utab ibn Said menjadi
gubernur Makkah, Muadz ibn Jabal sebagai gubernur Jaud, Khalid ibn Sa’id ibn
Ash menjadi pegawai di Shun’a. Zayad ibn Labid Al-Anshari di Hadramaut, Abu
Musa al-Asy’ari sebagai gubernur di Zabid dan And’, Amr ibn Ash sebagai
gubernur Oman, Adi ibn Hatim sebagai gubernur di Thayyi’.
Abu Dujanah sebagai
pegawai Rasul SAW di Medinah. Beliau juga mengangkat Abdullah ibn Rawahah
setiap tahun untuk menghitung hasil pertanian yahudi Khaibar. Rasul SAW juga
mengangkat para hakim yaitu Ali ibn abi Thalib sebagai hakim di Yaman, Abdullah
ibn Naufal, Muadz ibn Jabal sebagai hakim di Yaman.
Beliau juga
menunjuk Harits ibn Auf sebagai petugas yang membubuhkan stempel dengan cincin
nabi SAW, Zubair ibn Awwam sebagai pencatat hasil zakat, Mughirah ibn Syu’bah sebagai
pencatat hutang-hutang negara dan masalah muamalah, Syuhrabil ibn Hasanah sebagai
pencatat penandatanganan perjanjian kepada para raja.
Rasul SAW
juga sering bermusyawarah dengan 14 orang sahabat, 7 dr kaum Anshar dan 7
sisanya dari Muhajirin, mereka antara lain : Hamzah, Abu Bakar, Umar, Ali, Ibn
Mas’ud, Salman, Ammar, Hudzaifah, Migdad, dan Bilal. Yang kedudukan mereka seperti
majelis syuro. Walhasil Rasul SAW sendirilah yang menegakkan struktur daulah,
serta menjalankannya dan menyempurnakannya selama masa hidupnya. Negara
Khilafah memiliki pemimpin, para muawwin (pembantu), gubernur, hakim, militer,
kepala administrasi, dan majelis syuro. Dan semua riwayat ini diriwayatkan secara
mutawatir. (Lihat Kitab Ad-Daulah Al-Islamiyyah oleh Imam An-Nabhani, hal.
123-127 \ Bab Jihaz Ad-Daulah Al-Islamiyyah).
Terbukti Para Sahabat ra. tidak pernah membedakan antara dakwah kepada tauhid
(mengajak
orang kafir masuk ke dalam Islam) dengan dakwah untuk melanjutkan kehidupan
Islam dengan keterlibatan mereka dalam berbagai tugas kenegaraan dalam Daulah
Khilafah kala itu. Dan kita diperintahkan mencintai para sahabat dan mengikuti
apa yang mereka lakukan dengan tidak membedakan antara dakwah kepada tauhid
(mengajak orang kafir masuk ke dalam Islam) dengan dakwah untuk melanjutkan
kehidupan Islam.
Perhatikan
perkataan Imam Al-Barbahari tentang masalah ini. Imam Al Barbahary berkata : “Jika
kamu lihat seseorang mencintai Abu Hurairah, Anas bin Malik, dan Usaid bin
Hudlair radliyallahu ‘anhum maka ketahuilah bahwa ia pengikut sunnah –Insya
Allah– dan jika kamu lihat seseorang mencintai Ayyub, Ibnu ‘Aun, Yunus bin
‘Ubaid, ‘Abdullah bin Idris Al Audi, Asy Sya’bi, Malik bin Mighwal, Yazid bin
Zurai, Mu’adz bin Mu’adz, Wahb bin Jarir, Hammad bin Salamah, Hammad bin Zaid,
Malik bin Anas, Al Auza’i, dan Zaidah bin Qudamah maka ketahuilah bahwa ia
pengikut sunnah begitu pula jika ada seseorang mencintai Ahmad bin Hanbal, Al
Hajjaj bin Al Minhal, Ahmad bin Nashr serta menyebut kebaikan mereka dan
berpendapat dengan pendapat mereka maka ketahuilah ia adalah seorang Sunni.” (Syarhus
Sunnah 119-121).
Karena pada
hakekatnya dakwah kepada tauhid dengan dakwah li isti’nafil hayatil islamiyyah
(melanjutkan kehidupan Islam), ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat
dipisahkan satu dengan yang lain.
Bahkan rasul
mengatakan dalam hadisnya yang sering dinukil oleh sebagian orang: “…Dan hendaknya kamu berpegang pada Sunnahku
dan Sunnah Para Khulafa’ Ar-rasyidin …..” (HR. At-Tirmidzi dan Al-Hakim).
Bukankah dalam hadis ini Rasul memerintahkan kepada umat Islam agar mengikuti
sunnah beliau dan sunnah para Khalifah Ar-Rasyidin, bukan diperintahkan untuk
mengikuti Abu bakar, Umar, Utsman, dan Ali sebagai individu sahabat. Sementara
jabatan Khalifah adalah jabatan kenegaraan tertinggi dalam struktur daulah
islamiyyah semenjak masa Nabi SAW. Bahkan mereka, Abu Bakar, Umar, Utsman dan
Ali meninggal dengan status sebagai amirul mukminin atau Khalifah umat Islam.
Bahkan Umar dan Utsman terbunuh karena jabatan mereka sebagai Khalifah umat
Islam.
Tentang
perintah rasul SAW untuk mengawali dakwah dengan dakwah tauhid, selanjutnya
dakwah kepada syari’at, HT sepakat dan tidak menolak hal ini. Tidak pernah Hizb
dalam kitab-kitab mutabanatnya menyatakan dahulukan dakwah pada khilafah baru
dakwah kepada tauhid. Dakwah untuk menerapkan syari’at Islam pada hakekatnya
dalah tuntutan dan manifestasi tauhid seorang muslim, yang tidak hanya dituntut
harus yakin dengan rukun iman, tapi juga harus terikat dengan syariat islam
yang terpancar dari aqidah tadi. Oleh karena itulah Hizb menganggap bahwa
dakwah tauhid harus integral dengan dakwah untuk menegakkan syari’ah Islam,
mulai dari skala individu, masyarakat dan negara. Itulah yang dimaksud dengan
konsep tauhid ruhiyyah dan tauhid siyasah.